Sejarah Hari Sumpah Pemuda ke-94

Sekar Roekoen, Utusan Sunda di Kongres Pemuda

Jumat, 28 Oktober 2022 | 10:00 WIB

Sekar Roekoen, Utusan Sunda di Kongres Pemuda

Media yang pernah dikeluarkan oleh Sekar Roekoen (Istimewa).

Oleh Iip D. Yahya


“Panuhun ka sadaya para juragan-juragan nu mikacinta kana kabinangkitan Sunda, muga kersa ngadeudeul ka Sekar Roekoen ku ngalanggan ieu surat kabar.”


Pada pertemuan pengurus Pasundan 28 Desember 1918, diputuskan untuk memperluas aktivitas organisasinya dengan merambah bidang politik. Pasal dalam anggaran dasar yang menghambat dihapuskan. Memasuki tahun 1919, Pasundan sudah menjelma sebagai organisasi massa yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan politik. 


Haluan politik itu langsung direspons oleh para pemuda yang dimotori oleh Doni Ismail, Iki Adiwidjaja, Djuwariah, Hilman, Moh. Sapi’i, Mangkudiguna, dan Iwa Kusumasumantri. Pada 26 Oktober 1919, mereka mendirikan Sekar Roekoen di Batavia. Anak-anak muda ini memandang bahwa Pasundan sudah tidak lagi “murni” memperjuangkan bahasa dan budaya Sunda. Dengan keterlibatan Pasundan dalam politik, dikhawatirkan perhatian pada keduanya akan terbengkalai.
Kalimat yang sebelumnya dibuang oleh Pasundan, lalu digunakan oleh Sekar Roekoen dalam pasal X anggaran dasarnya. “Ieu paguyuban moal nyabit-nyabit kana aturan agama atawa nyimpang tina aturan nagara, jeung moal pipilueun kana politik.” Paguyuban ini tidak akan menyentuh aturan agama atau menyimpang dari aturan negara, dan tidak akan terlibat dalam politik. 


Sikap para pemuda ini pada awalnya mengecewakan para pengurus dan anggota Pasundan, yang notabene masih sama-sama muda. Mereka mengkhawatirkan persatuan Sunda yang baru eungkeut-eungkeut dibangun oleh Pasundan, menjadi buyar lagi. Tetapi dalam perkembangannya, Pasundan tak bisa menampik kehadiran Sekar Roekoen. Sebagai organisasi Sunda yang lebih “dewasa”, Pasundan akhirnya ikut mendukung aktivitas Sekar Roekoen. Pengurus Pasundan selalu hadir jika organisasi pemuda ini mengadakan kongres.


Membahas Kata Ganti

Program kerja Sekar Roekoen nyaris sama dengan Pasundan sebelum 1919, dengan fokus pada pemuliaan bahasa dan budaya Sunda. Sebagai organisasi pemuda, mereka memiliki program olah raga, kesenian, dan debatingsclub (diskusi). Sekar Roekoen  juga menerbitkan orgaan bulanan sebagai alat propaganda. Seperti terbaca di awal tulisan ini, mereka mengundang segenap orang Sunda untuk ikut mendukung organisasinya dengan berlangganan surat kabar bulanan yang mereka terbitkan.


Surat kabar bulanan ini ikut didukung oleh Dr. Husein Djajadiningrat yang dijadikan pelindung. Menurut catatan Edi S Ekadjati dalam Dari Pentas Sejarah Sunda Sagkuriang hingga Djuanda (2006), cabang organisasi pemuda ini tersebar di Bogor, Sukabumi, Purwakarta, Bandung, Lembang, Serang, Salatiga, dan Yogyakarta. Anggotanya tak kurang dari 500 orang.


