• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 22 Mei 2024

Opini

Wawasan Baru dalam Penerapan Rasm Al-Qur’an: Penafsiran Muhammad Syamlul (Bagian 2)

Wawasan Baru dalam Penerapan Rasm Al-Qur’an: Penafsiran Muhammad Syamlul (Bagian 2)
Penafsiran Muhammad Syamlul. (Ilustrasi/http://ayatinstitute.com)
Penafsiran Muhammad Syamlul. (Ilustrasi/http://ayatinstitute.com)

Oleh Irfan Fauzi
Pada pembahasan terdahulu, kita telah mengenal seputar penulisan (rasm) Al-Qur’an dan cara pandang penafsiran Muhammad Syamlul. Sekarang, kita akan mengenal kaidah-kaidah rasm dalam mushaf utsmani dan penerapannya dalam penafsiran Al-Qur’an.


Selain Syamlul, sebenarnya masih banyak para ulama tafsir yang konsen dalam bidang rasm Al-Qur’an. Di antaranya, Imam Abu Amr Al-Dani dalam kitab Al-Muqni’, Abu Abbas Al-Murkisyi dalam kitab ‘Unwan Al-Dalil fi Rusum Khath Al-Tanzil, dan Muhammad bin Ahmad Al-Mutawali dalam karya nadzamnya Al-Lu`lu`u Al-Mandzum fi Dzikr Jumlah min Al-Marsum.


Lalu Muhammad Khalaf Al-Husaini guru di Diyar Mesir yang memberikan komentar pada kitab nadzam tersebut, dan memberikan catatan kaki, kitabnya bernama Mursyid Al-Hairan ila Ma’rifati Ma Yajib Itba’ih fi Rasm Al-Qur’an. [Al-Zarqani, Manahil al-’Irfan fi Ulum al-Qur’an. cet. Dar Al-Kitab Al-Arabi. Beirut. 1995, hlm. 300]


Kaidah-kaidah Rasm Utsmani


Dalam kaidah rams utsmani sebagian ulama telah memberikan ketentuan dalam penulisan Al-Qur’an. Mereka meringkasnya ke dalam 6 kaidah: (1) Hadzf (pembuangan), (2) Ziyadah (penambahan), (3) Hamz (Hamzah), (4) Badal (pergantian), (5) Fashl (pememisah) dan Washl (penyambung), (6) Ma Fihi Qira`atani Fakutiba ala Ihdahuma (kata yang mempunyai dua macam bacaan dan ditulis salah satunya). [Lihat Muhammad Syamlul, I’jaz Rasm Al-Qur’an wa I’jaz Al-Tilawah, cet. Dar Al-Salam. Kairo. 2006, hlm. 32]


1. Kaidah Pembuangan (الحذف)


Kaidah pertama dalam penulisan (rasm) utsmani terdapat pembuangan pada beberapa lafal dalam Al-Qur’an. Seperti penulisan: يٰأَيُّهَا النَّاسُ (terdapat pembuangan alif, يَآأَيُّهَا); اِبْرَاهٖـمَ (pembuangan ya’, اِبْرَاهِيْمَ); atau لاَ يَسْتَوٗنَ (pembuangan wawu, لاَ يَسْتَوُوْنَ).


2. Kaidah Penambahan (الزيادة)


Kaidah penambahan biasanya pada alif, wawu, dan ya’. Contohnya: اُوْلُوْا اْلأَلْبٰبِ (terdapat penambahan wawu dan alif pada lafal اُوْلُوْا); نَبَإِىْ اْلمُرْسَلِيْنَ (penambahan ya’).


3. Kaidah Hamzah (الهمز)


Maksud kaidah ini adalah lafal yang berkaitan dengan hamzah baik hidup atau mati disesuaikan dengan huruf sebelumnya. Contoh: ائْذَنْ (hamzah sukun dan huruf sebelumnya dibaca kasrah sebab menyesuaikan dengan ى), سَأَلَ (hamzah hidup dibaca fathah sebab menyesuaikan dengan ا). 


