• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 6 Mei 2024

Opini

Refleksi Hari Guru: Etika dan Estetika Guru

Refleksi Hari Guru: Etika dan Estetika Guru
Ilustrasi guru yang sedang mengajari muridnya belajar mengaji. (Foto: NU Online)
Ilustrasi guru yang sedang mengajari muridnya belajar mengaji. (Foto: NU Online)

Jika hujan turun maka halaman basah. Jika belajar maka pintar. Begitulah kira-kira contoh hukum silogisme. Pada ranah pendidikan, maka bentuknya adalah; jika guru ada, maka masa depan bangsa akan cerah. Bentuk penarikan kesimpulan itu adalah pernyataan paling


Ada dua hal fundamental untuk menumbuhkan rasa senang belajar. Pertama etika dan yang kedua estetika. Etika dalam hal ini adalah semangat ingin mengetahui sesuatu dengan mendisiplinkan diri, memiliki karakter yang kuat untuk mengetahui sesuatu serta kesopanan dalam menuntut ilmu.


Estetika atau nilai yakni rasa senang, indah, nyaman, dan nikmat dalam belajar. Kedua hal ini wajib ada bagi pelajar sejati, sehingga tujuan dari apa yang diinginkan dalam belajar dapat tercapai dengan baik dan tepat sasaran. Pendidikan tak berbatas demikian penulis menyebutnya.


Pendidikan adalah cara terbaik dalam rangka mencetak generasi bangsa yang unggul dalam berbagai bidang. Demikian pula dengan pendidikan di Indonesia. Dengan pendidikan, nilai luhur budaya bangsa akan dapat diwariskan untuk generasinya.


Namun, dalam memilih model pendidikan, suatu bangsa harus memperhatikan budaya yang telah melekat menjadi karakter bangsa tersebut. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam memiliki budaya ke-Timur-an yang tertuang dalam sistem pendidikan Islam yang tentunya berbeda dengan pendidikan Barat dengan corak sekulernya.


Inti dari pendidikan Islam sebenarnya terletak pada pendidikan nilai, karena tujuan dari pendidikan adalah mendidik perilaku manusia yang di dalam ajaran Islam dikenal dengan mendidik akhlak mulia yang berdasarkan Al-Quran dan Hadits.


Penulis menyukai pengertian nilai ala Muhmidayeli yang menyatakan jika nilai itu merupakan gambaran sesuatu yang indah, mempesona, menakjubkan, yang membuat kita bahagia dan senang serta merupakan sesuatu yang menjadikan seseorang ingin memilikinya.


Hal ini menggambarkan bahwa belajar itu adalah seni atau estetika. Karena dalam belajar itu ada semacam keindahan yang mengalir syahdu dalam darah sehingga membuat sang pelajar tidak ingin mengakhirinya karena memiliki kenikmatan tersendiri.


Kenikmatan belajar itu tidak mesti memilih seperti apa wujud kurikulum itu. Pun demikian dengan kurikulum Indonesia yang padat (baca: ketat: rigid). Sepanjang sang pelajar menikmatinya, tidak ada masalah. Namun kenikmatan belajar tentu tidak dimiliki setiap orang. Itulah sebabnya Merdeka Belajar digaungkan dengan sangat masif di tanah air.


Etika yang tetap mengedepankan adab, karakter, kesopanan dan rasa ingin tahu yang tinggi, disiplin dan memiliki daya nalar yang tinggi. Estetika yang mengedepankan kenyamanan, ketenangan, dan tentu rasa nikmat dan bahagia dalam belajar.


Guru Pahlawan Era Dirupsi


Bagi saya, tujuan diperingatinya Hari Guru Nasional adalah untuk memberi dukungan kepada semua guru di Indonesia dan meyakini bahwa nasib bangsa Indonesia ke depan dipengaruhi oleh peran para guru. Kita bisa melihat di fakta sejarah bagaimana para guru pada zaman pra kemerdekaan menanamkan jiwa patriotisme pada setiap anak didiknya di madrasah atau sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda.


Jiwa patriotisme ini lah yang menjadi cikal bakal membaranya semangat para pemuda untuk terus berjuang menuju Indonesia merdeka. Tak hanya pada era kemerdekaan, hingga kini pun jasa-jasa mereka tak pernah tergantikan. Sepintar apapun seseorang, baik ia seorang pejabat pemerintahan maupun mereka yang bergerak di sektor privat, pastilah mereka pernah menjadi seorang murid.


Diajari baca, tulis, berhitung, dan banyak ilmu lainnya yang rasanya tak bisa didapatkan sendiri tanpa bantuan para guru. Setidaknya, mereka pernah duduk di bangku bersama puluhan siswa lain yang ikut mendengarkan penjelasan guru di kelas. Guru juga mengajarkan kita baik dan buruk serta bagaimana menjadi seseorang yang berakhlak mulia.


Di era disrupsi ini, sepertinya cobaan yang dihadapi para guru lebih berat. Mungkin mereka tidak harus berhadapan dengan tentara Hindia Belanda atau tentara Jepang seperti dulu. Namun, perilaku generasi sekarang yang terkadang nyeleneh membuat mereka harus mengeluarkan tenaga ekstra dan strategi-strategi baru untuk mengajar.


Dulu, berapa kali kita harus dihukum guru karena melakukan sebuah kesalahan? Disetrap di depan kelas karena tidak mengerjakan PR? Kini, sudah berapa banyak berita ‘siswa-menjebloskan-gurunya-ke-bui’ atau ‘siswa-menganiaya-guru’ yang kita lihat?


