• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Opini

Santri dan Kesenjangan Digital : Tantangan Vs Peluang (1)

Santri dan Kesenjangan Digital : Tantangan Vs Peluang (1)
Sumber Ilustrasi: NUO.
Sumber Ilustrasi: NUO.

Oleh: Heri Kuswara
A. Santri dan Kesenjangan Digital 
Santri  merupakan salah satu elemen bangsa terdepan dalam turut serta memperjuangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terbukti banyak sejarah mengungkap tentang kisah heroik santri sebagai garda terdepan dalam berjuang untuk kemerdekaan ini. Santri yang merupakan siswa dari pondok pesantren sangat komprehensif dalam mempelajari berbagai ilmu keagamaan khususnya mempelajari kitab kuning sehingga melahirkan santri yang berilmu dan berakhlak.

Namun demikian, era globalisasi yang sangat super cepat, salah satunya adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi khususnya teknologi digital  berdampak pada kesenjangan yang sangat tinggi antara santri dan kemampuannya dalam memanfaatkan teknologi digital. Kesenjangan digital ini, merupakan tantangan bagi santri untuk mampu menjadikannya peluang sebagai media strategis dalam menjawab tantangan jaman.

Melalui teknologi digital akan lahir generasi santri yang bukan saja cerdas dan ahli dalam ilmu agama namun cerdas dan terampil dalam memanfaatkan teknologi digital sebagai media strategis dalam pembelajaran dan pengamalannya.  

Santri sering diidentikan dengan sebutan  pelajar atau siswa disebuah pesantren yang gaptek atau kurang menguasai teknologi informasi dan komunikasi (teknologi digital). hal ini, dikarenakan model dan metode pembelajaran dipesantren terutama pesantren salaf yang terkesan masih tradisional dan menggunakan cara-cara manual. Namun demikian beberapa peneliti membuktikan bahwa dewasa ini santri sudah mulai melek teknologi, meskipun dipandang masih minoritas. Hasil dari observasi yang dilakukan oleh Mantyastuti YA (2021:3) misalnya menunjukkan bahwa tidak sepenuhnya santri pada Pondok Pesantren Salaf tidak memanfaatkan teknologi informasi, hanya saja pemanfaatan teknologi informasi dibatasi, yaitu tidak diperkenankan menggunakan teknologi informasi dengan bebas ketika berada dilingkungan pondok pesantren. Hal ini menunjukan bahwa keberadaan teknologi informasi dan komunikasi (teknologi digital) belum digunakan sepenuhnya oleh  santri sebagai sarana efektif dalam mengupdate ilmu pengetahuan dan ilmu agamanya. 

Era globalisasi yang ditandai dengan lahirnya era Revolusi Industri 4.0, era VUCA (Volatile Uncertainty, Complexity, Ambiguity), era society 5.0, dan era disruptif (Disruptive Innovation) menjadi tantangan tersendiri bagi santri untuk merubah paradigma pembelajarannya dari yang berbasis manual, tradisional ke yang berbasis digital. perubahan paradigma ini tidak dimaksudkan untuk meninggalkan tradisi dan budaya santri dalam pembelajarannya  yang selama ini  dilestarikan sebagai identitas santri dipesantren. Santri harus tetap beridentitas lokal (local wisdom) namun wajib berdaya saing global.  perubahan paradigma kyai dan santri didalam pesantren sangat dibutuhkan agar santri sebagai generasi milenal mampu menjadi santri milenial yang dapat menjawab tantangan jaman yang serba digital. Oleh karenanya, kyai sebagai pimpinan pesantren tentu harus visioner dan bijak dalam  melihat perkembangan jaman yang serba digital ini agar santri dapat memanfaatkan teknologi digital sebagai sarana efektif dalam pembelajaran dan pengamalannya.