4. Kaidah Pergantian (البدل)


Kaidah ini mengacu pada pergantian suatu lafal yang biasanya ditulis, namun pada rasm utsmani diganti bisa dengan wawu, ya’, atau ta’. Contoh: الصَّلَوٰةُ, الزَّكَوٰةَ (biasanya ditulis الصَّلَاةُ, الزَّكَاةُ); عَلٰى (alif diganti dengan ى); رَحْمَتَ (Ha’ Ta’nits [ة] diganti dengan ت).


5. Kaidah pemisahan (الفصل) dan penyambungan (الوصل) 


Kaidah ini maksudnya adalah menyambung atau memisahkan lafal, sepertiأَنْ  disambung denganلَا  (jadi أَلَّا),  مِنْ disambung dengan مَا (jadi مِمَّا). Begitu juga lafal: نِعِمَّا, وَرُبَّمَا, وَكَأَنَّمَا, وَيْكَأَنَّمَا, dan selainnya.


6. Kaidah yang memiliki dua bacaan dan ditulis salah satunya


Kaidah terakhir ini, menjelaskan bahwa suatu kalimat bisa dibaca dua wajah, namun ditulis dengan salah satunya. Seperti halnya penulisan kalimat tanpa alif pada lafal: مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ, sebab pada lafal tersebut sebagian ulama ada yang membaca panjang atau pendek pada mim-nya lafal ملك.


Penafsiran Ayat dengan Rasm Al-Qur’an


Selama ini penafsiran yang telah dilakukan oleh para mufasir, sedikit sekali yang menyingkap tafsirannya menggunakan pendekatan rasm Al-Qur’an. Terlepas dari perbedaan rasm itu sendiri, penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan rasm Al-Qur’an justru memberikan angin segar dalam khazanah penafsiran baru.


Pada kesempatan ini, kita akan sedikit menguraikan penafsiran ayat Al-Qur’an menurut Muhammad Syamlul yang melihat dari rahasia dibalik rasm utsmani serta mengkolerasikan dengan penafsiran menurut sebagian mufasir. Ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah firman Allah yang berbunyi:  


إِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ


Artinya: “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk (kesalahan).” (Q.S. Surat Hud: 114)


Lafal الْحَسَنٰتِ dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 3 kali: Surat Hud: 114, Al-A’raf: 70, dan Al-Furqan: 70. Semuanya ditulis tanpa menggunakan alif yang ada di tengah (maksud: الْحَسَنَاتِ). Sementara lafal السَّيِّئَاتِ dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 36 kali. Semuanya ditulis dengan alif yang terletak di tengah.


Lantas apa yang membedakan penulisan (rasm) pada lafal tersebut? Muhammad Syamlul menjelaskan bahwa lafal الْحَسَنٰتِ -ditulis tanpa alif- bermakna bahwa amal kebaikan meskipun sedikit ia akan melekat pada diri seseorang dan tidak dapat dipisahkan, serta dicatat segera setelah ia melakukannya. Sedangkan lafal السَّيِّئَاتِ -ditulis dengan alif- bermakna bahwa kesalahan berpotensi dapat dipisahkan (dihilangkan) dan dapat diganti dengan kebaikan jika segera bertaubat.


Jadi, pembuangan alif di tengah lafal dalam rasm utsmani dapat menunjukkan makna iltishaq (melekat/berdampingan) dan atau al-qurb (dekat/berdekatan). Adanya penulisan alif dan tidaknya, berarti adanya makna penghubung atau pemisah.


