Pesantren

Ideologi Pesantren Cipasung (3-Habis): Aktif dan Berjuang melalui Nahdlatul Ulama

Selasa, 27 Juli 2021 | 17:00 WIB

Ideologi Pesantren Cipasung (3-Habis): Aktif dan Berjuang melalui Nahdlatul Ulama

KH Moch. Ilyas Ruhiat saat menjadi Rais Aam PBNU pada sebuah acara

Oleh Muhammad Rizqi Romdhon

KH Ruhiat dari Pesantren Cipasung beserta KH Zainal Mustafa dari Pesantren Sukamanah mengikuti gurunya yaitu KH Muhammad Sobandi dari Pesantren Cilenga untuk masuk dan aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama, organisasi yang didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926. Pilihan mereka yang didirikan para kiai itu bisa dirunut dari proses belajar KH Muhammad Sobandi di Makkah di bawah asuhan Syaikh Mahfudz At-Tarmasi yang merupakan guru hampir semua pendiri Nahdlatul Ulama. 

KH Sobandi mendorong KH Ruhiat sebagai muridnya untuk mengembangkan Nahdlatul Ulama di Tasikmalaya dengan ikut serta pada Muktamar NU ke-5 di Pekalongan pada tahun 1930. Kehadiran KH Ruhiat di Pekalongan dicermati betul oleh KH A. Wachid Hasyim (ayah Gus Dur), terutama pada muktamar berikutnya; di Cirebon (1931), Bandung (1932) dan Jakarta (1933). 

Kepribadian KH Ruhiat memenuhi harapan KH A. Wachid Hasyim untuk mengembangkan Nahdlatul Ulama yang dapat mengimbangi gerakan modernisme. Mereka berdua memiliki kesamaan pandangan, salah satunya adalah terkait pakaian dan pembaharuan pengajaran pesantren. Setelah KH A. Wachid Hasyim menjadi Menteri Agama pun, beliau sering mengunjungi Pesantren Cipasung untuk bertemu KH Ruhiat.

Pada tanggal 25 Februari 1944 bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, KH Zainal Mustafa memimpin pemberontakan terhadap Jepang. Sebelum melakukan pemberontakan KH Zainal Mustafa mengundurkan diri dari Nahdlatul Ulama, agar organisasi itu tidak terseret oleh akibat dari pemberontakan ini. 

Padahal Ajengan Cipasung dan Sukamanah lazim disebut sebagai dua serangkai dan sama-sama aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Akan tetapi Ajengan Sukamanah bertekad untuk melawan Jepang, keduanya sepakat tidak akan melibatkan Nahdlatul Ulama secara organisasi dan perjuangannya bersifat pribadi. Dengan kesepakatan ini, jika terjadi akibat buruk dari perlawanannya, KH Ruhiat tetap bisa mengembangkan Nahdlatul Ulama di Tasikmalaya dan Jawa Barat. 

KH Zainal Mustafa berpesan kepada KH Ruhiat: “Harus ada yang selamat. Ajengan Ruhiat, anda harus tetap bisa mengembangkan NU di Tasikmalaya dan Jawa Barat. Cipasung harus berkembang, mendidik masyarakat Sunda dengan Ahlussunah wal Jama’ah. Besarkan anakmu Ilyas.” Di saat yang bersamaan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari sempat dijebloskan juga ke penjara hingga pendengarannya rusak.

Sekalipun mendukung sepenuhnya perjuangan Partai Nahdlatul Ulama, beliau tidak mau menjadi politisi yang berjuang di parlemen. Namun beliau tetap aktif dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama. Hal ini dibuktikan oleh KH Ruhiat lewat keterlibatannya dalam Nahdlatul Ulama sampai ke tingkat pusat. Beliau pernah menjadi A’wan Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 1954-1956 dan 1956-1959, serta perkembangan Nahdlatul Ulama di Tasikmalaya dan Jawa Barat yang ditunjang oleh Keluarga Besar dan Alumni Pesantren Cipasung.

Salah satu bentuk pembelaan yang kuat KH Ruhiat terhadap NU yaitu pada saat NU dianggap antek komunis karena menerima Nasakom, beliau berpidato: “Kalau kita tidak menerima Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), PKI (Partai Komunis Indonesia ) akan berkacak pinggang. Menerima Nasakom adalah siasat NU yang akan membuat PKI lupa daratan sehingga lupa akan bahayanya. Mereka merasa ada yang mendukung atas tujuan taktiknya, padahal secara diam-diam orang NU telah siap menghadapi apa yang akan terjadi. Buktinya, ketika orang lain bingung saat PKI melakukan kudeta, orang NU sudah langsung bisa menetapkan bahwa itu gerakan PKI. Buktinya langsung tanpa ragu meminta pemerintah untuk membubarkan PKI. Alhamdulillah, oleh pemerintah Orba (Orde Baru) dapat dikabulkan, PKI dibubarkan.” 

KH Ruhiat mewariskan dua ciri mandiri Pesantren Cipasung, yaitu ngalogat Sunda dan Nahdlatul Ulama. Kedua ciri itu menjadi penanda alumni Cipasung yang tersebar di wilayah Jawa Barat. Ngalogat di tangan KH Ruhiat telah menjadi alat peneguh identitas kesundaaan.

