Seputar Jabar

Hikmah Mendalami Tarikh Islam, Iim Imadudin: Wujud Kontekstualisasi Nilai-nilai Keislaman

Kamis, 9 Januari 2025 | 14:18 WIB

Hikmah Mendalami Tarikh Islam, Iim Imadudin: Wujud Kontekstualisasi Nilai-nilai Keislaman

Iim Imadudin, peneliti Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). (Foto: NU Online Jabar/Rameli Agam)

Terdapat banyak definisi tentang sejarah. Namun, secara umum dan metodologis, sejarah dimaknai sebagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, baik sebagai post eventum (peristiwa) maupun post factum (rekonstruksi). 


Sejarah hadir ke hadapan kita sebagai sebuah proses rekonstruksi, yang bisa jadi sangat mengandalkan dukungan bukti dari sumber sezaman. Peristiwa masa lampau sangat ditentukan oleh jejak yang dapat dihadirkan. Jadi, bukti-bukti sejarah ibarat kepingan-kepingan puzzle yang menyempurnakan gambar. 


Semakin banyak kepingan-kepingan itu memenuhi ruang gambar, maka makin lengkap gambaran masa lalu yang dapat dilihat. Karena sifatnya itu, tidak ada penulisan yang final, melainkan selalu berkembang berdasarkan temuan-temuan terbaru. Oleh sebab itu, historiografi akan tetap ditulis oleh banyak ahli, bukan karena kebutuhan pada zamannya, tetapi juga ada fakta-fakta baru yang ditemukan dari berbagai sumber yang bisa jadi mengubah cara pandang kita tentang masa lalu.


Demikian gambaran umum tentang sejarah yang disampaikan oleh Iim Imadudin, peneliti Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Menurutnya, dari sisi filsafat sejarah, sejarah adalah berpikir dalam waktu (thinking in time). Sejarah adalah kehidupan itu sendiri. Ibaratnya, sejarah itu seperti tungku kehidupan, maka aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya, berada di atas tungku itu. 


“Karena pengertiannya itu, sejarah hadir dalam berbagai disiplin ilmu tersebut guna memperjelas asal-usul, menerangkan identitas, meneguhkan akar, dan menjadi arah bagi perubahan dan keberlanjutan,” ujarnya, Kamis (9/1/2025).


Mengutip Kuntowijoyo, Iim Imadudin menjelaskan, sejarah memiliki fungsi intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik, sejarah menjadi pengetahuan yang membantu memahami masa lalu. Fungsi ini tentu sudah diketahui bersama. Namun, sejarah juga memiliki fungsi ekstrinsik, yaitu bagaimana ilmu sejarah berhubungan dengan aspek di luar dirinya. Fungsi itu mulai dari pendidikan moral, pendidikan penalaran, pendidikan politik, pendidikan kebijakan, hingga pendidikan masa depan. Nah, bagaimana sejarah menghubungkan dirinya dengan masa kini?


“Terdapat tiga pendekatan. Pertama, pendekatan genetis yang menjadi keunikan sejarah, bertumbuh dari satu fase ke fase yang lain. Kedua, pendekatan komparatif, membandingkan satu peristiwa dengan peristiwa lain untuk melihat kesamaan dan perbedaannya. Serta paralelisme historis, yaitu kesejajaran antara peristiwa,” tuturnya.


Terkait hikmah mempelajari sejarah, dia mengungkapkan, kita menjadi mengerti bagaimana  peradaban tumbuh, bangkit, berkembang, hingga mengalami kepunahan. Orang yang belajar sejarah akan menghargai proses. 


“Semua berproses dalam tahapan-tahapan. Indonesia yang hari ini kita menjadi warga negara adalah entitas yang mengalami perjalanan panjang dengan segala dinamikanya. Pemahaman terhadap sejarah tidak saja menumbuhkan kebanggaan atas masa lalu, tetapi juga mendorong timbulnya wawasan berupa kesadaran kritis untuk menghadapi masa depan,” paparnya.


