Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya

Hikmah

Mengapresiasi Tradisi Nusantara

Mengapresiasi Tradisi Nusantara.

Aku mengawali presentasi dalam Sarasehan Kebangsaan pada Hari Santri Nasional begini:


Ada dua kata yang menarik untuk direnungkan: Santri dan Sarung. Santri adalah nama orang yang belajar di Lembaga Pendidikan Keagamaan yang populer disebut Pesantren. Dan sarung adalah pakaian sehari-hari santri. Mengapa ia disebut santri, bukan "Tilmidz" atau "Thalib". Lalu mengapa ia mengenakan "sarung" bukan "izar"atau "gamis","tob" atau "jubah"?. 


Santri bukan bahasa Arab. Dan sarung bukan tradisi Arab. Santri adalah bahasa sanskerta.


Baca Juga:
Haul Mbah Syakir Wotgali Indramayu, Buya Said Ungkap Integrasi Agama dan Budaya Jadi Ciri Khas Islam Nusantara


Cliffort Geertz mengatakan bahwa kata  “santri” berasal dari kata Sansekerta "Shastri" secara literal berarti manusia yang baik-baik yang membaca/ mempelajari kita suci Hindu. Ia juga bermakna ilmuwan Hindu yang pandai menulis. Pernyataan Cliffort Geertz tersebut memperlihatkan kepada kita bagaimana para pendiri pendidikan pesantren mengadopsi tradisi pendidikan keagamaan non Islam yang lebih dahulu ada di wilayah Nusantara. 


Sementara "sarung" merupakan pakaian harian di banyak tradisi masyarakat di banyak tempat: Yaman, di Asia Selatan, India  dan lain-lain. Masyarakat di Bali juga banyak mengenakannya. Konon, Sarung pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke 14, dibawa oleh para saudagar Arab dan Gujarat (India). 


Betapa indahnya. Bagaimana Para ulama Pesantren memberikan apresiasi terhadap tradisi Nusantara, melalui antara lain adopsi nama Pesantren, Santri, Kiyai dan Sarung. Bukan Madrasah, Funduq, Murid, Thalib, Ustaz dan Jubah, Sorban, Gamis, Tob, atau sejenisnya yang menjadi tradisi Arabia?.


Baca Juga:
Ponpes Al-Aman Cimanggu Gelar Haul Mama KH Muhammad Fudholi ke-16


Para Bijakbestari mengatakan :


الرَّجُلُ لَا يَكُونُ عَالِماً بِسَبَبِ الجُبَّةِ وَالعِمَامَةِ ذَلِكَ اَنَّ العَالِمِيَّةَ فَضِيلَةٌ فِى ذَاتِهِ وَلاَ يُغَيّرُ مِنَ الاَمْرِ شَيئاً اَنْ  يَرْتَدِى صَاحِبُهَا قَبآءً أَوْ عَبَاءَةً


Kealiman seseorang tidak ditentukan oleh pakaian jubah dan sorbannya. Keulamaan itu keutamaan yang melekat di dalam dirinya. Ia tidak bisa berubah menjadi ulama hanya dengan memakai jubah atau baju lusuh (atau sorban). 


Baca Juga:
Abu Nawas dan Cara Mati Syahid bagi Para Jomblo


Sesudah itu aku bicara peran dan sumbangan Pesantren kepada Eksistensi dan Keutuhan Negara Bangsa.


KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU

Editor: M. Rizqy Fauzi

Artikel Terkait