• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 19 Maret 2024

Tokoh

Ajengan Abun Cipasung, Humoris yang Tegas

Ajengan Abun Cipasung, Humoris yang Tegas
Ajengan Abun Cipasung, Humoris yang Tegas. (Foto: NUJO)
Ajengan Abun Cipasung, Humoris yang Tegas. (Foto: NUJO)

Pondok Pesantren Cipasung telah memberikan warna dalam perkembangan Islam di Jawa Barat. Satu dekade ke depan, pesantren ini akan berusia satu abad. Dua hal penting mengiringi pertumbuhan dan perkembangan Cipasung, NU dan ngalogat Sunda. Sebagai pesantren NU, Cipasung ikut mengembangkan ajaran wasathiyah Islam sejak berdiri hingga sekarang. Sebagai salah satu perintis ngalogat Sunda, Cipasung telah menjadi penjaga gawang kebudayaan Sunda dengan menggunakan bahasa Sunda sebagai pengantar ilmu pengetahuan. 


Dalam periode 1992-99, ketika KH. Moh. Ilyas Ruhiat menjadi Rais ‘Aam PBNU, dengan sendirinya pengaruh Cipasung meluas ke seluruh Indonesia. Santri berdatangan dari seluruh Nusantara. Pada perkembangan pesat itu, Ajengan Ilyas sangat terbantu oleh dukungan adik-adiknya dalam menyediakan sarana dan prasarana pesantren, terutama oleh KH. Abun Bunyamin Ruhiat.  


Peran penting Ajengan Abun mulai tampak pada saat menjadi ketua pelaksana teknis pelaksanaan Mukatamr NU 1994. Dialah yang dengan cekatan mengkoordinir semua keperluan muktamirin dan para pejabat yang hadir. Mulai dari menyiapkan kamar peserta, penambahan toilet hingga helipad. Pada saat itu Presiden Soeharto berkenan membuka muktamar sekalipun sedang “bermasalah” dengan Gus Dur.  


Tak heran jika ada yang menganggap bahwa pelaksanaan Muktamar Cipasung merupakan salah satu yang terbaik dalam sejarah muktamar NU. Banyak peserta yang pulang membawa bantal berlogo Muktamar Cipasung, karena sangat terkesan dengan pelaksanaannya. Itu semua dapat tercapai, salah satunya karena tangan dingin Ajengan Abun. 


Tentu saja Muktamar Cipasung akan sulit dilupakan karena dalam hajat terbesar warga Nahdliyin ini, NU berhasil menunjukkan kemandiriannya di hadapan pemerintah yang otoriter. Sepeninggal KH Moh Ilyas Ruhiat, kepemimpinan Pesantren Cipasung dilanjutkan oleh KH Dudung Abdul Halim hingga 2012. Sejak saat itu, estafet kepemimpinan beralih ke tangan KH A Bunyamin Ruhiat. 


Ajengan Abun adalah putra ke-9 Abah Ruhiat dan Ibu Siti Aisyah. Ia lahir pada 28 September 1949. Sejak kecil ia dididik dalam lingkungan keluarga dan mengaji langsung kepada ayahnya. Keseharian Ajengan Abun diawali dengan mengajar santri mulai ba'da subuh hingga memasuki waktu dhuha. Selanjutnya ia menuju dapur umum tempat ribuan santri mengambil nasi dan lauk pauk untuk sarapan. Dalam aktivitas tersebut, ia tidak segan untuk membantu memasak di dapur hingga mengontrol jalannya pemberian makan santri di pagi hari. Ia tidak akan sarapan pagi sebelum semua santri makan lebih dulu. Mengapa demikian? Karena nasi dan lauk pauk yang beliau makan, diambil dari dapur umum itu.  Setelah itu ia bersiap untuk memeriksa pekerjaan yang sedang dilaksanakan di pesantren, mulai dari pembangunan asrama, sekolah, dan lainnya akan ia pantau langsung setiap hari. 


Di sela-sela itu ia menerima beragam tamu. Ada masyarakat umum, pejabat, dan alim-ulama yang bersilaturahmi untuk meminta doa, nasehat atau berbagi informasi. Sudah barang tentu, semua yang berkepentingan politik dari tingkat kabupaten hingga nasional, pasti menjadikan Cipasung sebagai kunjungan utama. 


Bagi santri–santrinya, ia dikenal sebagai kiai yang tegas dan perfeksionis, serba ingin sempurna. Ia menyukai kebersihan dan kerapihan, juga teliti dalam segala hal. Ingatannya sangat tajam dan gigih dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Ia tidak pernah menunda apalagi meninggalkan suatu pekerjaan sebelum pekerjaan itu selesai.  


Apapun yang dikerjakan harus efisien dan “sempurna”. Selagi masih bisa diusahakan, baginya tidak ada yang tidak mungkin. “Lamun teu ku urang ku saha deui? Lamun teu ayeuna rek iraha deui?” Kalau tidak oleh kita, lalu siapa yang akan mengerjakan? Kalau bukan sekarang, lalu mau kapan dikerjakan? Itulah prinsip dasar yang dipegangnya. Tapi di luar itu, ia sosok yang humoris, ramah, dan murah senyum. Dengan keseharian seperti itu, Ajengan Abun menjadi panutan para santri dan masyarakat. Wibawanya tumbuh dan terasa seiring dengan perkembangan pembangunan Cipasung yang pesat. “Kiai Abun adalah Bapak Pembangunan Cipasung,” ujar Ajengan Amad Ruhyat Hasby, Ketua MPP Keluarga Alumni Cipasung. 


Saat berbicara, suara Ajengan Abun terdengar sedikit parau dan lembut. Suaranya saat ngalogat kitab kuning sangat khas dan menjadi pelipur bagi para santrinya. Kalau ingin tahu bagaimana ngalogat Sunda dipraktikkan, dengarkanlah saat Ajengan Abun mengajar para santri. Dengan perkembangan fisik yang pesat dan representatif itu, Cipasung kerap dijadikan tempat perhelatan tingkat nasional dan internasional. 


Pada 2012, misalnya, menjadi tuan rumah untuk Ijtima Ulama 33 negara Asean dan Timur Tengah. Lalu ada acara Ijazah Kitab Syamailul Muhammadiyah, Halaqah Alim Ulama PBNU (2018). Film dokumenter Jalan Dakwah Pesantren (2016) juga menjadikan Cipasung sebagai salah satu tempat pengambilan gambar.  


Selain mengasuh pesantren, Ajengan Abun aktif di jamiyyah NU sebagai rais syuriyah PCNU Tasikmalaya untuk periode kedua. Namanya juga tercatat sebagai salah satu A’wan PBNU. Ia menjadi perumus dalam acara Mudzakarah Alim Ulama se Indonesia tahun 2019, Naib Amirul Hajj pada 2019, dan menjadi pembicara dalam Halaqah NU se-Dunia di Makkah pada 2019. 


Penulis: Muhammad Thariq Aziz 
Editor: Iip D Yahya 

Artikel ini pernah terbit di NU Jabar Online pada 3 September 2020


Tokoh Terbaru