• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Tokoh

Ajengan Ilyas Ruhiat, Tampil di Saat Krisis (Bagian 2-Habis)

Ajengan Ilyas Ruhiat, Tampil di Saat Krisis (Bagian 2-Habis)
Hj Dedeh Fuadah, Ajengan Ilyas, Harmoko, dan Gus Dur, menjelang pembukaan Muktamar Cipasung, 1 Desember 1994. (Foto: dok. Keluarga Cipasung)
Hj Dedeh Fuadah, Ajengan Ilyas, Harmoko, dan Gus Dur, menjelang pembukaan Muktamar Cipasung, 1 Desember 1994. (Foto: dok. Keluarga Cipasung)

Oleh Iip Yahya
KH Moh Ilyas Ruhiat, lahir, 31 Januari 1934. Wafat, 18 Desember 2007.

Dalam 94 tahun sejarah perjalanan NU, ada 11 ulama pilihan yang pernah menjabat rais akbar dan rais aam syuriyah PBNU. Salah satunya ialah Ajengan Ilyas Ruhiat. Ia seorang organisatoris karier, yang mengawali aktivitas ke-NU-annya sebagai Ketua IPNU Tasikmalaya pada tahun 1954. 
Tahun 1981, K.H. Prof. Anwar Musaddad gagal menjadi rais aam karena dianggap tidak memimpin sebuah pesantren. Tahun 1992, K.H. Prof. Ali Yafie juga gagal, karena alasan yang sama. Sempat muncul dugaan keduanya tidak bisa menjadi rais aam karena bukan dari suku Jawa. 

Dugaan itu tak terbukti ketika Konferensi Besar NU di Lampung 1992, menetapkan Ajengan Ilyas sebagai pejabat pelaksana rais aam, melalui suatu proses yang dramatik. Saat itu, ia bukan pilihan Gus Dur, yang menjadi tokoh utama dan paling berpengaruh di NU. Gus Dur bahkan tak ingat nama Ajengan Ilyas karena urutannya ada di bawah (Tempo, 1992). Tampilnya Ajengan Ilyas itu mampu meredakan ketegangan di internal NU. Dengan demikian para tokoh NU mampu menyusun strategi untuk mengkonsolidasikan diri menjelang “pertarungan” yang sesungguhnya di Muktamar Cipasung 1994.

Keseharian sebagai Ajengan
Sebelum mulai aktif berorganisasi, Ajengan Ilyas mencurahkan seluruh waktunya untuk mengajar dan membimbing umat. Sebuah dokumen pribadinya, menjelaskan kesehariannya dengan sangat terperinci.

Sekalipun hanya tinggal di Cipasung, jadwal kegiatan Ilyas sangat padat. Ia mulai mengajar bakda subuh, jam 05.00 - 06.30. Lalu mengajar di SMPI dan SMAI dari jam 07.00 – 13.00. Usai makan siang dan istirahat sebentar, jam 13.30 tukang becak langganannya sudah menanti di depan rumah. Ia mendatangi jamaah pengajian di beberapa kampung yang dilakoninya dari jam 14.00 – 16.00. Untuk kampung yang lebih jauh, ia naik delman. Sepulang dari pengajian keliling, ia sudah ditunggu santri pengajian kitab Jauhar Maknun dan Uqudul Juman yang ia ampu sampai jam 17.30. Setelah magrib ia kembali mengajar kitab tafsir al- Jalalain, hadits Bukhari-Muslim, dan Fathul Mu’in. Pengajian malam baru berakhir pada jam 23.00. 

Baca juga: Kiai Ilyas Ruhiat, Ajengan Sunda (Bagian 1)

Tak jarang pada pengajian kitab yang terakhir, yang menyimaknya tinggal seorang santri, tetapi gairahnya mengajar tidak turun sama sekali. Ia tetap mengajar dengan sungguh-sungguh dan telaten. Pada malam Kamis, jadwalnya bisa lebih larut lagi, karena ia selalu menunggu sampai bubar acara Kuliyyatul Muballigin wal Muasyawirin, satu program pelatihan berpidato bagi santri dengan tema-tema yang telah ditentukan, dan diskusi persoalan-persoalan hukum Islam.

Setelah mulai banyak keluar pesantren, untuk kegiatan NU atau MUI, kepadatan jadwalnya tidak berkurang, hanya berganti acara saja. Namun, sesibuk apa pun, ia tak pernah meninggalkan pengajian untuk para ulama setiap hari Kamis. Kalau ada acara di luar kota yang cukup lama, ia akan pulang dulu ke Cipasung untuk memberikan pengajian Kemisan, lalu kembali lagi hingga acara tuntas. 