Iim Imadudin, lahir di Karawang, 16 Januari 1975. Menyelesaikan program S1 Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (1998), dan program S2 Konsentrasi Ilmu Sejarah FIB Universitas Padjadjaran (2013). Kini, sebagai Peneliti Madya di Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dengan kepakaran sejarah Islam dan dinamika kebudayaan di Nusantara.
Aktif dalam berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan, serta pelatihan. Publikasi ilmiahnya tersebar di beberapa jurnal, buku, dan prosiding.


Terkait upaya pelestarian dan peningkatan kesadaran sejarah, dia menuturkan, pelestarian bukanlah sikap antikuarianisme yang memandang masa lalu dalam tinjauan romantisme. Pelestarian mencakup pula di dalamnya transformasi dan revitalisasi. Pelibatan peran serta masyarakat dalam program pelestarian sejarah sangatlah penting. 


“Masyarakat, terutama generasi muda, harus menjadi pusat pengelolaan perubahan,” ucap Iim Imadudin.


Banyak cara dilakukan untuk meningkatkan kesadaran sejarah.  Salah satunya dengan lawatan sejarah mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Generasi muda diajak melihat jejak tinggalan sejarah. Mereka didekatkan kepada objek sejarah yang selama ini hanya dipelajari dari buku dan ruang kelas. 


“Tentu dalam kegiatan tersebut, mereka tidak hanya melihat, tetapi juga diberikan tantangan melalui diskusi kritis bagaimana tinggalan sejarah tersebut sebaiknya dirawat dan dipelihara,” ungkapnya. 


Saat ini di berbagai kota terdapat banyak komunitas pecinta sejarah yang secara berkesinambungan menggerakan kesadaran sejarah pada generasi muda. Nah, salah satu ihtiar meningkatkan minat, terutama kalangan anak muda, disesuaikan dengan dinamika zamannya. 
Dalam perkembangan ilmu sejarah ada tren yang disebut “visual history”, penulisan sejarah berbasis data-data visual.


“Itu adalah peluang sekaligus tantangan untuk menciptakan berbagai inovasi dalam pelajaran sejarah melalui foto, video, film dokumenter, infografis sejarah, virtual reality sejarah, augmented reality, museum sejarah virtual, dan lainnya,” kata Iim Imadudin.


Adapun tentang sejarah Islam, menurutnya, mempelajari sejarah atau tarikh Islam dapat memberikan pelajaran, inspirasi, dan landasan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 18, Allah Swt memerintahkan kita untuk memperhatikan apa yang telah diperbuat-Nya untuk hari esok atau masa depan. Dan bekal dari wawasan untuk melihat masa depan adalah sejarah atau peristiwa masa lalu.


Sejarah Islam penuh dengan kisah-kisah yang menggambarkan kuasa dan keagungan Allah Swt. Dalam peristiwa Perang Badar dan Hijrah Nabi, kita mengetahui bagaimana Nabi Muhammad Saw dan para sahabat begitu kokoh dalam keyakinan dan bersedia mengorbankan apa yang dimilikinya untuk menegakkan agama Allah. 


“Dalam sejarah nasional, kita bisa pelajari kiprah para ulama dan santri dalam memperjuangkan kemerdekaan di pelosok Nusantara,” ucapnya.


Sejarah Islam tiada lain merupakan kontekstualisasi dari nilai-nilai keislaman. Banyak hikmah yang diperoleh dengan mempelajari sejarah Islam. Dalam Al-Qur’an Surat Yunus ayat 92 yang mengisahkan Fir’aun, kita memahami bagaimana kisah-kisah umat terdahulu yang tidak beriman kepada Allah, akhirnya mengalami kehancuran. 


“Umat Islam diperintahkan belajar dari kesalahan umat-umat terdahulu, mengambil hikmah untuk kehidupan kini, sekaligus inspirasi untuk kehidupan masa depan yang lebih baik,” ujar Iim Imadudin, mengakhiri keterangannya.