• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 12 Mei 2024

Opini

Piagam Madinah yang Mangandung Misi Universalisme Islam

Piagam Madinah yang Mangandung Misi Universalisme Islam
Teks Piagam Madinah. (Foto/Maksugi)
Teks Piagam Madinah. (Foto/Maksugi)

Oleh Muhammad Maksugi
Piagam Madinah sebagai aturan hukum yang mengikat berbagai suku di Madinah, sering dijadikan acuan sistem politik dalam agama Islam dan telah menjadi sumber kontroversi terkait konsepsi negara Islam.


Ada dua pandangan utama di kalangan sarjana Muslim mengenai hal ini. Pertama, beberapa sarjana menganggap Madinah sebagai model pemerintahan yang ideal, dan tidak ada model pemerintahan lain yang dapat menggantikan model pemerintahan Islam di Madinah. 


Menurut pandangan ini, menerapkan kembali pemerintahan yang didasarkan pada model Madinah adalah suatu keharusan, dan menolak model tersebut berarti juga telah menolak ajaran Islam.


Pandangan kedua menganggap bahwa model pemerintahan di Madinah seharusnya dijadikan contoh pada tataran nilai dan substansi, bukan pada sistem. Tinggal melakukan penyesuaian berdasarkan kebutuhan masyarakat. Dalam pandangan ini, fleksibilitas dalam menjalankan pemerintahan secara adaptif adalah mungkin, asalkan prinsip-prinsip yang diambil dari Madinah tetap dijunjung tinggi.


Namun memahami kota Madinah sebatas untuk membuktikan konsepsi negara Islam semata tentang sistem politik apa yang seharusnya di gunakan tanpa melihat transformasi sosial yang berhasil Muhammad Saw capai, hanya akan mengaburkan realitas sosial yang terjadi dan kehilangan arah dalam memahami piagam Madinah secara mendalam.


Transformasi Sistem Kabilah


Ketika pertama kali Nabi menginjakkan kaki di Madinah, hal pertama yang dilakukan Nabi adalah mereformasi sistem kabilah, terutama mereformasi konsep persaudaraan yang sempit ala kabilah dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshor.


Nabi menyadari jika misi Islam sebagai rahmat bagi semesta tidak akan pernah terealisasi jika umat Muslimnya sendiri masih terikat dalam persaudaraan kabilah yang sangat eksklusif. Saking pentingnya narasi persaudaraan ini, Nabi bahkan mencantumkannya dalam paragraf pertama Piagam Madinah:


“Inilah dokumen dari Muhammad SAW yang mengatur hubungan kaum mukminin dan kaum muslimin dari Quraisy dan Yastrib, orang-orang yang bergabung dengan mereka dan berjuang bersama mereka. Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu dan tidak sama dengan golongan manusia lainnya.”


Pada paragraf pertama Piagam Madinah tersebut, Nabi bahkan mendefinisikan konsep persaudaraan secara lebih luas lagi, persaudaraan yang tidak dibatasi lagi oleh suku, bahkan agama sekalipun. Reza Aslan menyebutnya sebagai ummah (Bangsa), sebuah kesatuan politik yang menjaga keamanan bersama-sama. Sesuatu yang tidak pernah terjadi di daratan Arab sebelumnya.


Konsekuensi dari persaudaraan ummah adalah lahirnya sikap toleransi beragama bagi setiap golongan-golongan yang ada di Madinah. Arnold Toynbee bahkan meyakini bahwa Muhammad Saw ikut memberikan perlindungan pada tempat ibadah non-Muslim.


Selain itu, piagam Madinah juga mereformasi sistem nilai moral dalam sistem kabilah. Sebelumnya anggota kabilah akan di bela mati-matian meski bersalah jika berkonflik dengan kabilah lain. Sejak Piagam Madinah terbit, nilai moral jadi bersifat universal: siapapun yang di anggap bersalah tidak peduli berada dalam anggota kabilah yang mana, maka harus menghukumnya bersama-sama termasuk kabilahnya sendiri atau bahkan anggota keluarganya.


