Ditabuhnya lonceng pembukaan kampanye pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2024 pada tanggal 28 Nopember lalu menandai dibukanya kontestasi ide dan gagasan dari masing-masing paslon tentang bagaimana wajah Indonesia yang masing-masing ingin hadirkan lima tahun ke depan. Idealnya memang seperti inilah yang diharapkan ditonjolkan di panggung pesta demokarasi lima tahunan ini. Dengan secara jernih mengamati bagaimana para aktor utama pilpres ini tampil dan atau menampilkan diri dengan ide dan gagasannya, masyarakat Indonesia memiliki ruang yang sangat luas dan bebas untuk memilih paslon mana yang bisa dititipkan harapan dan mimpi mereka akan wajah kehidupan Indonesia. Artinya mereka tidak lagi memilih paslon di tengah “kegelapan” pengetahuan, pengenalan dan pemahaman mereka atas siapa yang pantas mereka titipkan bahtera kehidupan bangsa ini. Terkait dengan kampanye adu gagasan telah pula ditegaskan oleh Presiden RI, Ir. Joko Widodo di beberapa kesempatan.
Keniscayaan akan Keanekaragaman
Dalam konteks inilah, kesiapan semua pihak untuk menghadirkan sekaligus menyambut dengan riang gembira keanekaragaman pandangan dan gagasan perlu didorong terus menerus. Biarkan keanekaragaman gagasan menjadi latar belakang sekaligus bagian inti isi cerita berbagai drama panggung demokrasi politik ini. Secara teoritis, demokrasi memang meniscayakan keanekaragaman. Ruang demokrasi adalah ruang bertemunya berbagai ragam pandangan dan orientasi politik, budaya dan keyakinan. Ketika suatu kekuatan dengan berbagai cara, bahkan menghalalkan yang haram sekalipun, untuk memaksakan keseragaman ide dan gagasan, wajah demokrasi secara otomatis suram dan gelap.
Baca Juga
Palestina, Piala U-17 dan Pilpres 2024
Di sini, demokrasi bukanlah “melulu” tentang kompetisi untuk menentukan siapakah pemenangnya. Jika kemenangan adalah tujuan utama dari pesta demokrasi ini tentu saja yang akan lahir adalah anarkisme yang justru bertentangan dengan nilai dan prinsip demokrasi. Artinya dalam perhelatan demokrasi yang ideal, mereka yang kalah tidak merasa terluka dan atau dilukai. Sementara yang menang tidak lantas menasbihkan diri sebagai sang pemenang yang mengambil segalanya demi hawa nafsu kekuasaan dan lupa akan berbagai “janji” selama kampanye yang harus dipenuhi baik kepada yang mendukung atau yang tidak selama mereka adalah warga negara Indonesia.
Sejarah panjang perpolitikan Indonesia sejak tahun 1955 baik di level nasional maupun regional hingga lokal mengajarkan akan kemustahilan pemaksaan satu ide, gagasan dan keyakinan atas yang lainnya. Sebaliknya sejarah politik bangsa ini mengajarkan bahwa ketika suatu regim memaksakan kehendaknya, ia akan berhadapan dengan rakyatnya. Peristiwa G 30/S PKI dan jatuhnya Orde Baru bisa dijadikan contoh akan hal tersebut. Dengan kalimat yang lain, rakyat secara mayoritas nampak seperti diam tapi bukan berarti tidak bergerak sama sekali. Perlawanan akan muncul pada saat situasi memang sudah melebihi ambang batas toleransi. Oleh karena itu, pengakuan dan pemberian ruang yang semestinya akan keanekaragaman pandangan dan aspirasi akan memberikan lahan yang subur bagi perkembangan demokrasi di tanah air sekaligus juga menjadi media yang tepat untuk memajukan kehidupan bangsa dan menjamin terlaksananya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demokrasi Pancasila
Bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan telah bersepakat untuk membangun kehidupan politik ini dengan menerapkan sistem demokrasi, meskipun tentu saja bukan berarti sistem ini paling sempurna karena tidak ada sistem politik di dunia ini yang sempurna tanpa cacat dan kritik. Guna memastikan bahwa sistem ini adalah paling tepat dihadirkanlah apa yang disebut dengan istilah Demokrasi Pancasila dimana sistem demokrasi ini didasarkan pada lima prinsip yang terkandung dalam ideologi Pancasila. Sebagai ideologi negara,
Pancasila sendiri merupakan hasil kesepakatan perwakilan semua elemen bangsa akan wajah kehidupan seutuhnya negeri ini termasuk pada ranah perpolitikan. Pancasila sendiri dalam konteks nilai dan prinsip merupakan “melting pot” berbagai keanekaragaman bangsa ini dari berbagai aspeknya mulai dari keyakinan, budaya, sukun dan ras yang tersebar dari Sabang sampai Merauke sekaligus sebagai aspirasi idealitik akan bagaimana seharusnya kehidupan bangsa ini dibangun.
Masa Depan Bangsa Dipertaruhkan
Melihat realitas sejarah dan sistem demokrasi berbasiskan Pancasila ini seyogyanya kampanye pilpres ini memang harus hadir dengan kontestasi ide dan gagasan yang cemerlang akan kerangka kehidupan lima tahun ke depan dan bukan diisi oleh hal-hal yang tidak substantif yang justru mendistrak perhatian masyarakat terhadap ide dan gagasan inti yang ditawarkan. Lebih parah lagi jika panggung politik lima tahunan nan mahal ini juga dicemari oleh berbagai informasi yang menyesatkan alias hoax. Betul bahwa terkadang diperlukan juga “hiburan-hiburan yang segar” dalam riuhnya kampanye politik ini, namun jika itu justru yang ditonjolkan tidak saja masyarakat akan kehilangan kesempatan yang berharga untuk menguji “janji-janji” politik para kontestan tapi juga menghadirkan edukasi politik yang kurang cerdas.
Di tangan para kontestan inilah wajah masa depan Indonesia akan dipertaruhkan dan sebarapa berharganya masa depan bangsa akan juga terlihat sebarapa serius para kontestan dengan bangga dan percaya diri mempersembahkannya kepada rakyat untuk diuji dan jika perlu dikuliti secara mendalam.
Didin Nurul Rosidin, Direktur Pesantren Terpadu Al-Mutawally Kuningan, Wakil Rais Syuriah PCNU Kuningan, Guru Besar IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Terpopuler
1
Lomba Kampung NU, Upaya PCNU Kabupaten Cianjur Syiarkan Ajaran Aswaja An-Nahdliyyah
2
Konferensi MWCNU Cileungsi Tetapkan Ustadz Syahri Ramdhani dan KH Kholil Khaerudin Sebagai Ketua dan Rais 2024-2029
3
MWCNU dan KBNU Cileunyi Adakan Gebyar Maulid Nabi Saw
4
Ustadz Jaka Godeg Hibur Jamaah Maulid Nabi Muhammad Saw 1446 H di Bojonggede
5
TPT Perumahan Mandalika Residence Longsor, Warga Diungsikan
6
Lewat Pentas Tarik Suara, Muslimat NU Gunung Putri Rawat Keutuhan Literasi Aswaja untuk NKRI
Terkini
Lihat Semua