Kesenjangan digital bagi santri merupakan konsep mengenai kesenjangan digital yang dikemukakan oleh Van dijk sejauh ini menjadi konsep yang melengkapi konsep kesenjangan digital yang dikemukakan oleh beberapa penulis mengenai kesenjangan digital yang sebelumnya. Konsep tersebut memberikan gambaran bahwa kesenjangan digital tidak hanya persoalan kesempatan akses dan kemampuan akses melainkan secara lebih luas Van Dijk menjelaskan bahwa kesenjangan digital dapat dilihat dari empat faktor, yaitu motivation, physical and material access, skills access, and usage access. (van dijk dalam Mantyastuti YA (2021:4).

Keempat faktor tersebut penulis  jelaskan sebagai berikut. 1). Faktor Motivasi. faktor motivasi untuk melihat sejauhmana santri mempunyai keinginan yang kuat untuk menggunakan dan memanfaatkan teknologi digital sebagai sarana dalam pembelajarannya di pondok pesantren. Santri harus mempunyai motivasi yang kuat untuk menggunakan dan memanfaatkan teknologi digital. 2) faktor sosial dan faktor psikologis.  Faktor sosial ini harus  mengarah pada ketertarikan atau ketidaktertarikan santri memanfaatkan teknologi informasi dalam pembelajarannya. Kesenjangan ini muncul bisa karena santri tidak diberikan akses terhadap teknologi informasi. Sedangkan faktor psikologis adalah dorongan dari dalam diri karena kurangnya motivasi dari santri untuk memanfaatkan teknologi informasi. Faktor ini muncul lebih karena melihat dampak negatif dari teknologi digital. 3) Faktor Keterampilan akses. Faktor ini  adalah kemampuan untuk mengelola perangkat keras dan perangkat lunak. Dalam hal ini keterampilan dibedakan menjadi dua, yaitu information skills dan strategic skills.

Information skills adalah keterampilan untuk mencari, memilih, dan memproses informasi dalam komputer dan jaringan. strategic skills didefinisikan sebagai kapasitas untuk menggunakan komputer dan jaringan sebagai sarana untuk tujuan tertentu dan untuk tujuan umum untuk meningkatkan kedudukan seseorang dalam masyarakat.

Faktor yang paling berpengaruh dalam keterampilan akses ini adalah usia dan pendidikan. Dari sisi usia santri menurut teori generasi manusia masuk kedalam generasi milenium/millenial (generasi Y), generasi Igeneration/Generasi Net/Internet (Generasi Z) dan Generasi Alpha sehingga sebenarnya Generasi inilah “penguasa” teknologi digital. Namun dari sisi pendidikan, santri yang notabene ada pada generasi pembelajar (siswa/mahasiswa) masih banyak yang tidak berpendidikan formal terutama dipesantren-pesantren salafi (tradisional). Inilah yang menjadi faktor kesenjangan santri dengan dunia digital.

Selanjutnya faktor keempat yang juga berpengaruh terhadap kesenjangan santri terhadap teknologi digital adalah keguanan akses. Santri merasa bahwa teknologi digital tidak berperan signifikan pada proses pembelajaran dipesantren. Hal ini mengingat pembelajaran dipesantren khususnya dipesantren salafi hanya mengajarkan Kitab Kuning kepada santri dengan bimbingan Kyai. Proses pengajaran meliputi metode tradisional, seperti sorogan dan bandongan. Namun saat ini “Pengajaran dan pedagogik modern mulai memengaruhi metode pengajaran di pesantren ketika masyarakat mulai menuntut pengembangan metode ajar di pesantren. Beberapa pesantren mulai mengembangkan kurikulum mereka dengan memasukkan kurikulum nasional, seperti matematika, sejarah, bahasa Inggris, dan ilmu keagamaan. Banyak pesantren yang juga menawarkan kursus-kursus kejuruan untuk keahlian pertanian, reparasi kendaraan, wiraswasta, dll.” Tan dalam Azzahra NF, 2020:8)

Peraturan pesantren yang membatasi bahkan melarang santrinya untuk mengakses teknologi digital selama dipesantren dan keempat faktor yang dikemukakan diatas menjadi penyebab terjadinya kesenjangan santri terhadap informasi yang up to date  yang dapat diakses dengan teknologi digital. oleh karenanya, dijama yang serba digital ini, pesantren, kyai dan santri harus mampu mengatasi kesenjangan digital ini dengan mengkolaborasikan dan mensinergikan  pola pembelajaran yang selama ini dilaksanakan dengan bantuan media digital. tentu perlu digarisbawahi kekhasan dari model pembelajaran pesantren tetap dilestarikan dan dibudayakan sebagai identitas pesantren.