Transformasi juga terjadi dalam sistem hukum di mana yang sebelumnya hukum bersifat komunal sebagaimana karakter kekabilahan, berubah menjadi individual. Dalam peraturan baru ini setiap individu kini bertanggungjawab atas dirinya sendiri dan bukan atas tanggungjawab kabilahnya. 


Dalam hukum balasan setimpal, Nabi tampak masih menggunakan hukum ini dalam piagam Madinah: jika ada seseorang yang terbunuh maka harus di bunuh kembali atau di ganti dengan membayar denda. Namun bedanya jika sebelumnya penetapan hukuman pembalasan setimpal atau pembayaran denda dijatuhi atau ditentukan oleh pemimpin kabilah, kini yang menentukan adalah keluarga dekat korban apakah akan membalasnya, memberi sanksi denda atau bahkan kini boleh memaafkannya. Hal ini termuat dalam Piagam Madinah:


“Barangsiapa membunuh orang Mukmin tanpa kesalahan dan bukti, maka ia akan dibunuh juga karenanya terkecuali jika keluarga korban memberi maaf.”


Lantas ke mana kah arah rekonstruksi Nabi yang tampak masif dalam Piagam Madinah ini? Hemat penulis, jawabannya adalah universalisme Islam. 


Universalisme Islam


Piagam Madinah, sebagai representasi dari ajaran Islam, tidak membedakan individu berdasarkan bahasa, status sosial, atau warna kulit. Setiap individu memiliki kesempatan untuk dihargai di dalam masyarakatnya. Ajaran inti dalam Islam adalah keesaan Allah atau tauhid, yang pada gilirannya menghasilkan kesatuan umat manusia. Prinsip kesatuan umat manusia ini bersifat universal dan berlaku untuk setiap peradaban.


Menurut Abdallah H. Al-Kahtany, prinsip atau doktrin universal adalah nilai yang menjamin dan melindungi kebebasan individu dalam memilih keyakinan mereka. Landasan hukumnya dibentuk dengan mempertimbangkan karakteristik alami manusia. Oleh karena itu, prinsip universal harus mencerminkan kesetaraan atau egalitarianisme, yang menolak diskriminasi dan menerima perbedaan dalam keyakinan, etnis, bahasa, dan hal lainnya sebagai bagian tak terpisahkan dari kenyataan dunia ini.


Hemat penulis, alih-alih memperdebatkan sistem negara berdasarkan Piagam Madinah, mereaktualisasi rekonstruksi sosial dalam masyarakat Muslim jauh lebih penting sebagaimana yang pernah di lakukan Nabi dalam Piagam Madinahnya.


Cita-cita universalisme Islam yang telah disiapkan Nabi untuk membangun peradaban Islam seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam konsepsi negara. Apapun sistemnya selama bisa menjamin keamanan hidup bersama, baik dalam beragama, bersosial, berpolitik, dan sebagainya layak untuk diperjuangkan.


Penulis merupakan Sarjana Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Alumni Pesantren Universal


Referensi: 

Al-Kahtany, Abdullah. 2013. The Universality of Islam. Vol. 5. Riyadh: King Fahd National Library.
Aslan, Reza. 2005. No God but God: The Origin, Evolution, and Future of Islam. New York: Random House.
Aziz, Abdul. 2016. Chiefdom Madinah: Kerucut Kekuasaan Pada Zaman Awal Islam. edited by Ahmad Baedowi. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet
Hisyam, Ibnu. 2012. Sirah Nabawiyah: Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah SAW. edited by H. S. Rahman and Tim Akbar. Jakarta Timur: AKBAR MEDIA EKA SARANA
Misrawi, Zuhairi. 2009. “Madinah : Kota Suci, Piagam Madinah, Dan Teladan Muhammad SAW.” 
Embong, Zaleha. 2018. “Conflict Management in the Constitution of Medina: An Analysis.” International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences 8(12):396–414. doi: 10.6007/ijarbss/v8-i12/5041.


Opini Terbaru