• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Spirit Haji (1)

Spirit Haji (1)
Spirit Haji (1). (FOto: NUO).
Spirit Haji (1). (FOto: NUO).

Setiap tiba bulan haji (Dzulhijah), ada orientasi-orientasi besar yang perlu direnungkan dan dijadikan sumber pembelajaran, terutama bagi yang sedang melaksanakan ibadah haji sebagaimana tercantum dalam QS al-Baqarah ayat 197: 


“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.” (QS al-Baqarah [2]: 197).


Orientasi pertama, falaa rafats, yaitu larangan dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang mengarah pada timbulnya syahwat (nafsu) birahi, termasuk di dalamnya berhubungan badan (jima). Orientasi kedua, walaa fusuq, yaitu larangan dalam melakukan perbuatan-perbuatan maksiat, baik yang disadari maupun tidak disadari. Dan orientasi ketiga, walaa jidal, yaitu larangan dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang mengarah pada perdebatan, perselisihan, pertengkaran, dan permusuhan. Semua orientasi ini merupakan sebagai pengejawantahan dari ciri-ciri orang yang bertakwa.


Orientasi besar lainnya tentu adalah pelaksanaan ibadah haji yang sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, disertai juga dengan memperhatikan berbagai syarat, rukun, dan kewajiban dalam pelaksanaan ibadah haji. 


Oleh karena itu, mengingat ibadah haji merupakan ibadah yang bersifat ruhaniah, jasmaniah, dan maliah, maka orientasi-orientasi besar itu menjadi hal yang sangat fundamental yang harus diperhatikan oleh seluruh para jemaah haji. Dengan demikian semua harapan yang dicita-citakan oleh para jemaah haji untuk mendapatkan predikat haji mabrur seyogianya akan dapat tercapai dengan baik.


Nabi SAW bersabda: “Ibadah umrah hingga umrah berikutnya merupakan penghapus dosa di antara keduanya. Sementara haji mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali balasan syurga.” (HR. Bukhari-Muslim).


Begitupun “bagi siapa saja yang melakukan ibadah haji, dan ia tidak melakukan rafats (jima), dan tidak melakukan perbuatan fasik (dosa), maka ia akan kembali suci dari dosa seperti manakala ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari-Muslim).


Teladan 
Ibadah haji erat hubungannya dengan kisah keteladanan Nabi Ibrahim AS, Nabi Ismail AS, dan Siti Hajar dalam menegakan syiar Islam dan kebesaran Allah SWT. Syiar dan kebesaran Allah itu meliputi Baitullah Haram (Ka’bah), Telaga Zamzam, Shafa, Marwah, ‘Arafah, Muzdalifah (Masy’aril Haram), Jumrat Ula-Wustha-Aqabah, Wukuf, Tawaf, Ihram, Sa’i, Tahallul, dan ibadah kurban.


Pertama, Baitullah Haram (Ka’bah). Ka’bah merupakan rumah (ibadah) pertama yang dibangun manusia di muka bumi ini (QS ali-Imran [3]: 96). Juga sebagai tempat berkumpul (beribadah) dan tempat yang aman bagi manusia (QS al-Baqarah [2]: 125). 


Pembangunan Ka’bah berawal dari pertemuan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS setelah sekian lama berpisah. Sesaat setelah bertemu, Nabi Ibrahim AS memberitahukan kepada Ismail AS bahwa pembangunan Ka’bah itu merupakan atas dasar wahyu Allah SWT yang diberikan kepadanya. Pembangunan Ka’bahnya pun kemudian dibangun atas dasar ketaatan keduanya kepada Allah SWT. 


Dua hal penting yang perlu diambil pelajaran di saat Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS bekerja keras tanpa keluh kesah dalam membangun Ka’bah yaitu apa yang dipanjatkannya sebagaimana dikisahkan dalam QS al-Baqarah ayat 127-128:


“Ya Tuhan kami! Terimalah daripada kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan Kami! Jadikanlah kami berdua orang-orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Baqarah [2]: 127-128).


Kisah dua Nabi suci di atas memberikan pelajaran kepada kita akan pentingnya totalitas penghambaan dari seorang manusia kepada Tuhannya disaat sedang melakukan ibadah. Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS juga mengajarkan kepada kita akan pentingnya sikap optimistis terhadap masa yang akan datang sebagaimana digambarkan keduanya dengan meminta dianugerahkan generasi manusia sesudahnya agar diberi kemudahan dalam memahami cara-cara ibadah kepada Allah SWT.


Kedua, Telaga Zamzam, Shafa, dan Marwah. Telaga Zamzam, Shafa, dan Marwah erat kaitannya dengan kisah Nabi Ismail AS dan ibunya Siti Hajar ketika berada di lembah Makkah sesaat setelah ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim AS yang pergi merantau atas dasar perintah Allah SWT.


Dikisahkan, ketika Siti Hajar dan Ismail AS berada di lembah padang tandus Makkah tanpa disertai perbekalan yang memadai,  Siti Hajar mencoba sekuat tenaga untuk mempertahankan jiwa sang anak Ismail agar dapat bertahan hidup. Setelah berlari-lari kecil di antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali, akhirnya didapatkan sumber mata air yang letaknya tidak jauh dari tempat bayi Ismail ditinggalkan. Dari kisah inilah awal mula disyariatkannya Sa’i sebagai bentuk rukun ibadah haji dan umrah, yaitu berlari-lari kecil sebanyak tujuh kali dari bukit Shafa hingga bukit Marwah begitupun sebaliknya yang pelaksanaannya dikerjakan setelah melakukan tawaf.


Dari kisah di atas, dapat diambil hikmah bahwa setiap pengorbanan, perjuangan, dan kesabaran dalam rangka melaksanakan perintah Allah SWT dan dalam menghadapi berbagai rintangan dan cobaan tanpa batas akan membuahkan hasil yang begitu istimewa. Hal inilah sebagaimana dicontohkan oleh Siti Hajar dan Ismail AS sehingga pengorbanan dan perjalanan yang tak ternilai harganya itu telah abadi dan menjadi suri teladan bagi umat manusia sesudahnya. 
(Bersambung)


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut.


Opini Terbaru