• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

"Digital Heritage" dan Warisan Budaya Sunda

"Digital Heritage" dan Warisan Budaya Sunda
Suatu gambaran digitalisasi warisan budaya yang dapat dinikmati oleh publik (Sumber: culturepartnership.eu)
Suatu gambaran digitalisasi warisan budaya yang dapat dinikmati oleh publik (Sumber: culturepartnership.eu)

Oleh Dadan Sutisna
Barangkali kita sering berjumpa dengan orang-orang yang merisaukan kepunahan suatu budaya, tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Kerisauan yang terbalut keluh-kesah atas perubahan zaman yang menggerus kebiasaan masa lalu, atau semacam ujaran jéngkél terhadap tingkah anak-anak yang dipandang kian menjauh dari budaya leluhurnya. Meskipun hanya mengulang-ulang ucapan génerasi sebelumnya, kekhawatiran seperti itu dapat dipahami sebagai bentuk perhatian. Ketika seseorang belum mampu mengejawantahkan isi pikiran, ia masih bisa melontarkannya léwat nasihat atau petuah.

Seratus tahun lalu, pada awal abad ke-20, para karuhun kita pernah berang melihat remaja berbondong-bondong ke bioskop. Orang-orang tua waktu itu sepakat bahwa bioskop hanya tontonan yang dikirim dari antah-berantah untuk mengikis nilai-nilai luhur budaya. Selain mengomel, kenyataannya para orang tua itu tidak mampu mengusir bioskop—bahkan kita masih melihatnya hingga hari ini. Dan karena bosan menasihati, akhirnya para orang tua pun ikut menonton film-film di bioskop. Itu mungkin sedikit mirip dengan sikap kita hari ini. Misalnya ketika beberapa waktu lalu para orang tua ramai-ramai melarang anaknya bermain Tiktok, sekarang mereka ikut bermain di aplikasi tersebut.

Banyak pelajaran dari masa lalu yang menyiratkan bahwa perubahan adalah keniscayaan, sehingga siapa pun tak usah takut kehilangan. Lenyapnya suatu kebiasaan adalah perkara lumbrah, sebaliknya akan dipandang aneh jika terus melakukannya. Seorang teman pernah uji coba kecil-kecilan. Ia menemui gadis pelayan kasa di sebuah minimarket, lalu menukar lembaran uang dengan koin sambil bertanya, "Di manakah telepon umum koin yang paling dekat?" Si gadis malah tidak tahu telepon umum koin itu seperti apa. Kalaupun tahu, ia menganggap orang yang bertanya itu muncul dari masa lalu dan baru mendusin setelah tertidur selama seperempat abad.
Budaya atau suatu kebiasaan dipastikan lekang jika tidak mampu beradaptasi. Hukum alam menunjukkan demikian, sesuatu yang tidak bermanfaat akan ditinggalkan dengan sendirinya. Saya kira mereka yang merasa buta sejarah pun pasti tahu bahwa sebelum meniti zaman yang kita anggap modern ini, manusia Sunda telah merambah masa-masa sulit untuk kehidupan rundayannya. Harus diakui bahwa leluhur kita adalah manusia purba yang kemudian berusaha menjadi pelaku sejarah dan meninggalkan jejak peradaban, lalu berbaur dengan bangsa lain, dan akhirnya berperang untuk mempertahankan apa yang dimilikinya.

Jejak peradaban dapat kita baca dari sejarah yang dicipta oleh mereka yang berkuasa saat itu. Tentu saja, tulisan sejarah masih menyisakan rumpang untuk disanggah, tetapi ada sesuatu yang tidak akan lekang. Nenek moyang kita banyak yang berhati mulia, mereka tidak serakah dan menciptakan kebaikan-kebaikan dengan caranya sendiri, mewariskannya kepada anak-cucu dan sekarang kita menyebutnya sebagai kearifan masa lalu. Sebuah peninggalan memang tidak harus melulu dalam bentuk harta benda atau kemegahan. Ketika tidak memiliki sesuatu, setidaknya kita masih punya keteguhan dalam berpikir dan melakukan sesuatu dengan cara kita sendiri.
Dari masa lalu pula kita bisa menukil satu wejangan bahwa manusia tak henti berperang untuk merebut atau mempertahankan sesuatu. Namun, orang pintar bilang perang yang sesungguhnya di zaman sekarang bukanlah mengerahkan pasukan militer kayak perang dunia kedua. Bukan pula mengacungkan bambu runcing seperti masa-masa gerilya. Kita cuma saling memberi pengaruh, semacam menebar sirep, pukau, pesona, atau buluh perindu. Karena perang jenis ini enggak kelihatan maka kita tak tahu siapa musuh siapa kawan, bahkan tidak menyadari berada di medan perang. Meskipun begitu, ujung-ujungnya ada sesuatu yang diperebutkan, entah itu pasar ekonomi, kekayaan alam, atau dalam ungkapan paling lebay: sendi-sendi kehidupan.