Prestasi Bersejarah
Prestasi Ajengan Ilyas di NU, sangat bersejarah. Dialah rais aam yang mengantarkan seorang warga NU menjadi Presiden RI. Ia husnul khatimah dalam kepemimpinannya. Pada waktu sang Presiden "diturunkan", Ajengan Ilyas sudah "pensiun" dari NU. Setelah terpilih sebagai rais aam melalui Muktamar Cipasung 1994, dengan caranya yang luwes, ia berhasil menjaga komunikasi dan keseimbangan NU dalam relasi dengan pemerintah. Di sisi lain, pada saat yang sama komunikasi Gus Dur dengan pemerintah "disumbat" dengan berbagai rekayasa.

Saat K.H. Hasan Basri wafat, ketua umum MUI sesuai urut kacang jatuh ke tangannya, tetapi ia menolak dan mendukung Kiai Ali Yafie. Menurutnya, ia sudah tua serta tak mungkin meninggalkan Cipasung. Kiai Ali dinilainya lebih senior dan tinggal di Jakarta. Kalau di Konbes Lampung Ajengan Ilyas seolah "merebut" jatah Kyai Ali Yafie, maka tujuh tahun berselang, ia "membalasnya" dengan memberikan jatah Ketua Umum MUI Pusat kepada ulama asal Pare Pare itu.

Baca juga: Ajengan Ilyas di Tengah Dualisme NU

Ia bukan tokoh penurut dan gampangan, melainkan sangat memegang teguh prinsip. Tahun 1992, ia menolak pengangkatan sebagai anggota MPR dari Golkar, karena menurutnya melanggar khittah NU 1926. Ia baru menerima tawaran itu ketika diatasnamakan utusan daerah Jabar. Ia bisa tegas menolak berbagai rekayasa politik, seperti tak mau hadir ke ruangan ketika seorang capres yang sangat dikenalnya sedang kampanye di lingkungan Cipasung. Ia hanya mau menerima para capres itu di rumahnya sebagai tamu biasa. Semua tamu diterimanya dengan ramah sebab ia tak pernah membeda-bedakan tamu apapun kedudukannya.

Hal lain yang tak dapat dimungkiri, ia tidak pernah memanfaatkan organisasi atau nama orang lain untuk mencari keuntungan pribadi, termasuk saat tokoh NU jadi Presiden. Bahwa namanya sendiri banyak dimanfaatkan orang tak bertanggung jawab, tentu tak selalu bisa dicegahnya. Apalagi rekayasa atas dirinya dilakukan dengan segala cara. Akan tetapi, ia percaya masyarakat bisa membedakan mana pernyataan dirinya dan mana yang direkayasa seolah-olah dibuat olehnya. Ia menyadari belaka keterbatasannya.

Ajengan Ilyas hadir di panggung nasional dengan kejujuran, ketulusan, dan kesederhanaan. Ia membuktikan sikap jujur dan sederhana bukanlah penghalang untuk diakui orang lain, melainkan sebagai kekuatan dan modal utama. Ajengan Ilyas juga mempraktikkan pluralisme secara paripurna. Selain bersikap baik kepada non-Muslim, ia tak pernah bermasalah dengan sesama Muslim yang berbeda mazhab. Ia tetap aktif di MUI sekalipun dikecam kawan-kawan sendiri. Ajengan Ilyas membuktikan bahwa di MUI, ia tidak kehilangan sikap independen. Dalam kasus Darul Arqom umpamanya, ia kukuh memberikan dissenting opinion bahwa ormas itu tidak melanggar akidah, sementara MUI secara resmi memutuskannya sebagai aliran sesat.

Ajengan Ilyas telah menunaikan tugasnya secar paripurna. Ia telah menjadi suami yang baik buat istrinya. Ia telah menjadi ayah teladan yang telah mendidik dan mengantarkan ketiga anaknya --Acep Zamzam Noor, Ida Nurhalida, Enung Nursaidah Rahayu-- hingga mandiri dan mengabdi di tengah masyarakat sesuai keahliannya. Ia pengasuh pesantren yang telah membawa Cipasung hingga dikenal masyarakat luas, di dalam dan luar negeri.  Ia adalah Rais Aam NU pada saat kritis, yang berhasil menjaga “kapal” NU pada prahara politik sebelum reformasi. Ia ikut mengantarkan putra terbaik NU sebagai presiden RI ke-4. Ia telah menjalankan tugas kemanusiaannya secara sempurna.

Kini, nama baik Ajengan Ilyas akan dipertahankan oleh anak cucunya. Kebesaran pesantren Cipasung akan dijaga dan dikembangkan oleh keluarga Bani Ruhiat seluruhnya. Dan jejaknya pada NU mudah-mudahan akan diteruskan oleh para pengurus Ormas terbesar ini.

Ajengan Sunda itu berpulang pada 18 Desember 2007, tetapi jejak dan jasanya akan selalu dikenang.  Alfatihah ...

Penulis adalah penganggit buku Ajengan Cipasung Biografi KH Moh Ilyas Ruhiat.
 


Editor:

Tokoh Terbaru