Meski demikian, profesi guru tetap tak akan tergantikan meski perkembangan teknologi yang bertambah pesat setiap harinya. Setiap orang bisa menimba ilmu dari teknologi yang kini serba digital. Namun, peran guru tetap dibutuhkan karena tugas mereka tak sebatas mentransfer ilmu pengetahuan, tapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan dan kebaikan, serta keteladanan yang tidak bisa dipelajari dari saluran informasi apapun.


Guru dan Kemuliaannya


Tasawuf adalah mazhab etika, ranah yang paling diutamakan adalah moralitas. Tujuan pendidikan dalam tasawuf dapat memahami diri untuk mengenal siapa dia sesungguhnya dan mencari ketenangan untuk menghamba kepada penciptanya (Subhi, 1992:204). 


Biasanya orang yang belajar ilmu ini sudah memiliki tujuan hidup yang capaiannya bukan lagi duniawi melainkan ukhrawi. Seakan-akan mereka akan menghadap kepada Tuhan, maka harus bersiap-siap memperbaiki diri dari perbuatan buruk dan membersihkan dari penyakit hati.


Tasawuf merupakan metodologi yang membimbing manusia ke arah harmoni dan keseimbangan total. Sehingga bertasawuf yang benar berarti berpendidikan bagi kesadaran emosi dan spiritual. Pendidikan dalam ajaran ini  pada intinya proses menuju perbaikan diri dan pribadi yang pada gilirannya akan mencapai puncak makrifatullah (Siradj, 2012:238–239). 


Tasawuf memberikan ajaran cinta terhadap Tuhan, dan apabila orang sudah cinta akan Tuhannya maka akan mencintai makhluknya. Ini merupakan ajaran yang hakiki dari jalan sufi (Fuadi, 2013). Abdullah Syarqowi dalam Syarah Hikam menegaskan bahwa ilmu tasawuf sebagai tata cara untuk membersihkan hati dan juga untuk membentuk akhlak atau budi pekerti. Setiap mukallaf wajib ain hukumnya belajar ilmu ini, dalam rangka untuk memperbaiki diri secara lahir dan batin  (Syarqowi n.d.,:b-w).


Tasawuf memberikan pendidikan kepada murid untuk memahami diri. Karena itu, seorang murid perlu bantuan atau bimbingan supaya tidak tersesat dalam memahami diri dan ini bisa diperoleh dari sosok seorang guru. Konsep guru yang ditawarkannya  yaitu guru yang sesungguhnya. 


Artinya seorang guru memiliki otoritas penuh terhadap muridnya untuk menunjukkan jalan menuju kecenderungan spiritualitasnya (Khan, 2005). Namun demikian guru sufi juga tak segan mendengarkan apa yang diceritakan murid.


Berbeda dengan kebanyakan guru yang hanya bisa memberikan ceramah kepada anak didik, dan tidak mau mendengarkan apa yang diceritakan muridnya karena faktor ego yang ada pada diri guru. Dalam kaitan ini Julian Weissglass tak menentangnya, ia menyatakan bahwa seorang guru pertama kali yang harus dilakukan adalah mendengarkan, kemudian mengajar (Weissglass 2012).


Guru bukan hanya memiliki tugas mengajar, akan tetapi juga mendidik, yang tidak dibatasi oleh tempat. Mengajar itu bisa dilaksanakan ketika  murid dan guru melakukan kontak secara langsung, face to face ataupun dengan media elektronik yang di dalamnya terdapat materi ajar dan terjadi proses pembelajaran. Mendidik lebih dari itu, karena mendidik tidak dibatasi oleh ruang, dan waktu. 


Seorang guru mendidik muridnya bisa dengan do’a tanpa adanya bahan ajar, yakni mendoakan muridnya ketika dari kejauhan untuk mendapatkan petunjuk oleh Allah, mendidik  bisa dibuktikan dengan suri tauladan yang baik seorang guru (Syalhub, 2006:1–2). 


Dalam posisi ini murid merupakan orang yang belum dewasa, yang memerlukan usaha, bantuan dan bimbingan orang lain untuk menjadi manusia yang mengemban tugas menjadi khalifah fil ardi (Ahmadi and Uhbuyati, 2007). Murid juga sebagai manusia yang mempunyai potensi sejak dilahirkan baik berupa potensi lahir dan potensi batin (Jalaluddin, 2011:67).


Maka hal ini sangat berbeda jika berada dalam naungan Islam. Islam memandang tugas seseorang guru adalah pekerjaan yang sangat mulia, Karena jasa guru, banyak manusia menjadi orang mulia dan terhormat. Itulah kenapa Islam menempatkan guru pada posisi sangat mulia. Guru memiliki banyak keutamaan seperti menurut sebuah hadis dikatakan
 

 إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، حَتَّى النَّمْلَةَ فِى جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ، لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ


“Sesungguhnya Allah, para malaikat dan semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai semut yang ada di liangnya dan juga ikan besar, semuanya bershalawat kepada muallim (orang yang berilmu dan mengajarkannya) yang mengajarkan kebaikan kepada manusia” (H.R. Tirmidzi).


Dalam Islam guru adalah sosok yang dikaruniai ilmu oleh Allah SWT yang dengan ilmunya itu ia menjadi perantara manusia yang lain untuk mendapatkan, memperoleh, serta menuju kebaikan di dunia maupun di akhirat. Selain itu guru tidak hanya bertugas mendidik muridnya agar cerdas secara akademik, tetapi juga guru mendidik muridnya agar cerdas secara spritual yaitu memiliki kepribadian Islam. Selamat Hari Guru Nasional 2023


Nyanyang D Rahmat, Guru PAI SMPN 2 Kadungora-Garut


Opini Terbaru