• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Daerah

Ideologi Pesantren Cipasung (2): Loyal pada Negara Kesatuan Republik Indonesia

Ideologi Pesantren Cipasung (2): Loyal pada Negara Kesatuan Republik Indonesia
Para Masyayikh Pesantren Cipasung yang mewariskan dan melajutkan semangat juang kepada generasi pelanjutnya. (Dok. Keluarga Cipasung)
Para Masyayikh Pesantren Cipasung yang mewariskan dan melajutkan semangat juang kepada generasi pelanjutnya. (Dok. Keluarga Cipasung)

Oleh Muhammad Rizqi Romdhon

KH Ruhiat mendirikan Pondok Pesantren Cipasung dengan ketahanan aqidah dan jiwa patriotisme. Perkembangan Cipasung yang pesat mengundang kecurigaan penjajah Belanda sebab mereka beranggapan pesantren dapat mengancam kedudukan mereka. Terbukti dengan banyaknya ulama dan dai yang ditangkap dan dipenjarakan. 

 

Hal ini juga dialami KH Ruhiat, pada tanggal 17 November 1941 beserta KH Zainal Mustafa ditahan di penjara Sukamiskin Bandung selama 53 hari. Selama beliau ditahan, tugas pengajian dijalankan oleh KH Saeful Millah salah satu menantu beliau yang dibantu oleh Ajengan Abdul Jabbar. Alasan penahanan ini karena pemerintah Hindia Belanda cemas melihat kemajuan Pesantren Cipasung dan Sukamanah. 

Keduanya dinilai telah menghasut rakyat untuk bersikap anti penjajahan yang dianggap dapat mengganggu stabilitas. Hanya beberapa bulan beliau menghirup udara bebas, pada tanggal 6 Maret 1942 beliau ditangkap kembali bersama sepuluh kiai lainnya oleh Belanda dan ditahan di penjara Ciamis. Namun seiring dengan menyerahnya Belanda kepada Jepang, pada tanggal 9 Maret 1942 beliau dan sepuluh kiai lainnya dibebaskan lagi.

Tidak sedikit gangguan dan rintangan yang menerpa beliau dalam tugas agama dan negara ini. Peristiwa yang menjadi bukti kebenarannya ialah ketika terjadi pemberontakan Sukamanah pada tahun 1944, yang dipimpin oleh KH Zainal Mustafa; KH Ruhiat serta kiai-kiai lainnya, pada peristiwa tersebut KH Ruhiat ditangkap dan dipenjara di Tasikmalaya selama 2 bulan. 

Pada masa tersebut, pengajian diwakilkan oleh KH Saeful Millah dan KH Bahrum. Pemberontakan ini disebabkan oleh dua hal, yaitu kewajiban seikirei dan kewajiban pengumpulan beras tiga kuintal per bulan oleh pemerintah penjajah Jepang.

Sebagai kiai yang berjuang untuk kemerdekaan, pada tahun 1945, setelah mendengar Proklamasi Kemerdekaan, KH Ruhiat pergi ke alun-alun Tasikmalaya. Dia kemudian berdiri tegap di atas babancong, podium terbuka yang tak jauh dari pendopo kabupaten. Ia berpidato, menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan yang sudah diraih bangsa Indonesia cocok dengan perjuangan Islam. Oleh karena itu, kata dia, kemerdekaan harus dipertahankan dan jangan sampai jatuh kembali ke tangan penjajah. Ia meneriakkan pekik merdeka seraya menghunus pedangnya.

Ketika pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berlangsung, ia tak goyah sekalipun gangguan dari pihak Darul Islam sangat kuat. Ia menolak tawaran menjadi salah seorang imam Darul Islam. Ia menampik gerakan yang disebutnya mendirikan negara di dalam negara itu, karena melihatnya sebagai bughat (pemberontakan) yang harus ditentang. Puncaknya ia hampir diculik oleh satu regu Darul Islam, tetapi berhasil digagalkan. Akibat sikapnya yang tegas itu ia mengalami keprihatinan yang luar biasa, karena terpaksa harus mengungsi setiap malam hari, selama tiga tahun lamanya.

Delapan orang berusaha mengangkat dipan KH Ruhiat, namun berkat lindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dipan tersebut tidak bergeser sedikitpun. Karena gagal mengangkat tubuh beliau, pimpinan pasukan Darul Islam memaksa meminta cincin dan pena merk Parker milik beliau. Akibat kejadian tersebut, KH Ruhiat menggerakan para Ajengan Jawara untuk melatih silat bagi para santri dan warga sekitar Cipasung. 

Di antara pelatih silat tersebut adalah Ajengan Mapruh dari Pesantren Gentur Rancapaku yang kelak menjadi besannya. Selama mengungsi yang hampir tiga tahun lamanya tersebut, pengajian di malam hari di ampu oleh KH Moh Ilyas Ruhiat yang masih belia. Karena masih belia, KH Moh. Ilyas Ruhiat tidak diperhitungkan oleh DI/TII.

Meskipun Kolonial telah hengkang dari bumi pertiwi, namun situasi keamanan masih belumlah stabil terutama dengan datangnya kembali Belanda dengan agresi militernya yang ke II. Keadaan ini berpengaruh pula terhadap penyelenggaraan pendidikan Pondok Pesantren. 

Peristiwa yang mengerikan yang menimpa KH Ruhiat pada tahun 1949 waktu beliau sedang melaksanakan shalat Ashar bersama tiga orang santrinya, Belanda berusaha membunuhnya dengan melepaskan tembakan ke arahnya, namun berkat pertolongan dan perlindungan Allah SWT, usaha ini gagal. 

Dua orang santrinya, yaitu Abdurrazzak dan Ma’mun gugur sebagai syuhada. Sedangkan Aen santri lainnya mengalami luka berat di kepala. Dua orang santri yang sedang ada di asrama pun terkena tembakan dan gugur sebagai syuhada, yaitu Abdul Alim dan Zenal Muttaqin.

Setelah itu KH Ruhiat ditangkap dan dipenjarakan di Tasikmalaya dan dipindahkan ke penjara Sukamiskin selama sembilan bulan. Ini membuktikan bahwa KH Ruhiat seorang non-kooperatif sejati sehingga dibenci penjajah yang membonceng pasukan NICA. Kegiatan pengajian diwakilkan oleh KH Saeful Millah bersama KH Moh. Ilyas Ruhiat sampai beliau dibebaskan pada tanggal 27 Desember 1949. 

Walau beraneka cobaan dan cerita pahit mengiringinya, beliau tetap sabar dan tawakkal kepada Allah SWT dalam perjuangannya, sehingga pesantren pun tidak hanyut oleh zaman apalagi karam diterpa gelombang. Malahan ini menjadi cambuk untuk pertumbuhan dan perkembangan Pondok Pesantren Cipasung ini. (Bersambung)

Penulis adalah cucu KH Ruhiat


Daerah Terbaru