• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Opini

Pernikahan Dini Memikat, Tapi Menjerat?

Pernikahan Dini Memikat, Tapi Menjerat?
Ilustrasi (NU Online)
Ilustrasi (NU Online)

Oleh: Sri Melynda

Menikah, memiliki anak, hidup bahagia, dan mapan. Itulah fragmen dari sebagian rangkaian hidup sebagai mimpi indah manusia. Mimpi yang sejak kecil ditancapkan melalui cerita dan tontonan. Namun apakah hal tersebut dapat dicapai apabila pernikahan dini terjadi?

Suatu ketika, pada sebuah grup Facebook, satu tautan lewat muncul. Judulnya kurang lebih seperti ini: Pernikahan Dini Melonjak Selama Pandemi. Judul itu disertai dengan narasi yang menggiring saya harus mengklik tautan tersebut. 

“Selama pandemi tercatat 34.000 permohonan dispensasi pernikahan bagi anak-anak di bawah umur 19 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pengadilan agama setidaknya telah mengabulkan 97% permohonan dispensasi menikah di bawah usia 19 tahun” (sumber: Katadata). 

Menurut data yang disampaikan terhitung sejak Januari hingga Juni 2020, pernikahan dini mengalami kenaikan sangat pesat. Faktor ekonomi ditengarai menjadi pemicu naiknya lonjakan angka tersebut. Tentu data ini masih bisa berubah mengingat di tahun 2021 ini pun pandemi masih berlangsung dan entah kapan usai.

Dari situ, saya membayangkan mereka menganggap bahwa menikah menjadi solusi yang dapat menghapuskan sebuah persoalan hidup. Mereka menilai dengan pernikahan setidaknya berkurang satu beban. 

Dan di masa pandemi Covid-19, mungkin ini adalah solusi terbaik untuk menghapuskan kesulitan ekonomi dengan sekali usap. Tapi betulkah itu? Jangan-jangan sebaliknya. 

Merujuk pada Undang-undang No 16/2019 atas perubahan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa usia pernikahan minimal 19 tahun. Usia 19 dianggap merupakan usia ideal bagi perempuan untuk melangsungkan pernikahan. Di bawah usia tersebut pernikahan akan dianggap ilegal dan termasuk ke dalam pernikahan dini.

Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilangsungkan di bawah usia yang telah undang-undang kehendaki. Pada praktiknya meski dilarang, pernikahan ini kerap dilaksanakan dengan berbagai alasan. Hal itu terbukti dengan data 34.000 pernikahan dini terjadi. 

Menurut data yang terlampir di halaman Unpad.ac.id, Jawa Barat menjadi salah satu provinsi penyumbang angka perkawinan bawah umur tertinggi di Indonesia berdasarkan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Kabupaten Tasikmalaya menjadi penyumbang angka tertinggi dengan jumlah kasus 396 pernikahan. Kemudian disusul oleh Kabupaten Sumedang sebanyak 130 kasus dan Kota Tasikmalaya 118 Kasus.

Di sini timbul sebuah pertanyaan, apakah pernikahan ini dikehendaki antar-pasangan atau dilakukan hanya kesepakatan orang tua saja. Melalui pernikahan dini apakah ‘menikah, memiliki anak, hidup bahagia dan mapan,’ yang merupakan mimpi setiap orang dewasa akan tercapai?

Melalui versi orangtua, pernikahan dini selama pandemi terjadi dengan dalih faktor ekonomi. Melalui cara menikahkan anaknya, orang tua percaya bahwa itu hal terbaik untuk mengantarkan anaknya terlepas dari kemiskinan. Dengan anaknya menikah pula hilanglah satu beban dalam keluarga. Gencarnya tren ajakan nikah dini untuk menghindari zina juga menyumbang angka pernikahan dini. 

Saya pernah membaca sebuah tulisan yang menyeru walaupun belum usia dewasa, tetapi jika sudah memiliki keinginan untuk menikah maka hal itu lebih baik dilaksanakan. Dorongan agama seakan menjadi jurus ampuh untuk melaksanakan pernikahan dini. 

Alih-alih membangun relasi keluarga yang sehat, pernikahan dini bisa menjadi toxic relationship. Ketidaksiapan mental dan organ reproduksi yang belum sempurna dapat mempengaruhi perjalanan rumah tangga ke depannya. Harapan untuk menghapus jerat kemiskinan bisa saja tidak tercapai, alih-alih terhapuskan pernikahan dini akan memasukkan anak-anak ke dalam siklus kemiskinan yang baru. 

Pernikahan dini setidaknya anak-anak telah kehilangan berbagai hak mereka, di antaranya hak mendapat pendidikan, hak mendapat kesehatan, hak mendapat kebebasan. Sehingga pernikahan dini sangat rawan sekali dengan perceraian karena sedikit pengetahuan edukasi yang diterima.  Dan juga kurang matangnya dalam persiapan perencanaan masa depan. Organ reproduksi yang belum matang dengan sempurna, terutama perempuan juga berisiko terhadap kesehatan ibu dan anak.

Penulis adalah jurnalis muda NU di Kabupaten Kuningan


Opini Terbaru