Beberapa waktu lalu kita menyaksikan dampak dari "perang" ini. Fenomena "BTS meal" salah satunya. Ini bukan semata-mata urusan jual-beli makanan, ada kisah panjang di belakang itu yang tidak bisa dibentuk secepat menyajikan isi perut. Dalam pandangan orang-orang yang tidak lagi muda, sesuatu yang menghebohkan waktu itu —para remaja berbondong-bondong membeli kemasan makanan— merupakan suatu kekonyolan. Di media sosial, kita melihat ragam gambar yang dijadikan bahan olok-olok, mulai dari kemasan BTS meal yang dijemur hingga antrean panjang pemesan makanan. 

Baiklah, kita berasumsi bahwa ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil generasi masa depan. Di luar itu masa ada remaja penganut nasionalisme yang menggebu-gebu. Namun, kalau diibaratkan pertandingan sepak bola, fénomena tersebut baru tendangan percobaan untuk memberi sedikit kejutan. Mungkin bukan éfék kupu-kupu, tapi sekadar tontonan bahwa cukup banyak yang mati-matian untuk mendapatkan sebuah kemasan, sesuatu yang diciptakan oleh bangsa asing dan untuk keuntungan mereka. Barangkali di waktu mendatang kita bisa menyaksikan hal-hal yang lebih mencengangkan lagi.

Bagaimanapun, anak-anak muda tersebut tidak salah. Mereka melakukan itu karena nyaris tidak ada yang bisa diterapkan pada masa kini dari warisan budaya leluhurnya. Mereka mempelajari sejarah sebagai kisah, bukan sebagai ilmu terapan. Budaya apa pun hanya akan dikenang jika tidak mampu beradaptasi. Adaptasi suatu budaya, berarti pula membangun kreasi dan inovasi. Prakteknya akan berbeda-beda di setiap zaman. Namun, yang mendesak saat ini adalah menciptakan "warisan digital" sebagai salah satu bentuk adaptasi.

Warisan Budaya Sunda
Wacana pewarisan budaya Sunda sudah digaungkan sejak lama. Ini merupakan bagian dari kearifan orang-orang Sunda yang semestinya terus dijaga keberlangsungannya. Pewarisan berarti pula menyediakan apa yang akan dituai oleh generasi nanti, bukan sekadar untuk kepentingan saat ini. Sebagaimana seorang kakék yang menanamkan benih pohon untuk keturunannya kelak, génerasi-génerasi selanjutnya harus memelihara pohon tersebut hingga waktunya panén. Dengan kata lain, konsep pewarisan budaya adalah merawat yang sudah ada dan menyiapkan kebaruan untuk masa mendatang.

Ajip Rosidi (1938—2020) tampaknya sangat gelisah dalam hal pewarisan budaya. Menurut Ajip, dari sekian budaya impor yang masuk ke Indonesia, malah hal-hal buruk yang ditiru oleh sebagian masyarakat, sementara hal positif dari kebudayaan Barat seperti etos kerjanya, disiplin pada waktu, kemauan belajar, tak memengaruhi kebiasaan masyarakat kita. Jika hal ini terus dibiarkan akan menggerus sisa-sisa kebudayaan Sunda dan akhirnya punah. Ajip kemudian merealisasikan pemikirannya tersebut dalam kegiatan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) I yang diselenggarakan di Gedung Merdeka, tanggal 22—25 Agustus 2001. Dari hampir seratus narasumber kita bisa membaca gagasan-gagasan penting yang melingkupi segenap unsur kebudayaan Sunda. Dengan "Pewarisan Budaya Sunda di Tengah Arus Globalisasi", KIBS I telah mengkaji tujuh bidang, yaitu (1) bahasa dan sastra; (2) sejarah; (3) arkéologi dan filologi; (4) agama, kepercayaan, dan pandangan hidup; (4) pendidikan; (5) ékonomi, kemasyarakatan, dan politik; (6) lingkungan hidup, arsitéktur, makanan, dan pakaian; dan (7) kesenian.

Langkah Ajip Rosidi dua dasawarsa silam menjadi penting ketika sekarang kita bertanya, apa yang harus diwariskan? Benar, hasil rumusan konferénsi dan semacamnya masih berupa gumpalan gagasan, sementara generasi penerus memerlukan petunjuk téknis untuk menerapkan gagasan tersebut. Barangkali ini adalah masalah kita dari waktu ke waktu.

Ketika ranah budaya dibawa ke bidang lain, ia mungkin akan dipandang dari perspéktif berbéda. Dalam satu perbincangan dengan Pak Richard Mengko, ahli éléktronika ITB, saya mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang "tidak biasa". Misalnya, istilah téknis apa yang digunakan oléh nénék moyang ketika membangun Borobudur? Ketika membuat bangunan tersebut, nénék moyang pasti menyebut istilah dengan padanan yang kita kenal sekarang: geometri, derajat sudut, dan ragam ilmu matematika yang mereka gunakan. Sewaktu berhadapan dengan peninggalan masa lalu, selain mengagumi téknologi nénék moyang, kita nyaris tak punya catatan teknis bagaimana mereka membuat peninggalan seperti itu.

