• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 4 Mei 2024

Ubudiyah

3 Perkara yang Hukumnya Haram dan Makruh

3 Perkara yang Hukumnya Haram dan Makruh
3 Perkara yang Hukumnya Haram dan Makruh
3 Perkara yang Hukumnya Haram dan Makruh

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

 إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الأُمَّهَاتِ وَوَأْدَ البَنَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتِ، وَكَرِهَ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ المَالِ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)

 

Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut enam perkara. Tiga perkara pertama hukumnya haram secara mutlak. Sedangkan tiga perkara berikutnya hukumnya adalah makruh. Dan bisa meningkat menjadi haram. Tiga perkara yang diharamkan oleh Allah dalam hadits di atas adalah: 

 

Pertama, ‘uququl ummahat (durhaka kepada ibu). Durhaka kepada ibu termasuk dosa besar. Begitu juga durhaka kepada ayah. Akan tetapi durhaka kepada ibu dosanya lebih besar daripada durhaka kepada ayah. Sebaliknya berbakti kepada kedua orang tua pahalanya sangat agung. Dan berbakti kepada ibu lebih besar pahalanya daripada berbakti kepada ayah.


Durhaka kepada orang tua artinya menyakiti hatinya dengan rasa sakit yang tidak ringan seperti mencacinya, memukulnya atau menghinanya di hadapan orang banyak. 

 

Seorang Muslim yang durhaka kepada orang tuanya, kelak di akhirat walaupun masuk ke dalam surga karena keislamannya, tapi ia tidak akan memasuki surga bersama golongan yang pertama masuk surga. Ia akan disiksa terlebih dahulu di neraka dengan siksaan yang sangat pedih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

   ثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُوْنَ الْـجَنَّةَ، اَلْعَاقُّ بِوَالِدَيْهِ وَالدَّيُّوْثُ وَرَجُلَةُ النِّسَاءِ (رَوَاهُ الْحَاكِمُ فِي الْمُسْتَدْرَكِ) 

 

Artinya: “Tiga golongan tidak akan masuk surga (bersama gelombang-gelombang awal orang-orang yang masuk surga), yaitu orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, dayyuts (orang yang mengetahui keluarganya berbuat zina tapi ia biarkan saja padahal ia mampu mencegahnya) dan para perempuan yang menyerupai laki-laki dalam pakaian dan lainnya” (HR al-Hakim dalam al-Mustadrak)   

 

Bahkan Allah memerintahkan berbuat baik kepada kedua orang tua yang kafir akan tetapi tidak boleh menaati keduanya dalam kufur dan maksiat. Termasuk durhaka adalah menaati perintah ibu untuk berbuat zalim kepada ayah. Atau sebaliknya, membantu ayah untuk berbuat zalim kepada ibu. Karena memang tidak boleh membantu seseorang untuk berbuat zalim kepada orang lain. 

 

Kedua, wa’dul banat (mengubur anak perempuan hidup-hidup). Perbuatan keji ini marak dilakukan pada zaman jahiliah. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Qais bin ‘Ashim. Hal ini masuk kategori membunuh yang diharamkan dan termasuk salah satu dosa besar. Bahkan merupakan dosa paling besar setelah kufur atau syirik. Lebih-lebih lagi jika yang dibunuh adalah mahram, seperti ayah, ibu atau anak. Membunuh mahram lebih besar dosanya dibandingkan membunuh selain mahram. 

 

Ketiga, man’an wa hati. Man’an artinya menahan diri untuk tidak menunaikan kewajiban terkait harta padahal mampu melakukannya. Seperti orang yang tidak mau membayar zakat padahal ia mampu. Ini adalah dosa besar. Begitu juga orang yang punya tanggungan utang yang sudah jatuh tempo tapi tidak mau membayarnya padahal ia mampu membayarnya. Hal ini juga termasuk dosa besar. 

 

Hati artinya Allah mengharamkan seseorang untuk meminta sesuatu yang tidak halal baginya. Seperti seseorang yang meminta bagian dari harta zakat padahal ia bukan mustahiqq (orang yang berhak menerima zakat). Ini adalah dosa besar. Begitu juga orang yang meminta bagian dari harta wakaf padahal ia tidak memiliki hak atas harta wakaf tersebut.


Sedangkan tiga perkara yang hukumnya makruh yang disebutkan dalam hadits di atas adalah: 

 

Pertama, qila wa qala. Yaitu banyak omong dalam hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Hukumnya adalah makruh. Artinya sebaiknya ditinggalkan. Karena banyak omong dalam masalah yang tidak bermanfaat dapat menjerumuskan seseorang kepada pembicaraan yang diharamkan, seperti ghibah (membicarakan keburukan orang lain yang memang ada padanya, tidak di hadapannya, seandainya ia mendengar maka ia tidak suka keburukannya itu dibicarakan), namimah (memindah omongan dari satu orang ke orang lain untuk mengadu domba sesama Muslim atau merusak hubungan antar mereka) dan lain sebagainya. 

 

Kedua, katsratus su’al, yaitu banyak bertanya. Banyak bertanya mengenai hal-hal yang tidak diperlukan dan tidak dibutuhkan hukumnya makruh. Adapun bertanya mengenai masalah yang terkait agama yang dibutuhkan dan diperlukan hukumnya wajib. Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha memuji kaum Muslimat Anshor yang tidak pernah malu bertanya kepada Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan agama. Beliau mengatakan:

 

 نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ، لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّيْنِ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ) 

 

Artinya: “Sebaik-baik perempuan adalah perempuan Kaum Anshor. Rasa malu tidak mencegah mereka untuk memperdalam ilmu agama” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari). 

 

Ketiga, idla’atul mal. Yaitu membelanjakan harta pada selain kebaikan. Apabila harta itu dibelanjakan dari sumber yang halal dan dengan cara yang halal untuk bersenang-senang dan bermewah-mewahan, maka hal itu tidaklah terhitung dosa. Hukumnya makruh, sebaiknya tidak dilakukan. Karena memperbanyak kesenangan dan kemewahan hidup bukanlah termasuk perilaku orang-orang yang bertakwa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada sahabat Mu’adz bin Jabal radliyallahu ‘anhu:

 

 إِيَّاكَ وَالتَّنَعُّمَ فَإِنَّ عِبَادَ اللهِ لَيْسُوْا بِالْمُتَنَعِّمِيْنَ (رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ) 

 

Artinya: “Jauhilah sifat gemar bersenang-senang dan bermewah-mewahan, karena hamba-hamba Allah yang shalih bukanlah orang-orang yang gemar bersenang-senang dan bermewah-mewahan” (HR al-Baihaqi). Sedangkan apabila harta itu dibelanjakan pada kemaksiatan, maka hal itu tergolong dosa dan maksiat.

 

Editor: Abdul Manap


Ubudiyah Terbaru