Opini KOLOM NADIRSYAH HOSEN

Mengapa Memaksa untuk THR?

Kamis, 27 Maret 2025 | 07:08 WIB

Mengapa Memaksa untuk THR?

Uang. (Ilustrasi: NU Banyumas).

Ramadan datang membawa cahaya. Bulan yang mengajak hati menepi, menunduk, dan menahan diri. Tapi mengapa langkah kita justru berlari ke pasar, bukan ke sajadah? Mengapa sibuk menghitung diskon, bukan dosa?


Mengapa pula meja makan kita lebih banyak isinya dibanding di luar bulan puasa? Dimana letak menahan diri dan merasakan kelaparan dan penderitaan orang miskin?


Budaya konsumtif berlebihan di bulan Ramadan ini akhirnya membuat kita menuntut THR (Tunjangan Hari Raya). Fenomena maraknya permintaan THR oleh ormas, oknum pemda, oknum militer, maupun aparat tingkat RT/RW kepada perusahaan, pedagang, atau warga pendatang yang ngontrak, adalah gejala sosial yang kompleks.


THR sejatinya lahir dari niat baik—tunjangan agar kita bisa menyambut hari kemenangan dengan layak. Tapi lambat laun, niat itu bergeser. THR bukan lagi bentuk kepedulian, melainkan kewajiban tak tertulis. Bahkan jadi ajang tekanan dan paksaan.


Apakah fenomena THR ini justru menunjukkan kegagalan kita menyelami makna Ramadan? Imam Al-Ghazali pernah menulis:


“Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tapi juga meninggalkan kebodohan, kebohongan, dan kerakusan.”


Namun kini, kerakusan hadir dalam bentuk yang lain: makanan yang lebih variatif, baju baru, hantaran mahal, dan gengsi sosial yang mencekik. Mengapa Ramadan—bulan yang sejatinya menuntun kita pada keprihatinan dan kesederhanaan—malah jadi momen puncak konsumsi dan tuntutan materi?


Kita lupa, Ramadan adalah bulan mujahadah—melawan diri sendiri. Bukan hanya melawan godaan belanja, tapi juga melawan dorongan untuk tampil berlebih di luar batas kemampuan.


Berbagilah THR karena cinta, bukan karena terpaksa. Rayakan lebaran dengan nuansa spiritual, bukan dengan material yang menambah beban sosial.


Barangkali, sudah saatnya kita beri makna baru bagi THR: Tahan Hawa Rakus.
Atau: Taburkan Hikmah Ramadan.


Saatnya kita membangun budaya memberi yang tulus, tanpa pamrih, tanpa paksaan, dalam spirit berbagi rejeki di bulan suci.
Agar Ramadan tak jadi ladang pamrih,
melainkan ladang jernih
tempat hati bertumbuh,
dan jiwa berserah.


KH Nadirsyah Hosen, Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia