Apakah Teknologi Al dan Robot bisa Menggantikan Peran Ulama sebagai Ahli Tafsir Al-Qur'an?
Senin, 2 September 2024 | 07:17 WIB
Melalui platform Al sekarang anda bisa bertanya apa saja. Belum lagi dalam 5-10 tahun ke depan akan ada robot yang dimasukkan chip di kepalanya yang berisikan al-Qur'an, semua kitab tafsir, hadis, fiqh, tarikh, dan khazanah keilmuan keislaman lainnya. Mereka bisa hafal semuanya. Pertanyaannya: apakah teknologi Al dan robot akan menggantikan peranan ulama sebagai tempat bertanya, rujukan dan panutan buat umat?
Saya berpendapat dua hal dari para ulama kita yang tak bisa digantikan oleh teknologi Al dan robot, yaitu soal adab dan rasa.
Soal adab, kita tahu bagaimana Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan itu dicontohkan kanjeng Nabi dalam hidup keseharian interaksi bersama para sahabatnya selama 23 tahun. Adab bukan soal hafalan. Adab itu soal karakter pribadi dan relasi dengan sesama. Robot bisa jadi lebih hafal semuanya dari para ulama kita, tapi robot tak bisa mencontohkan perilaku dan akhlak yang mulia.
Soal rasa yang tak bisa dimiliki teknologi Al dan robot, manusia punya jiwa dan perasaan. Maka ketika membaca dan menafsirkan ayat Qur'an, para ulama kita tidak hanya sekadar menghafal dan memahami berdasarkan kaidah keilmuan semata tapi juga mengandalkan rasa.
Itu sebabnya para ulama berusaha memahami jiwa al-Qur'an untuk menyelami keindahan bahasa dan maknanya. Itu pula yang diajarkan para ulama kita saat menjelaskan ayat Allah dengan rasa, dan bisa terasa langsung masuk di hati kita.
Saya ingin memberi dua contoh saja yang saya ambil dari penjelasan para ulama kita.
Dalam al-Qur'an surat al-Isra' (17) ayat 23, surat al-Baqarah (2) ayat 83, surat an-Nisa (4) ayat 36, surat al-An'am (6) ayat 151, terdapat perintah "wa bil walidayni ihsana". Dalam surat al-Ahqaf ayat 15 redaksi yang dipakai adalah "bi walidayhi ihsana". Ini adalah perintah al-Quran untuk kita berbakti kepada orang tua.
Kali ini kita bahas dari aspek bahasa, khususnya penggunaan kata sambung "bi" dan diksi "ihsan".
Mengapa digunakan kata sambung "bi" dalam frase "wa bil walidayni ihsana"? Bukankah secara bahasa boleh juga digunakan kata sambung "ila" (ke) dan "li" (untuk)? Apa rahasianya al-Qur'an memilih kata sambung "bi"?
Menurut para pakar grammatika Arab, kata sambung "bi" salah satunya mengandung makna "lil ilshaq" )إلصاق yakni menunjukkan hubungan yang erat dan dekat antara dua hal atau lebih. Faidahnya untuk menunjukkan kedekatan atau kelekatan. Sementara itu, penggunaan kata sambung "ila" mengandung makna jarak, dari satu hal ke hal lainnya. Misalnya kita menuju ke Mekkah dari Madinah. Ini menunjukkan ada jarak antara kedua kota tersebut.
Dengan demikian, dari sudut bahasa saja, yaitu pemilihan kata sambung "bi", bukan "ila", menunjukkan Allah tidak menghendaki jarak walau sedikitpun dalam hubungan berbakti kepada kedua orang tua. Al-Qur'an menghendaki hubungan yang sangat erat dan dekat, bahkan lekat, antara anak dengan orang tuanya. Kedekatan ini bukan hanya dimaknai secara fisik, tapi juga secara emosional dan spiritual.
Pilihan diksi al-Quran ternyata mengandung rasa yang berbeda ketika dipahami lewat jiwa dan spirit kebahasaan.
Kenapa diksi yang dipilih untuk berbakti pada orang tua itu ihsan? Bukan kata adil misalnya?
Baca Juga
Mendorong Optimalisasi Peran NU
Kata Ihsan dan derivasinya digunakan untuk mencakup apa yang membahagiakan manusia karena perolehan nikmat berkenaan dengan diri, jasmani maupun kondisinya.
Itu sebabnya al-Qur'an menggunakan kata ihsan karena kandungan kata ini lebih dalam dibanding kata adil. Kalau adil itu memperlakukan orang lain sama perlakuanya kepada kita, maka ihsan maknanya kita memperlakukannya lebih baik lagi.
Jadi, dengan makna seperti ini kita bisa pahami perintah al-Qur'an untuk berbakti kepada kedua orang tua harus dengan makna kedekatan kita kepada mereka berdua secara emosional dan spiritual. Memberikan penghormatan bukan semata soal material. Dan apa yang kita berikan dan persembahkan kepada orang tua harus lebih baik lagi, meskipun seandainya orang tua berprilaku jelek atau mengabaikan anaknya. Karena yang dipakai bukan konsep adil, tapi konsep ihsan.
Contoh lainnya:
(Dan Allah berfirman): "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon INI, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim". (QS Al-A'raf ayat 19)
Namun di ayat 22 diksi pohon ini berubah menjadi pohon itu:
Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon ITU dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" (QS al- A'raf:22)
Kenapa di ayat pertama menggunakan diksi "pohon ini" sedangkan di ayat kedua "pohon itu"? Bagaimana "rasa" bisa memahami perbedaannya?
Hadzihi itu isim isyarah lil qarib. Kata tunjuk yang berarti dekat. Sedangkan tilka (menjadi tilkuma karena dua orang) itu isim isyarah lil ba'id alias kata tunjuk jauh.
Saat Allah memberi larangan "jangan dekati pohon INI" kedudukan Nabi Adam dan Siti Hawa masih sangat dekat dengan Allah, seperti diindikasikan kata "ini". Begitu keduanya melanggar larangan, Allah menjauh dari keduanya dan berseru: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu".
Pelanggaran keduanya membuat Allah menjauh, seperti diindikasikan penggunaan kata "itu."
Jadi kedua ayat itu tidak bertabrakan maknanya. Justru menunjukkan ada isyarat yang sangat dalam maknanya hanya lewat kata tunjuk ini dan itu saja.
Meskipun memahami kaidah kebahasaan, tapi hanya lewat kebeningan hati kita bisa menangkap isyarat kata tunjuk yang dipakai al-Quran secara berbeda.
Itu sebabnya teknologi Al dan robot sekalipun tidak akan membuat kita melupakan peranan ulama kita.
Sama halnya dengan ChatGPT yang bisa membantu anda membuatkan puisi buat kekasih, tapi saya jamin kekasih hati anda tidak akan bisa menangkap soul atau jiwa dari puisi buatan Al tersebut. Kecuali kekasih anda itu robot.
Kekasih hati akan tetap memilih menerima puisi anda meski segaring apapun, lengkap dengan bunga mawar yang anda berikan. Ada rasa dan adab di sini. Rasa penuh cinta dan hormat pada pujaan hati. Robot mana paham yang beginian .
KH Nadirsyah Hosen, Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia