• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Tokoh

Kiai Abdul Hadi Ashfiya, Ulama Pejuang dari Banjar

Kiai Abdul Hadi Ashfiya, Ulama Pejuang dari Banjar
Makam Abdul Hadi Ashfiya
Makam Abdul Hadi Ashfiya

KH Abdul Hadi Ashfiya tak diketahui pasti tanggal dan tahun kelahirannya, diperkirakan awal tahun 1900-an. Ayahnya bernama Kiai Ashfiya, salah satu putra keturunan prajurit Pangeran Diponegoro yang dibuang Belanda ke daerah Lebeng, Cilacap, Jawa Tengah.  

Konon, daerah Lebeng berasal dari kata lubang. Karena dahulu pasukan Diponegoro sebagian lari ke daerah Lubang, suatu daerah di Purworejo. Lalu oleh Belanda dibuang ke Cilacap, Jawa Tengah. Karena pengalihan bahasa orang Belanda, kata Lubang berubah menjadi Lebeng, hingga sekarang dinamai daerah Lebeng. 

Bahkan konon, stasiun kereta api Lebeng didirikan oleh Belanda dengan salah satu tujuannya untuk membuang pasukan Diponegoro. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya keturunan Purworejo dan Yogyakarta yang di daerah Lebeng, Kesugihan, dan sekitarnya. 

Kiai Abdul Hadi Ashfiya pernah mesantren di Bendo, Pare Kediri dan Pesantren Jampes Kediri yang diasuh oleh Syekh Ihsan Dahlan Jampes, pengarang kitab Sirojut Tholibin. 

Ketika mesantren di Jampes kiai Hadi berteman akrab dengan Kiai Soleh, putra Kiai Marzuki Citangkolo, Kujangsari, Kota Banjar. Persahabatan tersebut terus berlanjut hingga pada akhirnya kiai Abdul Hadi Ashfiya menikah dengan adik kiai Soleh yang bernama Nyai Azizah.  

Pejuang dari Banjar 
Tahun awal 1940 Kiai Abdul Hadi mulai berjuang di Banjar bersama Kiai Abdul Hamid Pangkalan, Langkap Lancar, Pangandaran atau yang terkenal dengan Ajengan Pangkalan. Rasa nasionalisme Kiai Hadi, selalu membara dimanapun berada. Hal ini wajar saja, karena ayahnya yang lahir dari keluarga pejuang.  Hal ini dapat terbukti dari perjalanan hidup beliau yang lahir di Lebeng, Cilacap, mesantren di Jawa Timur dan menjadi pejuang di Banjar Jawa Barat. 

Pada tahun 1946, saat meletusnya peristiwa Bandung Lautan Api, beliau kiai Hadi ikut berperang bersama Ajengan Pangkalan Langkaplancar Pangandaran. Ajengan Pangkalan merupakan pimpinan komando di wilayah Priangan Timur. Sedangkan Kiai Abdul Hadi, membawahi komando Banjar. Di antara pasukan di bawah komando Kiai Hadi yang terlacak di antaranya yaitu Mbah Abdul Wahab dan Mbah Hasyim dari Kujangsari Banjar. 

Mendekati tahun 1960an, Ajengan Pangkalan dicurigai sebagai bagian dari DI TII oleh PKI. Begitu pula Kiai Abdul Hadi Ashfiya pernah dituduh demikian. Bahkan kiai Abdul Hadi bersama dua teman lainnya (Kiai Jawahir dan satu kiai lainnya) pernah diculik oleh (GS) Gerakan Siluman yang notabene adalah PKI.

Nahas, kedua teman Kiai Hadi tewas dibunuh, hanya Kiai Abdul Hadi yang selamat. 

Di tengah perjuangannya membela republik, beliau juga mengajar di sebuah pesantren di daerah Kujangsari Kota Banjar yang dirintis oleh kiai Marzuki, mertua beliau. Tak hanya itu, kiai Hadi juga mempunyai pengajian rutinan bersama masyarakat yang tersebar di daerah Ciamis Timur (Banjar, Pataruman, Bojongkantong, Langensari, hingga Lakbok). 

Diantara kitab yang dikaji dalam pengajian rutinan beliau yaitu kitab Tafsir Jalalain, Fathul Qorib, Sulamun Taufik, Durotunnasihin, dan Bidayatul Hidayah. Kini, makam kiai Abdul Hadi Ashfiya berada di komplek pesantren Citangkolo Kota Banjar Jawa Barat.

Tulisan ini merupakan hasil wawancara dengan narasumber: Kiai Badrudin, Kiai Abu Yazid (santri Kiai Abdul Hadi) dan kiai Nursodiq, putra ketiga Kiai Abdul Hadi.
 
Penulis: Aisyah 
Editor: Abdullah Alawi 

 


Tokoh Terbaru