Meyakini Belajar Ilmu Pengetahuan Merupakan Kewajiban Beragama
KH Ruhiat pernah berkata bahwa: “Setiap agama yang tidak bisa mengiringi laju peradaban, kesampingkan saja, sebab agama tersebut hanya akan merepotkan pemeluk agamanya. Agama yang haq adalah Islam. Dan al-Quran ialah kitab yang memuat persoalan: keagamaan, ilmu pengetahuan, sosial kemasyarakatan, pendidikan atau pengajaran, etika dan sejarah, (yang akan abadi) hingga kiamat.” 

KH Ruhiat memelopori pendirian sekolah-sekolah umum, baik yang berafiliasi ke Depdikbud dan Depag; yaitu: Sekolah Pendidikan Islam (1949) yang pada taun 1953 berubah menjadi Sekolah Menengah Pertama Islam, Sekolah Rendah Islam (1953) yang berubah menjadi Madrasah Wajib Belajar dan kemudian menjadi Madrasah Ibtidaiyyah.  

Sebab utama pendirian Sekolah Rendah Islam Cipasung ialah karena guru Sekolah Rendah Negeri Sukasenang selalu mendoktrin murid-muridnya untuk mengikuti paham komunisme. Seperti keharusan untuk menanggalkan kerudung dan memaksa murid untuk mengingkari adanya alam barzah dengan mencontoh pulpen dikubur, ketika digali pulpen masih tetap ada. Padahal anak-anak KH Ruhiat, yaitu Yusuf Amin dan Dudung Abd. Halim bersekolah di Sekolah Negeri Sukasenang. 

Pada tahun 1959 didirikan Sekolah Menengah Atas Islam, lalu Fakultas Tarbiyyah Pendidikan Tinggi Islam Cipasung (1965) kemudian berubah menjadi IAIC, Sekolah Persiapan IAIN Sunan Gunung Djati Cabang Cipasung (1969) dan Fakultas Ushuludin Filial Cipasung (1970) yang hanya berlangsung dua tahun. Untuk pendirian Perguruan Tinggi Wawancara dengan Papat Fatimah binti KH Abbas Nawawi, besan KH Ruhiat sekaligus putri guru beliau.

Keagamaan Islam, Cipasung menjadi perintis di Jawa Barat, mendahului pendirian UIN SGD Bandung yang baru dimulai tahun 1968. KH Ruhiat termasuk pribadi yang terbuka atas segala perkembangan informasi dalam berbagai bidang. Selain kitab kuning, koleksi bukunya mencakup bidang politik, ekonomi, dan tata negara. Beliau menganggap agama Islam sebagai ajaran yang dinamis yang selalu harus bisa menjawab tantangan zaman. Beliau kerap mengutip pendapat al-Mustarwalidz al-Katib al-Injily al-Kabir yang terdapat dalam Tafsir al-Jawahir karya Syaikh Thanthawi Jauhary. 

Dari penjelasan di atas kita bisa mengambil intisarinya; yaitu:
1. Alm. KH Ruhiat mengamalkan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam kehidupan sehari-harinya, juga mengajarkannya kepada keluarganya, bahkan selalu berusaha membela dan menegakan manhaj Ahlussunah wal Jama’ah.

2. Alm. KH Ruhiat dalam kesehariannya mengamalkan dan mengajarkan Mazhab Al-Asy’ari dalam teologi (akidah) dan Madzhab Asy-Syafi’i dalam jurisprudensi (fikih). Bahkan beliau aktif menulis dalam kitab Mawaidz untuk memperjuangkan kedua mazhab tersebut.

3. Alm. KH Ruhiat menganggap bahwa mengajar merupakan tarekat beliau, dengan begitu beliau berpendapat bahawa mengajar merupakan cara utama dalam mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu hendaknya santri dan alumni bisa menjadi pengajar dimanapun mereka berada dan bekerja.

4. Alm. KH Ruhiat sangat loyal dengan NKRI, dibuktikan beliau aktif ikut berjuang dalam menuntut kemerdekaan, berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan, menolak upaya penggulingan kekuasaan secara tidak sah, dan selalu menganjurkan untuk berperan aktif dalam mengisi kemerdekaan.

5. Alm. KH Ruhiat selalu aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama, mulai dari masa mudanya sampai akhir hayatnya. Jabatan terakhir beliau di Nahdlatul Ulama adalah A’wan Syuriah PBNU. Bahkan pada saat Nahdlatul Ulama dituduh sebagai antek komunis pada zaman Nasakom, beliau tetap membela Nahdlatul Ulama.

6. Alm. KH Ruhiat meyakini bahwa dengan ilmu pengetahuan, Islam akan maju. Agama harus sejalan dengan ilmu pengetahuan agar bisa mencapai peradaban yang maju. Beliau mendirikan berbagai macam sekolah formal untuk merealisasikan keyakinannya. Anak-anak beliau dianjurkan untuk bersekolah formal agar memiliki ilmu pengetahuan.

Maka bisa disimpulkan, bahwa Ideologi Pasantren Cipasung adalah: Sunni, Asy’ari, Syafi’i, mu’allimi (pengajar), qaumi (nasionalis), nahdli, ‘ulumi (saintis).
سني، أشعري، شافعي، معلمي، قومي، نهضي، علومي

 

Wallahu a’lam bishshawab
 

Penulis adalah cucu KH Ruhiat

Penjelasan yang lebih detail akan kami tulis secara panjang lebar pada buku kami yang berjudul “Miftahul Ma`il Mukabbal: Ideologi Cipasung”.