B. Tantangan dan Peluang Santri di Era Digital 
Pada era digital ini, santri dihadapkan pada dua kondisi yang harus saling bersinergi, disatu sisi santri harus tetap istiqomah melestarikan dan membudayakan tradisi kekhasan pesantren sebagai identitas santri disisi lain santri dihadapkan pada tantangan perubahan jaman baik perubahan  sistem sosial maupun perkembangan teknologi  yang super cepat.  kyai yang dalam hal ini sebagai pimpinan dan pemegang kebijakan tertinggi dipesantren harus luwes, arif dan bijak melihat kebutuhan santri akan ilmu, pengetahuan dan informasi yang up to date dalam menjawab tantangan jaman yang serba digital.  pesantren harus memberikan ruang pada santri untuk dapat mengakses informasi melalui media atau teknologi digital.

Terlebih pesantren yang hampir seluruhnya didirikan oleh ulama atau kyai nahdlatul ulama  harus memahami makna dari islam nusantara yang tetap melestarikan dan membudayakan kearifan lokal namun sangat kompatibel dalam perubahan yang sudah, sedang, dan akan terjadi.  Imam Alqarafy mengatakan “Stagnasi Terhadap Dalil-Dalil Qauly Adalah Bentuk Ketersesatan Dalam Beragama Dan Bentuk Kebodohan Terhadap Maqashid Ulama Salaf” (Imam Al-Qarafy dalam Baidlowi M, 2019).

Lahirnya Hari Santri Nasional yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Dilanjutkan dengan lahirnya Undang-Undang UU 18 tahun 2019 tentang Pesantren, dan baru-baru ini adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren yang diinisiasi dan dimotori oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)  menjadi kado terindah bagi pesantren  dalam meningkatkan kapasitas pendidikin santrinya yang berbasis lokal (local wisdom) berdaya saing global. keberpihakan dan perhatian pemerintah terhadap pesantren dapat menjadi solusi bagi pesantren dalam menyediakan infrastruktur  teknologi informasi dan komunikasi  untuk akses digital dipesantren. 

Perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai Partai yang kelahirannya di”bidani” oleh Nahdlatul Ulama (NU)  dalam memperjuangkan undang-undang dan peraturan tentang pesantren dapat dijadikan sebagai momentum terbaik bagi santri untuk dapat meningkatkan ilmu pengetahuannya khususnya dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi digital sebagai media strategis dalam pembelajarannya. Setidaknya Sembilan (9) gagasan (usulan), penulis  suguhkan disini agar santri melek, cerdas dan terampil dengan teknologi digital. Jumlah sembilan (9) gagasan ini, terinspirasi oleh Jumlah Wali Songo yang terimplementasikan pada jumlah bintang pada lambang Nahdlatul Ulama (NU). Kesembilan gagasan tersebut adalah, sebagai berikut.

Pertama Tersedianya Teknologi Informasi berbasis Internet di Pesantren. Ketersediaan teknologi informasi menjadi hal yang wajib bagi pesantren agar santri dapat dengan mudah mengakses informasi digital yang dibutuhkan.

Kedua Pelatihan Teknologi Informasi berbasis Internet. Keberadaan teknologi informasi di pesantren harus dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh santri. Oleh karenanya Kyai, Ustadz dan santri di pondok pesantren wajib diberikan pelatihan dari berbagai pakar dan ahli dibidang teknologi informasi dan komunikasi sebagai ichtiar dari pesantren agar santri cerdas dan terampil menggunakan teknologi digital tersebut.

