• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 23 April 2024

Opini

Kritik untuk Para Mujtahid Palsu

Kritik untuk Para Mujtahid Palsu
Ilustrasi: NUO
Ilustrasi: NUO

Pada saat ilmu agama sulit diperoleh dari ulama yang otoritatif karena kewafatan atau karena kelangkaan mereka, maka peranan mereka diambil alih oleh orang-orang bodoh. Sejatinya mereka sama sekali bukanlah ulama, meski secara lahiriah menampilkan diri bagai seorang dari ulama. Apabila persoalan agama ditanyakan, mereka tergesa-gesa menjawab dengan dorongan hawa nafsunya, sehingga ia tersesat dan menyesatkan. Karena merekalah kekacauan di bidang agama dan persengketaan umat semakin menyata dan sulit ditemukan solusinya.

 

Jauh-jauh hari Rasulullah saw. telah mengingatkan, bahwa ilmu agama akan lenyap karena kewafatan ulama, sehingga orang-orang bodoh yang sesat dan menyesatkan itu mengangkat dirinya menjadi pemimpin dan dijadikan panutan. Diriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan mencabutnya sekali cabut dari para hamba, tetapi ilmu itu diambil dengan cara "mengambil"--mewafatkan--ulama itu. Apabila tidak lagi ada orang yang berilmu ('alim), maka manusia menjadikan orang-orang bodoh menjadi pemimpin. Sehingga bila mereka ditanya, mereka menjawab (berfatwa) tanpa ilmu, kemudian mereka itu tersesat dan menyesatkan." (Muttafaq 'alaih).

 

Dalam situasi seperti yang digambarkan di atas, seringkali celaan dilontarkan oleh sebagian orang terhadap madzhab fikih yang dianut di seluruh penjuru dunia, mereka juga amat mencela taklid kepada para imam madzhab. Bahkan di antara mereka ada yang merasa satu level, setara, dengan para mujtahid. Mereka mencari dalil sendiri, merasa mampu berijtihad atau melakukan istinbath hukum sendiri, padahal keseluruhan persyaratan mujtahid tidak satu pun mereka penuhi. Mereka itu sangat alergi mendengar kata "taklid", karena terhipnotis dan terobsesi oleh slogan kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah al-shahihah. Cukup nyata dan tidak dapat dipungkiri, bahwa fitnah, gangguan dan kekacauan dalam kehidupan beragama kita banyak disumbang oleh orang-orang yang tidak mampu mengukur kadar dirinya sendiri.

 

Sebenarnya sudah ada konsensus ulama (al-Ijma'), bahwa taklid di bidang fikih itu disyariatkan bagi golongan awam, yakni orang yang tidak mampu berijtihad. Hal ini tidak diperselisihkan kecuali oleh sekte Mu'tazilah dan Ibnu Hazm dari madzhab al-Dzahiriyyah. Aneka ragam dalil berikut argumentasinya disuguhkan untuk memperkenankan taklid tersebut, sebagaimana dengan amat gamblang diuraikan dalam hampir semua kitab Ushul al-Fiqh, dan bahkan banyak pakar ilmu ini yang telah membahasnya secara lebih spesifik.

 

Berkaitan dengan status bermadzhab atau bertaklid kepada salah satu dari empat imam madzhab, dalam karya ilmiahnya yang berjudul 'Iqd al-Jid fi Ahkam al-Ijtihad wa al-Taqlid, halaman 31, seorang pakar hadits bernama al-Syaikh Waliy Allah al-Dahlawi menuliskan,

 

اعلم أن في الأخذ بهذه المذاهب الأربعة مصلحة عظيمة وفي الإعراض عنها كلها مفسدة كبيرة 

 

"Ketahuilah! Bahwa dalam menganut (salah satu dari) madzhab yang empat ada kemaslahatan yang agung, sedangkan dalam berpaling darinya, seluruhnya, ada mafsadah, kerusakan, yang besar."

 

Hal senada juga diungkapkan oleh al-Syaikh Waliy Allah al-Dahlawi dalam karya tulis lainnya, Hujjat Allah al-Balighah, jilid I , halaman 123 sebagai berikut,

 

قد أجمعت الأمة أو من يعتمد به منها على جواز تقليدها إلى يومنا هذا وفي ذلك من المصالح لا يخفى لا سيما في هذه الأيام التي قصرت فيها الهمم جدا وأشربت النفوس الهوى وأعجب كل ذي رأي برأيه 

 

"Sungguh umat (ulama) telah sepakat atau orang yang terpercaya dari umat ini atas kebolehan bertaklid kepada salah satu dari empat madzhab fikih hingga hari ini. Dalam hal demikian itu terdapat banyak kemaslahatan yang tidak samar, lebih-lebih pada hari ini semangat teramat kurang, jiwa-jiwa manusia telah memperturutkan--dikuasai oleh--hawa nafsu, dan setiap pemilik pendapat terkagum-kagum dengan pendapatnya sendiri."

 

Jauh sebelum itu, Hujjat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H.), dalam kitab al-Mustasfa juga menuliskan hal serupa itu seperti berikut ini,

 

العامي يجب عليه الإستفتاء واتباع العلماء وقال قوم من القدرية يلزمهم النظر إلى الدليل واتباع الإمام المعصوم وهذا باطل بمسلكين أحدهما إجماع الصحابة فإنهم كانوا يفتون العوام ولا يأمرونهم بنيل درجة الإجتهاد وذلك معلوم على الضرورة والتواتر من علمائهم وعوامهم المسلك الثاني إن الإجماع منعقد أن العامي مكلف بالأحكام وتكليفه طلب رتبة الإجتهاد محال

 

"Orang awam wajib meminta fatwa dan (wajib) mengikuti ulama. Sejumlah orang dari sekte al-Qadariyyah berpendapat, "orang awam diharuskan meneliti dalil dan mengikuti al-imam al-ma'shum". Pendapat ini batil dilihat dari dua sisi. Pertama, Ijma' al-shahabat, mereka pernah berfatwa untuk kalangan awam dan tidak memerintahkan kaum awam untuk mencapai derajat ijtihad. Yang demikian itu dengan pasti dan mutawatir telah dimaklumi baik oleh ulama dari kalangan sahabat maupun orang-orang awam dari mereka itu. Kedua, telah ada konsensus (al-Ijma') bahwa orang awam itu dibebani dengan berbagai hukum, sedang membebani orang awam untuk meraih martabat mampu berijtihad adalah mustahil."

 

Mayoritas ulama ahli ilmu Ushul al-Fiqh menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan "orang awam diharuskan bertaklid" adalah siapa saja yang bukan mujtahid, meskipun tergolong sebagai orang 'alim. Saat ini sungguh amat banyak orang awam yang merasa 'alim, dan juga tidak sedikit orang 'alim merasa sudah menjadi setara mujtahid, padahal hanya seorang pemula dalam Ilmu Ushul al-Fiqh. Agar tidak rusak dan merusak umat hendaklah setiap kita menyadari akan batas kemampuannya masing-masing.

 

KH Ahmad Ishomuddin, Jajaran PBNU 2026-2021


Opini Terbaru