Ubudiyah

Belajar Adab Bertamu Saat Lebaran dari Kisah Rasulullah SAW

Selasa, 15 April 2025 | 07:00 WIB

Belajar Adab Bertamu Saat Lebaran dari Kisah Rasulullah SAW

Ilustrasi. (Foto: NU Online/freepik)

Bandung, NU Online Jabar
Momen Lebaran identik dengan tradisi silaturahim. Di berbagai daerah di Indonesia, kebiasaan anjangsana atau halal bihalal menjadi aktivitas yang ditunggu-tunggu umat Muslim untuk mempererat hubungan kekeluargaan maupun pertemanan. Namun, dalam menjalani tradisi ini, adab bertamu sering kali terlupakan.


Ustadz Tajuddin Arafat dalam ceramahnya yang tayang di kanal YouTube NU Online mengingatkan pentingnya menjaga adab saat bertamu, khususnya di momen Syawalan. Ia menyoroti pepatah populer “tamu adalah raja” yang menurutnya perlu dimaknai secara bijak.


“Memang tamu itu raja, tapi maksudnya adalah raja sesuai dengan kemampuan penghormatan dari tuan rumah, bukan berarti tamu bisa bertindak seenaknya,” ujar Ustadz Tajuddin dikutip NU Online Jabar, Selasa (15/4/2025).


Ia kemudian mengisahkan sebuah peristiwa yang dialami langsung oleh Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Diceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah mengadakan walimah (pesta pernikahan) usai menikah dengan Zainab binti Jahsy.


Para sahabat diundang untuk menikmati hidangan dan bercengkerama. Namun, beberapa dari mereka tak segera berpamitan meski acara telah usai.


Rasulullah bahkan sampai memberikan isyarat tak nyaman dan masuk ke dalam rumah, namun masih ada tiga sahabat yang tetap bertahan. Baru setelah Rasulullah keluar lagi dan kembali ke dalam, mereka menyadari dan akhirnya pamit pulang.


Peristiwa itu kemudian menjadi sebab turunnya ayat dalam Al-Qur'an, tepatnya Surat Al-Ahzab ayat 53:


“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah Nabi kecuali jika kamu diizinkan untuk makan, dan jangan (pula) menunggu-nunggu (waktu makan). Tetapi jika kamu diundang, maka masuklah; dan apabila kamu selesai makan, maka keluarlah tanpa memperpanjang percakapan.”


Dari ayat ini, menurut Ustadz Tajuddin, kita dapat memahami bahwa Islam sangat memperhatikan etika dalam bertamu, termasuk tahu waktu dan tidak membuat tuan rumah kerepotan.


Ia juga mengutip hadis dalam Shahih Bukhari yang menjelaskan batas waktu ideal bagi seorang tamu.


“Batas toleransi bertamu itu sehari semalam. Maksimal tiga hari. Lebih dari itu, bukan lagi disebut tamu, tapi menjadi seperti orang yang ditanggung hidupnya oleh tuan rumah,” jelasnya.


Ustadz Tajuddin juga mengingatkan bahwa bertamu seharusnya membawa kebahagiaan, bukan beban. Bahkan dalam hal makan pun, Rasulullah SAW mengajarkan adab yang sederhana namun penuh makna.


“Rasulullah pernah berkata kepada seorang pemuda: 'Wahai anak muda, bacalah basmalah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari apa yang ada di hadapanmu.' Ini semua adalah bagian dari adab dalam bertamu,” tuturnya.


Selain itu, dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim karya Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari juga disebutkan adab saat akan masuk rumah orang lain, seperti tidak berdiri tepat di depan pintu, memberi salam dengan lembut, dan mengetuk pintu dengan sopan.


Di akhir ceramahnya, Ustadz Tajuddin menekankan bahwa tujuan utama dari tradisi silaturahim saat lebaran adalah menyambung kebahagiaan, bukan merepotkan pihak yang dikunjungi.


“Bijaklah dalam bersilaturahim. Jangan sampai maksud baik kita justru menyulitkan orang lain,” pungkasnya.