Sekar Roekoen sangat menaruh perhatian pada perkembangan bahasa Sunda. Pada kongresnya tahun 1922, di gedung Ons Genoegen Bandung, mereka secara khusus menanggapi polemik yang terjadi saat itu terkait penggunaan sebutan yang tepat untuk diri sendiri dalam bahasa Sunda. Ada tiga pilihan yang mengemuka, jisim kuring, pribadi, dan abdi. Selama dua hari mereka berdebat dan akhirnya memilih kata pribadi. Namun atas saran Bupati Bandung Wiranatakusumah, karena pilihan kata ini akan digunakan oleh publik, maka perlu dimintakan pendapat dulu dari para ahli bahasa Sunda. Bahasa itu gambaran dari rasa yang terus berkembang. Dari awalnya kata aing, kang aing, jisim kuring, kaula, pribadi, abdi, semua kembali kepada rasa yang juga mengikuti perkembangan zaman. Perkara ini dilaporkan secara menarik oleh koran Kaoem Moeda (19-9-1922). 


Kongres itu tentu tak hanya memperdebatkan perihal kata ganti. Mereka menampilkan berbagai kesenian Sunda, pameran kerajinan, dan penampilan tunil yang mengambil lakon Enden Ratna dengan iringan musik garapan Mas Wiriasasmita. 


Menolak Tua

Pada Kongres Pemuda I, 30 April 1926, Sekar Roekoen ikut aktif dalam kepanitiaan yang diwakili oleh Hamami. Pada kongres ini, utusan Sekar Roekoen mengusulkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam persidangan. Laporan keikutsertaan organisasi pemuda Sunda dalam kongres pertama ini ditandatangani oleh Samjun (wakil ketua) dan Sutaprana (sekretaris). 


Pada Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928, mereka diwakili oleh cabang Batavia yang mengutus Mupradi, Kornel Singawinata, Mareng Suriawidjaja, dan Julaeha. Karena waktu yang berdekatan dengan pelaksanaan kongres internal pada 6-7 Oktober 1928, mereka tidak sempat terlibat dalam kepanitian Kongres Pemuda II.


Setelah kongres yang mencetuskan Sumpah Pemuda itu, peran Sekar Roekoen mulai surut. Para pengurusnya tak mampu mempertahankan regenerasi. Ketika mereka bertambah usia, estafet organisasi belum berhasil diserahterimakan kepada yang lebih muda. Mereka seolah menolak untuk menjadi tua, yang membuat organisasi pemuda ini mati dengan sendirinya.


Pada situasi itulah, Pasudan ganti merespons, membuka ruang bagi pemuda dengan mendorong pendirian JOP dan kepanduan pada 1934. JOP menggarap karesep kaum muda dalam olah raga dan kesenian, serta menempa intelektual dengan panglayang bulanan bernama Trisoela. Tetapi seperti juga Sekar Roekoen, seiring waktu, Pasundan pun menghentikan kegiatan JOP, sampai sekarang.


Pada pertengahan 1950, harapan masyarakat begitu besar ketika para pemuda berhasil menyelenggarakan Kongres Pemuda Sunda I. Kongres ini diadakan akibat polemik di antara organisasi dan tokoh Sunda atas selebaran Front Pemuda Sunda yang dianggap mendiskreditkan etnis Jawa. Kongres ini juga sebagai respons para pemuda waktu itu atas berbagai persoalan ekonomi-sosial-politik yang banyak merugikan masyarakat Sunda. Mereka mempersoalkan kebijakan pembangunan nasional yang tidak berpihak pada kesejahteraan orang Sunda.


Kini, para milenial Sunda sangat membutuhkan wadah semacam Sekar Roekoen dan JOP. Organsiasi pemuda yang dapat mewadahi remaja belia hingga usia 30-an untuk mengembangkan kreativitasnya tanpa jebakan politisasi pihak tertentu. Tidak sekedar melestarikan kesenian, melainkan juga tempat mengasah intelektual untuk menyiapkan diri pemuda Sunda berkiprah di era digital dan industri 4.0. Mereka juga perlu merespons berbagai kebijakan “Jakarta”, baik pemerintah pusat maupun konglomerat, yang merugikan masyarakat Sunda.


Pertanyaannya, apakah para pemuda Sunda sekarang akan merespons secara progresif dan menentukan nasibnya sendiri, atau hanya menanti jasa baik para pembesar yang menolak tua? Masih harus kita lihat. 


Penulis adalah pemewrhati sejarah kebudayaan Sunda.