• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Risalah

Jadi Anggota NU itu (Dulu) Sulit

Jadi Anggota NU itu (Dulu) Sulit
Almaghfurlah KH. A. Muchith Muzadi (Foto: koleksi pribadi)
Almaghfurlah KH. A. Muchith Muzadi (Foto: koleksi pribadi)

Oleh Iip Yahya
"Ndisik dadi anggota NU iku angel. Pelatihane telung wulan." 
Dulu menjadi anggota NU itu sulit. Pelatihannya berlangsung selama tiga bulan. Kalimat itu saya dapatkan saat sowan ke kediaman almarhum KH. A. Muchith Muzadi di Jember, awal tahun 2000-an. Saya sowan bersama rombongan aktivis santri yang tergabung dalam Syarikat. Kami dipandu oleh sejarawan asal Jember Tri Chandra Aprianto. "Kesulitan" itulah yang membuat keanggotaan NU di masa itu sangat selektif.

Penjelasan Mbah Muchith itu dikonfirmasi oleh Majalah Al-Mawaizh yang diterbitkan oleh NU Cabang Tasikmalaya tahun 1933-1936. Selain kepengurusan yang ramping, anggota NU dibagi dua: setia dan setuju. Tanda setia antara lain adalah membayar iuran bulanan. Jika tidak disiplin bayar iuran, yang hanya setuju, dikeluarkan dari keanggotaan. Kesetiaan pada organisasi itu harus dibuktikan.

Disiplin keras semacam itu memang memungkinkan untuk dilakukan pada masanya. Perekrutan anggota organisasi massa, baik yang berbasis agama maupun bukan, berlangsung sangat ketat dan kompetitif. Sekalipun statuta lembaga diatur sedemikian rupa oleh pemerintah Hindia Belanda, para aktivis organisais ini pandai bersiasat. Misalnya pelaksanaan kongres berlangsung setahun sekali. Hal ini menuntut kerapihan manajemen dan ketelitian mendokumentasikan kegiatan. 

Dalam wawancara panjang tentang Tebuireng dan Hadratus Syaikh yang kemudian dibukukan, Mbah Muchith bertutur soal pelatihan para kiai muda dari berbagai pesantren pada akhir tahun 1930-an. Tentang kegiatan ini, belum ada penjelasan lain di buku tentang Tebuireng dan Mbah Hasyim. Namun, peneliti sejarah Ahmad Baso menjelaskan bahwa sedikitnya ada dua buku yang mengonfirmasi kegiataan tersebut. 

Cerita Mbah Muchith itu juga dikonfirmasi oleh penuturan almarhum Ajengan Memed, pendiri pesantren Darul Hidayah Cibangkong Kota Bandung. Setelah Muktamar Menes 1938, bersama enam santri Sukamanah yang lain, Memed mewakili NU Cabang Tasikmalaya untuk mengikuti pelatihan kader ulama di Tebuireng selama tiga bulan. 

Ya, betul., Memed dan kawan-kawan adalah santrinya KH Zainal Musthafa Asy-Syahid. Sebagai Wakil Rais Syuriyah NU Cabang Tasiklamaya, Ajengan Sukamanah berkesempatan hadir di Muktamar Menes. Sekalipun ia tak berkesempatan berjumpa dengan Hadratus Syaikh yang berhalangan hadir di Menes, tujuh santrinya dapat berguru langsung di Tebuireng. 

Begitulah. Semoga kita kelimpahan berkah dari para almarhumin, pejuang-pejuang NU yang sejati itu. 

Penulis, khadim Media Center PWNU Jabar.


Editor:

Risalah Terbaru