Sebagaimana lafal الْحَسَنٰتِ (perbuatan-perbuatan baik) mengandung makna iltishaq dan al-qurb, artinya sedikitnya saja amal kebaikan (satu kebaikan, misalnya) yang dikerjakan dapat menghapus kesalahan yang banyak (السَّيِّئَاتِ) -dengan alif- yang menunjukkan adanya pemisahan atau jarak sehingga dimaknai banyak tanpa ada makna iltishaq/al-qurb. 


Pendek kata, satu kebaikan tidak sebanding dengan menghapus satu kesalahan, justru satu kebaikan sebanding dengan menghapus banyaknya kesalahan. Dimana amal kebaikan yang dikerjakan itu setara dengan sepuluh kebaikan bahkan belipat-lipat sampai 700 kebaikan. [Muhammad Syamlul, hlm. 73]


Tafsir Surat Hud ayat 114 Menurut Sebagian Mufasir


Lazimnya penafsiran Al-Qur’an, suatu ayat tertentu tidak cukup ditafsiri tanpa melihat ayat lain yang munasabah. Demikian pula, bila melihat penafsiran Ibnu Katsir dalam surat Hud ayat 114 beliau tidak membedakan makna kebaikan dan kesalahan sebagaimana Syamlul lakukan.


Ibnu Katsir menjelaskan bahwa amal kebaikan, seperti wudhu, shalat, dan amal kebaikan lainnya dapat menghilangkan kesalahan (yakni dosa kecil). Di sisi lain maksud dari kebaikan adalah kalimat thayyibah. [Lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, cet. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Beirut. 1419 H, j. 4, hlm. 304]


Barulah penafsiran di atas dijelaskan dengan ayat lain yang munasabah, seperti surat Al-An’am: 160 atau An-Naml: 89 yang menjelaskan niat baik meskipun belum dilakukan akan dicatat kebaikan, jika dilakukan maka mendapatkan 10 kebaikan sampai 700 kali bahkan berlipat-lipat.


Berbeda dengan niat buruk yang belum dilakukan tidak akan dicatat, jika dilakukan maka hanya dicatat satu keburukan. Ibnu Katsir menafsirkan amal kebaikan tetap harus didasari keikhlasan, serta maksud tafsir keburukan adalah syirik kepada Allah. [Lihat Ibnu Katsir, j. 3, hlm. 339 & j. 6, hlm. 196]


Imam Al-Razi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa makna kebaikan (al-hasanat) pada surat Hud: 114 dimaknai dengan dua versi: pertama, maksud dari kebaikan adalah lima waktu shalat yang dapat menghapus dosa-dosa selama menjauhi dosa-dosa besar; kedua, ditafsiri sebagai ucapan subhanallah wal hamdulillah wa lailahaillah wallahu akbar.


Begitu juga pada ayat lain yang munasabah, penafsiran Al-Razi satu nafas dengan Ibnu Katsir bahwa kebaikan di sini adalah kalimat thayyibah (lailahaillallah) dan keburukan adalah syirik. Juga, amal kebaikan meskipun masih berupa niat akan dicatat kebaikan, jika dilakukan dicatat 10 kali lipat. Berbeda niat buruk tidak akan dicatat dan jika dilakukan hanya dicatat satu keburukan. [Al-Razi, Mafatih al-Ghaib. cet. Dar al-Turats al-Arabi. Beirut. 1420 H, j. 14, hlm. 190]


Kesimpulannya, penafsiran yang dilakukan Muhammad Syamlul memang tidak begitu padat bila melihat penafsiran yang disampaikan Ibnu Katsir atau Al-Razi yang menafsirkan secara riwayat (bil-riwayah) atau akal (bil-ra’yi). Hadirnya penafsiran yang melihat aspek rasm Al-Qur’an justru memberikan samudera wawasan dalam menyelami rahasia di dalam Al-Qur’an.


Penulis merupakan pegiat kajian di bidang Al-Qur’an dan Hadis, Santri Pondok Pesantren Al-Munawwir dan Mahasiswa Magister IAT UIN Sunan Kalijaga.


Opini Terbaru