• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 2 Mei 2024

Tokoh

Kiai Abbas Buntet, Jago Silat yang Dermawan (2)

Kiai Abbas Buntet, Jago Silat yang Dermawan (2)
KH Abbas Abdul Djamil. (NU Online)
KH Abbas Abdul Djamil. (NU Online)

Oleh Ahmad Faiz Rofii
Kiai Abbas adalah seorang pengamal tarekat. Ia mursyid tarekat Syatariyah yang diberikan dari ayahnya, yakni KH. Abdul Jamil. Sanadnya bersambung sampai Mbah Muqoyyim, Pendiri Pondok Buntet Pesantren. Ia juga menjadi muqaddam tarekat Tijaniyah yang saat itu dianggap menyimpang dan banyak penolakan dari para kiai. Namun, Kiai Abbas dengan arif dan bijaksana, menerima tarekat tersebut. Ini yang kemudian tercatat dalam hasil Muktamar NU ke-6 tahun 1931 di Cirebon.
Kiai Abbas juga seorang jawara bela diri yang ia pelajari dari ayahnya. Kedigdayaan Kiai Abbas sebagai ahli silat, sudah terlihat semasa mengaji di Tebuireng pada masa awal berdirinya. Tebuireng saat itu kerap kali mendapat ganguan dan ancaman dari preman setempat. Kiai Hasyim Asyari menugaskan Abbas untuk melawan mereka. Atas saran Kiai Hasyim pula, Abbas melatih santri Tebuireng untuk belajar silat.

Setelah ditetapkannya Presterraden Ordonantie Guru 1925 dan Ordonasi Pengawasan Sekolah Swasta 1932, pesantren mendapat pengawasan ketat dari pemerintah Hindia-Belanda. Istilah itu disebut "memasung pesantren". Para ulama selalu mendapat ancaman dari Belanda hingga mematikan gerak langkah dalam melestarikan ajaran Islam. Tidak terkecuali Kiai Abbas. Saat itu Belanda mengirim preman jawara sakti untuk membunuh Kiai Abbas. 

Dikisahkan, preman itu datang menemui Kiai Abbas dengan berpura-pura sebagai tamu. Tiba-tiba ia menodong Kiai Abbas dengan sebilah belati. Sementara Kiai Abbas dalam posisi tangan kanan sedang menyangga Al-Qur'an. Sedangkan tangan kirinya dipuntir sekuatnya oleh preman itu sambil menodongkan belatinya. Preman itu cukup jeli karena ia yakin bahwa Kiai Abbas tidak mungkin berkutik. Ia berpikir, tidak mungkin sang kiai melemparkan Al-Qur'an.

Kemudian Kiai Abbas digiring mengitari pondok Buntet. Ramailah situasi saat itu. Para santri ingin menolong, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena dicegah oleh Kiai Abbas melalui isyarat. Sesampainya di masjid, situasi berubah 180 derajat. Hanya dengan satu gerakan silat yang cepat, Kiai Abbas dapat menjatuhkan preman itu hingga pingsan dan Al-Qur'an yang dipegang Kiai Abbas, tetap dalam posisi semula, yakni di tangan kanannya.

Para santri yang menyaksikan peristiwa mencekam itu. Mereka dibuat takjub dengan gerakan cepat Kiai Abbas. Para santri dan masyarakat sekitar hendak membawa preman itu kepihak berwajib, tapi Kiai Abbas mencegahnya. Ia memerintahkan untuk membebaskan preman itu dengan alasan bahwa preman itu gila. Tentu mereka heran dengan sikap dan perilaku Kiai Abbas yang demikian. Atas sikap kiai yang demikian, di  kemudian hari preman menjadi pengikut setianya.

Saat itu para santri tidak hanya diajarkan ilmu keislaman, mereka juga diajari bela diri yang memang dijadikan bekal bentuk perlawanan terhadap Belanda. Pada masa revolusi Pondok Buntet Pesantren menjadi markas pasukan Hizbullah dan Sabilillah, di bawah pimpinan Kiai Abbas. Pasukan inilah yang ikut dikirim ke pertempuran Surabaya, November 1945.

Kiai Abbas juga membentuk jaringan telik sandi santri yang membentang dari Cirebon hingga ke Surabaya. Jaringan ini kemudian dikenal dengan pasukan Asybal. Pasukan pengintai yang terdiri dari remaja berusia 17 tahun, yang bertugas mengawasi jalanan yang mungkin dilalui oleh musuh dan bertujuan sebagai penghubung informasi dan berita dari satu kesatuan kepada kesatuan lainnya.

Dikisahkan ketika pertempuran Surabaya terjadi, Kiai Abbas ikut serta dalam pertempuran. Ia menjadi komando Hizbullah dan Sabilillah yang ikut menetukan waktu perlawanan. Ketika pertempuran itu pecah, konon, Kiai Abbas dapat menghancurkan pesawat udara hanya dengan sorban dan tongkatnya. Ada juga kisah yang menuturkan bahwa ia menggunakan senjata berupa bakiak, tasbih, dan butiran pasir. 

Kiai Abbas juga dikenal dengan sikap kesahajaan dan kedermawanannya.  Suatu ketika ia kedatangan tamu keturunan Arab yang mengaku seorang habib. Tamu itu meminta kuda kesayangan Kiai Abbas untuknya. Kiai Abbas dengan senang hati menyerahkan kuda itu tanpa basa basi. Kemudian salah satu saudaranya menegur sikap tersebut. Dia mengatakan bahwa orang tadi bukanlah habib, melainkan orang Arab biasa. Dengan santai Kiai Abbas menjawab, 

"Tidak apa-apa, niat saya memang memberi untuk habib." 

Para santri yang tinggal di ndalem Kiai Abbas, segala keperluan hidupnya ditanggung. Bahkan bagi para santri yang minat belajarnya tinggi, segala kebutuhan sekolahnya ditanggung juga. Selain ngopeni para santri, setiap bulan Ramadhan Kiai Abbas secara terbuka selalu menyediakan makanan saat berbuka dan sahur untuk masyarakat sekitar. Tradisi demikian memang sudah dilakukan oleh ayahnya sejak dulu dan diteruskan oleh Kiai Abbas.

Ia juga selalu peduli pada masyarakat sekitar, terutama pada fakir miskin. Ia dikenal sebagai "bos" yang dermawan yang tanpa pamrih. Suatu saat pada musim paceklik, orang-orang kesusahan mencari makan. Kiai Abbas membuka dapur umum. Di halaman rumahnya selalu dipenuhi orang yang mengantri menerima giliran mendapatkan bantuan makanan.

Di luar kehidupannya sebagai ulama, Kiai Abbas adalah seorang petani yang hidup sangat sederhana. Sekalipun penghasilan ala kadarnya, ditambah tanggungan ngopeni para santrinya, Kiai Abbas tidak mengharap sodaqoh atau pemberian dari orang lain. Segala permasalahannya dihadapi dengan tenang, tegar, penuh percaya diri dan suka cita. Kiai Abbas berupaya agar tangannya senantiasa berada di atas, bukan di bawah. 

Penulis adalah Alumni Pondok Buntet Pesantren Cirebon. Kini aktif sebagai tim media PAC Ansor Gebang.
 


Editor:

Tokoh Terbaru