Kita dengan mudah menyanggahnya bahwa kita tak punya pengetahuan itu karena para karuhun tidak meninggalkan catatan terperinci. Bahkan sejarah yang kita baca saat ini pun penuh dengan sentuhan tafsir para peneliti, lalu kita percaya terhadap keilmuan mereka. Di sini lain, ada pula yang beranggapan bahwa jejak masa lalu tidak selalu harus dibuktikan dengan tulisan, melainkan pemaknaan-pemaknaan pada simbol, silib, siloka, dan semacamnya. Namun, hal terpenting adalah bagaimana menerapkan semua itu dalam realita sekarang —tentu dengan kreasi dan adaptasi. 

Warisan-warisan luhur tersebut akan terbenam jika tidak dibarengi petunjuk téknis dan tak ada pengubung antargenerasi. Makna budaya pun akhirnya kian menyempit dan terpusat pada salah satu unsur saja, misalnya kesenian. Secara téknis bidang kesenian lebih mudah dipelajari oléh anak-anak muda sehingga meréka bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Akhirnya saya sepakat dengan Sarah Anais Andrieu, antropolog Perancis, dalam perbincangan beberapa waktu lalu: di masa sekarang, budaya bisa meredup jika ia tidak hadir di ruangan siber-fisik. Namun, ini belum terlambat. Kita bisa memulai dan memeliharanya secara sinambung melalui "digital heritage".

"Digital Heritage"
Warisan digital merupakan gagasan orang luar, meskipun spiritnya sudah ditunjukkan oleh para leluhur kita berabad-abad silam —misalnya melalui kearifan menanam pohon untuk para rundayan. Secara sederhana, warisan digital dapat diartikan sebagai himpunan pengalaman masa lalu dan masa sekarang yang dapat dipergunakan pada masa mendatang. UNESCO telah mengumumkan Piagam Warisan Digital ini sejak 12 tahun lalu, tetapi di Indonesia tidak terlalu banyak yang membicarakan ini, itu pun di tataran teori (seperti halnya tulisan ini).

Warisan digital dapat menjaga auténtisitas suatu budaya. Auténtik bukan berarti tidak boléh berkembang, melainkan terhindar dari kekeliruan fakta. Jangankan di kalangan yang rengang dengan di literasi, di lingkungan peneliti pun kita sering menjumpai silap data akibat keterbatasan sumber. Misalnya, saya membaca sebuah makalah dari konferénsi tingkat internasional, ditulis dalam bahasa Inggris —tentu dengan tujuan agar bisa dipahami orang luar. Pada pembahasan Kampung Adat Cikondang, disebutkan bahwa kata "cikondang" itu berasal dari kata "ngancik" dan "kondang". Kata "ngancik" diartikan sebagai "buried" (terkubur), padahal mungkin lebih tepat "stay somewhere" (tinggal atau diam di suatu tempat). Sementara "kondang" diartikan terkenal. Ini tentu saja menimbulkan pertanyaan karena dalam bahasa Sunda kata "kondang" adalah nama pohon, sedangkan kondang 'terkenal' diambil dari bahasa Indonésia. Padahal Kampung Cikondang berdiri sejak empat abad lalu. Peneliti tentu saja mengambil keterangan tersebut dari narasumber, tetapi sikap kritis sangat diperlukan untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat.

Keberadaan warisan digital dapat mencegah itu, atau setidaknya menyodorkan pembanding. Namun, ini bukan pekerjaan "méméh mumuluk", dan hanya bisa dikerjakan dengan sérius di lingkungan negara yang menghargai budayanya. Ini memerlukan keberlanjutan, kewaspadaan pada évolusi digital, strategi dan kebijakan. Dengan kata lain, sulit dilakukan oléh segelintir orang. 

Pengembangan warisan digital dapat dilakukan melalui dua kegiatan yang dijalankan berbarengan. Pertama, menghimpun data-data masa lalu dalam tiga tahap, yaitu digitasi (pemindahan bentuk analog ke dalam digital), digitalisasi (pemanfaatan komunikasi digital), dan transformasi digital (membiasakan masyarakat menggunakan layanan digital). Kedua, pengumpulan data-data "berjalan" yang diproduksi oléh masyarakat saat ini. Sekarang, selama bertahun-tahun orang-orang berkomunikasi melalui perangkat digital. Namun, tidak semua orang bisa menemukan file yang ia tulis dua belas tahun lalu. Ini juga butuh penyelamatan.

Akan tetapi, pengorganisasi data digital adalah pekerjaan menjéngkélkan dan tidak semudah berswafoto. Sejak taun 2012, Yayasan Kebudayaan Rancagé merintis kegiatan ini dan tidak bisa berjalan cepat karena keterbatasan sumber daya dan infrastruktur. Pada tahun 2019, Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda bekerja sama dengan Yayasan Rancagé melanjutkan kegiatan ini.

Warisan-warisan budaya Sunda yang sudah terdigitasi tersebut belum menyentuh angka 10%. Jalan masih cukup panjang, sementara warisan-warisan tersebut bisa terbenam dan menghilang jika tidak segera diselamatkan.

Penulis adalah sastrawan dan praktisi digitalisasi budaya Sunda


Editor:

Opini Terbaru