• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 6 Mei 2024

Opini

Punggawa Saptawikrama Lesbumi dan Simbol Tombak Pusaka

Punggawa Saptawikrama Lesbumi dan Simbol Tombak Pusaka
Punggawa Saptawikrama Lesbumi dan Simbol Tombak Pusaka (Foto: NU Online Jabar)
Punggawa Saptawikrama Lesbumi dan Simbol Tombak Pusaka (Foto: NU Online Jabar)

Jum’at 25 Agustus 2023, siang menjelang sore, dua orang aktivis kebudayaan berbincang santai di aula lantai 3 gedung PWNU Jawa Barat. Ditemani kopi hitam, rokok keretek, dan gorengan di atas meja, Kang Dadan Madani dan Teh Lely Mei rupanya tengah merumuskan sebuah rencana kegiatan, ketika saya menghampiri mereka.
 

Setelah bersalaman, lalu berbasa-basi seputar kabar, juga mengomentari gorengan yang hanya ada goreng tempe tanpa tahu dan bala-bala, saya yang hendak sowan silaturahmi dengan Kang Dadan, kemudian menanyakan perhelatan apa yang sedang mereka rumuskan ini. Tapi sebelum mendapat jawaban, saya sudah menduga bahwa kegiatan itu pasti merupakan agenda dari Lesbumi, mengingat Kang Dadan dan Teh Lely Mei adalah ketua dan pengurus Lesbumi NU Jawa Barat.
 

“Ini, pekan depan tanggal 31 Agustus, kami mau mengadakan temu silaturahmi Punggawa Saptawikrama Lesbumi se-Jawa Barat”, ujar Kang Dadan.
 

Saptawikrama téh naon, Kang?”, tanya saya yang tidak tahu, karena bukan pengurus atau anggota Lesbumi. Mendengar istilah ini, sekilas mirip nama raja Majapahit, pengganti sekaligus menantu Prabu Hayam Wuruk, yaitu Wikramawardhana. Ia adalah tokoh yang terlibat Perang Paregreg melawan Bhre Wirabhumi, anak Prabu Hayam Wuruk dari selir. Saptawikrama juga mengingatkan saya pada sebuah ajian yang bisa mengubah manusia menjadi raksasa, dalam kisah pewayangan. Dalang Asep Sunandar Sunarya pernah mempertontonkan lakon Astrajingga Tiwikrama, yang mana si Cepot berubah jadi raksasa dan mengobrak-abrik Sawargamaniloka, menghukum para Dewa yang berbuat tidak adil dalam berkuasa. Tapi itu kan Tiwikrama, bukan Saptawikrama.


Rupanya, Saptawikrama yang dimaksud adalah tujuh strategi kebudayaan Islam di Nusantara, sebuah program kerja yang lahir dari Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lesbumi, Januari 2016 di Gedung PBNU Jakarta. Kang Dadan menuturkan bahwa pada konteks Jawa Barat, para kader Lesbumi yang memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan serta merealisasikan gagasan tujuh strategi kebudayaan ini, diberi julukan “Punggawa Saptawikrama.”


“Cuma saya lagi bingung ini téh, apa yang bisa dijadikan simbol untuk acara Temu Punggawa Saptawikrama Se-Jawa Barat nanti. Benda pusaka apa, gitu? Ti kamari dipikiran, acan manggih waé”, ujar Kang Dadan.


“Kayaknya tongkat, tombak, atau tameng, cocok dijadikan symbol. Punggawa kan identik dengan pakarang-pakarang semacam itu,” sahut Teh Lely.


Belum usai obrolan seputar simbol, tiba-tiba datang Ajengan Syakur, yang juga pengurus Lesbumi NU Jawa Barat. Dengan rambut panjang sepundak, berpakaian pangsi ala pesilat, dipadukan blangkon di kepala, ia membawa sebuah bungkusan berbalut kertas koran di tangannya.


Nyandak naon éta, Ajengan?” tanya Kang Dadan.


“Biasa wé, Kang. Pusaka,” jawab Ajengan Syakur, sembari meletakkan dan membuka benda yang dibawanya, di atas meja. Ternyata, yang dibawa oleh Ajengan Syakur ini adalah empat buah tombak kuno, yang konon merupakan pusaka peninggalan dari beberapa kerajaan seperti Majapahit, Sumedanglarang, Cirebon, dan Banten.


Apa yang dibawa oleh Ajengan Syakur ini seolah menjadi jawaban real bagi pertanyaan Kang Dadan akan simbol. Ajengan Syakur ini memang seorang kolektor benda-benda klasik. Meski demikian, perihal empat tombak yang dibawanya ternyata menjadi jawaban bagi pencarian Kang Dadan bukanlah sesuatu yang direncanakan.