Ketiga Perhatian pemerintah terhadap pesantren. Dengan payung hukum yang sudah dibuat, pemerintah pada semua tingkatan harus memberikan bantuan kepada pesantren dalam bentuk penyediaan teknologi informasi berbasis internet sebagai upaya pemerintah melahirkan santri millenial yang cerdas dan terampil dengan teknologi digital

Keempat Kolaborasi Model Pembelajaran. Pola pembelajaran pesantren yang selama ini dijalankan tetap dilestarikan dan dibudayakan dengan memberikan sentuhan kreatifitas yang lebih menarik dengan menggunakan teknologi digital.

Kelima Penggunaan fasilitas digital (teknologi informasi dan komunikasi) dipesantren tetap diatur sebaik mungkin dengan mempertimbangkan kepentingan dan kegunaan dari teknologi digital itu sendiri dalam mendukung suksesnya pembelajaran santri dipondok pesantren.

Keenam Pelatihan tentang pentingnya berinternet yang baik dan sehat bagi santri, sehingga santri dapat memanfaatkan internet hanya untuk kemaslahatan.

Ketujuh Pelatihan bagi santri tentang merancang  hardware dan software.  Sehingga santri bukan saja terampil menggunakan teknologi digital, tapi  juga mampu memperbaiki hardware dan merancang software sesuai kebutuhan.

Kedelapan Pemahaman kepada santri mengenai UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Dengan memahami undang-undang ini, diharapkan santri dapat menggunakan teknologi digital sesuai aturan. Terutama terhindar dari cyber crime (kejahatan dunia maya).

Kesembilan Pesantren yang dalam hal ini Kyai sebagai pimpinan dan pemegang kebijakan dipesantren, harus peka dan kritis terhadap perkembangan jaman yang serba digital. hal inilah yang akan menjadikan pertimbangan bagi santri untuk memanfaatkan teknologi digital.

Kesembilan (9) gagasan sederhana ini, merupakan ichtiar yang dilakukan, agar santri dapat menghindari kesenjangannya dengan dunia digital. dewasa ini dibutuhkan santri yang bukan saja berakhlak baik (akhlakulkarimah), mumpuni dalam ilmu agama, namun lebih dari itu santri harus mampu menguasai literacy digital yang terdiri dari: 1)  Information literacy: yaitu terampil dan cerdas mengolah dan mengelola data menjadi informasi yang baik dan benar, 2) media literacy yaitu terampil dan cerdas dalam menyuguhkan atau menampilkan informasi di media digital, dan 3) technology literacy yaitu terampil dan cerdas dalam menggunakan teknologi yang berbasis digital.

C. Kesimpulan
Santri hadir jauh sebelum lahirnya pendidikan formal. Sebagai generasi yang dididik di pesantren oleh Kyai, selain cerdas dalam ilmu agama, santri senantiasa memberikan teladan terpuji dalam sikap dan perilakunya (akhlakul karimah). Pola dan model pembelajaran dipesantren, kurang dapat mengikuti perkembangan teknologi yang semakin masif, sehingga  menjadikan kesenjangan bagi santri dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi digital. sebuah tantangan bagi santri untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi digital dengan tetap melestarikan tradisi atau model pembelajaran pesantren yang dirasa masih baik.

Lahirnya Undang-Undang Pesantren yang digagas dan dimotori oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menjadi angin segar bagi santri untuk menjawab tantangan digital ini dengan memanfaatkan berbagai akses teknologi informasi yang ada dipesantren sebagai media strategis untuk menambah kekayaan ilmu, pengetahuan khususnya ilmu agama melalui informasi yang dapat diakses secara up to date. Selain itu, teknologi digital dapat dimanfaatkan santri sebagai sarana dakwah dalam rangka mengamalkan hasil pembelajarannya dipesantren. Tentu dengan mengedepankan akhlakul karimah dan islam wasathiyah (islam moderat). 

Penulis adalah Anggota Dewan Redaksi NU Jabar Online.
 


Opini Terbaru