Pada saat kami berbincang mengenai keempat tombak itu, tiba-tiba datang KH. Ahmad Dasuki, salah seorang Wakil Ketua Tanfidzyah PWNU Jawa Barat. Beliau memasuki aula dan menghampiri kami. Ketika ditanya, beliau mengatakan hendak berangkat ke luar kota. Tapi untuk apa beliau naik dulu ke aula, kami tidak tahu. Karena di aula pun beliau tidak ada yang dikerjakan, selain turut berbincang dengan kami, seputar tombak yang ada di meja. Itu pun hanya beberapa menit saja.


Sembari mengamati empat tombak itu satu persatu, KH. Dasuki berujar, “Saya juga punya tombak kuno, satu. Kalau mau, saya ambilkan.” KH. Dasuki kemudian beranjak pergi, dan tak lama berselang, beliau datang dengan membawa sebuah tombak berwarna hitam.


“Ini untuk Lesbumi”, katanya, sambal meletakkan tombak hitam itu berjejer dengan empat tongkat yang dibawa Ajengan Syakur. Setelah itu, ia pamit meninggalkan kami.


Dari apa yang terjadi, saya cukup merasa heran. Rasanya seperti serba kebetulan tapi anehnya kebetulan-kebetulan itu tersingkronisasi dan terkoneksi satu sama lain. Bagi Kang Dadan, sekali lagi, ini adalah jawaban atas pencarian dia seputar simbol. Punggawa Saptawikrama bisa disimbolkan dengan tombak pusaka. Bahkan menurut Teh Lely dan Ajengan Syakur, berdasarkan pengamatan spiritual mereka, tombak-tombak itu memiliki khodam ghoib. Kehadiran keempatnya bukanlah sebuah kebetulan, melainkan (seolah) diantarkan oleh para karuhun, yang bisa ditafsirkan sebagai bentuk restu dan penyambutan atas kegiatan Temu Punggawa Saptawikrama.


Tiba kemudian pada saat acara Temu Punggawa Saptawikrama dilaksanakan, yang dihadiri oleh para perwakilan pengurus Lesbumi dari 22 cabang se-Jawa Barat, perihal kelima tombak tersebut saya tanyakan kepada KH. Jadul Maula, Ketua Umum Lesbumi PBNU. Dalam sebuah obrolan yang tidak formal, KH. Jadul menerangkan bahwa kelima tombak itu juga adalah simbolis dari kehidupan manusia yang dikelilingi empat arah mata angin dan satu titik tengah, yang disebut “papat kalima pancer.”


“Kalau saya lihat, itu (tombak) yang datang terakhir (dibawa KH. Dasuki) adalah pancer atau pusatnya. Karena tadi, kata Kang Syakur, ketika tombak baru empat, pas dibuka, suasana energinya terasa kacau. Begitu yang kelima terakhir datang, terasa tenang. Dan itu yang menjadi tema kemarin harlah (Lesbumi), yaitu mencari pancer kebudayaan,” papar KH. Jadul.


“Kan, kita sebagai manusia ini didampingi empat nafsu. Kalau kita belum menemukan jati diri kita, yaitu kesadaran ruhaniah bahwa kita dari Allah dan akan kembali kepada Allah, empat nafsu tersebut akan membawa manusia pada kekacauan, dan hidup tanpa makna. Kesadaran ruhaniah itulah pancer,” lanjutnya.


Pada forum formal, Bersama KH. Sastro Adi, materi yang disampaikan oleh KH. Jadul Maula   kepada para peserta adalah “Saptawikrama Dalam Harokah dan Amaliah Lesbumi.” Materi lainnya, seperti “Islam dan Kebudayaan Masyarakat Jawa Barat”, itu disampaikan oleh tiga budayawan kawakan Jawa Barat,  yaitu KH. Asep Salahudin, Dr. Hawe Setiawan, dan Kyai Acep Zamzam Noor. Sebelumnya, juga ada materi seputar “Arah dan Strategi Kebijakan Kebudayaan Jawa Barat” yang disampaikan oleh perwakilan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, Komisi V DPRD Jawa Barat, serta Dr. Hj. Ifa Fauziah Rohma (Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif PWNU Jawa Barat).


Acara yang dimulai pukul 13.00 dan dimeriahkan oleh ragam pertunjukkan seni ini, berakhir pada pukul 24.00 WIB. Rencana berikutnya, Kang Dadan Madani menginformasikan, akan digelar Jambore Lesbumi se-Jawa Barat, pada sekitar akhir bulan Desember 2023, menyongsong Harlah NU di tahun 2024. Entah pusaka apa yang akan menjadi simbolnya, dan pengalaman spiritual apa yang akan menyertainya. Wallahu ‘alam. 


Agung Purnama, staf UIN SGD Bandung
 


Opini Terbaru