• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Dampak Pemaksaan Perkawinan Anak dalam Perspektif Undang-Undang dan Fatwa Keagamaan KUPI

Dampak Pemaksaan Perkawinan Anak dalam Perspektif Undang-Undang dan Fatwa Keagamaan KUPI
Dampak Pemaksaan Perkawinan Anak dalam Perspektif Undang-Undang dan Fatwa Keagamaan KUPI. (Ilustrasi/freepik)
Dampak Pemaksaan Perkawinan Anak dalam Perspektif Undang-Undang dan Fatwa Keagamaan KUPI. (Ilustrasi/freepik)

Oleh Giswah Yasminul Jinan

Pemaksaan perkawinan pada anak merupakan sebuah fenomena yang terjadi di Indonesia yang marak terjadi. Beragam faktor permasalahan terjadi yang berujung pada tertekannya mental dan psikologis anak. Tetapi kita juga mesti melihat kembali, mengapa pemaksaan perkawinan anak itu masih tinggi di masyarakat kita. Setelah itu kita bisa mengurai, menelusuri akar permasalahan dan menemukan jawaban atas permasalahan ini.

 

Menurut undang undang Perkawinan Pasal 7 Ayat (1) Undang undang Nomor 1 Tahun 1974, tidak dijelaskan secara rinci batas usia perkawinan di Indonesia. Menurut Sonny dalam bukunya yang berjudul Perkawinan Bawah Umur di Indonesia, Perkawinan bawah umur diakui secara luas sebagai praktik sosial budaya yang berbahaya, yang merupakan penyebab dan juga akibat dari pelanggaran hak asasi manusia. (Judiasih, 2018: 2)

 

Batas perkawinan di Indonesia menurut paparan jurnal ilmiah yang ditulis oleh Wijalus Lestari Ton tahun 2018 menjelaskan bahwa:

 

Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan ketika seorang pria dan wanita masih di bawah umur atau masih berada di bawah usia yang ditentukan  dalam UU Perkawinan. Dalam UU No 16 tahun 2019 mengatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai 19 tahun. 

 

Dari dua tahun terakhir jumlah pernikahan di bawah umur pada tahun 2018 berjumlah 146 mengalami peningkatan pada tahun 2019 menjadi 173. Pada tahun 2018 berjumlah  wanita yang menikah pada usia 16 sampai 18 tahun berjumlah 146 orang, sedangkan pada tahun 2019 wanita yang menikah pada usia di bawah  16 tahun berjumlah 5 orang, 16 sampa dengan 18 tahun 173 orang. Dari status usia perkawinan tersebut semuanya memiliki putusan pengadilan (Ton, Lestari 2018: 151)

 

Dilansir dari media publikasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tahun 2020, beberapa kasus seringkali ditemui bahwa anak terdorong untuk melakukan perkawinan adalah karena terjebak romantisme perkawinan jelas Alisa Wahid. Di sisi lain, perspektif media massa sering membingkai perkawinan anak dalam cerita romantis dan unik sehingga seolah dianggap normal dan bukan suatu masalah.

 

Nyatanya, salah satu faktor penyebab kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah pemaksaan perkawinan, yang mana suatu pemaksaan perkawinan berpotensi masuk dalam ranah kekerasan seksual yang berkaitan dengan rumah tangga. (Wuri, Santi D 2020: 2)

 

Budaya patriarki yang sudah mengakar, mengakibatkan sempitnya ruang gerak perempuan, khususnya yang masih berusia anak anak menuju masa remaja. Kebanyakan dari mereka, merasa ketakutan untuk memberikan sikap penolakan. Sehingga diamnya dianggap patuh terhadap kasus pemaksaan perkawinan saat ini. 

 

Mestinya, sebagai keluarga, teman, dan bagian dari lingkungan terdekatnya, mesti lebih dulu paham akan apa yang sedang dirasakan dan dihadapi anak tersebut. Melakukan dialog kecil, juga pelan pelan membiasakannya untuk mengutarakan apa yang sedang dirasakannya. Terkadang anak juga memberikan sebuah ekspresi yang kita bisa sedikitnya memahami apa yang dirasakannya seperti marah, kecewa, sedih, murung, membanting pintu, tidak makan dan sebagainya. Kita sudah mengetahui jawabannya, bahwa anak menolak pemaksaan tersebut. Walau terkadang anak sulit menjadikannya menjadi sebuah bahasa yang cukup kuat untuk diutarakan. 

 

Faktor yang mengakibatkan maraknya perkawinan anak terjadi adalah, Masih minimnya informasi dan edukasi mengenai kesiapan dalam pernikahan, Intervensi lingkungan sekitar baik secara adat maupun tafsir agama yang masih misoginis, Stigma masyarakat yang menganggap bahwa perempuan yang menikah terlalu lama dianggap tidak laku, tidak layak dan berbagai macam stigma lainnya. Padahal jika kita meninjau ulang kembali terhadap dampak pemaksaan perkawinan anak, bahaya yang minimpanya akan sangat beresiko bagi kesehatan reproduksi anak maupun psikologisnya.

 

Fatwa Kongres Ulama Perempuan Indonesia 2 (KUPI 2) yang dilaksanakan Nopember kemarin, juga membahas tentang pemaksaan perkawinan. Sikap Keagamaan KUPI antara lain:

 

A. Hukum melakukan perlindungan terhadap perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan adalah wajib, baik bagi negara, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, masyarakat dan orang tua.


B. Pemaksaan perkawinan terhadap perempuan tidak hanya berdampak secara fisik dan psikis, mental, tapi juga sosial, ekonomi, politik, dan hukum. Oleh karena itu, negara dan semua pihak yang terkait wajib melakukan penanganan dengan upaya yang cepat dan tepat untuk meminimalisir dan menghapuskan segala bahaya akibat pemaksaan perkawinan terhadap perempuan.

 

C. Dengan demikian, membuat peraturan perundangan yang menjamin hak-hak korban, pemulihan yang berkelanjutan dan sangsi pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan pada perempuan adalah wajib.

 

Memahami dan merenungi kembali dari apa yang sudah para ulama progresif kita rumuskan, bahwa ketika terjadinya suatu pemaksaan maka hukum melindunginya adalah wajib. Bagaimana bisa jika pernikahan yang dimaksudkan untuk tujuan dalam beribadah, malah dilakukan dengan cara yang tidak maslahah, tidak ada consern dari kedua belah pihak yang akan menjalani bahtera rumah tangga selanjutnya. Lingkungan sekitar, orang tua dan masyarakat hanya berperan sebagai pemberi nasihat, wejangan saja, bukan malah jauh mengintervensi, memaksa secara sepihak tanpa kesepakatan pihak yang akan menjalani.

 

Lantas, bagaimana sikap dan perjuangan kita sebagai yang memperjuangkan hak dan kehendak korban untuk memberikan ruang aman dari bahaya pemaksaan perkawinan anak? 

 

Kita mesti menciptakan ruang aman terlebih dahulu kepada orang orang terdekat kita, jika kita memiliki keterbatasan dalam mengadvokasi korban, kita bisa terhubung kepada lembaga yang berfokus pada penanganan dan perlindungan pemaksaan perkawinan pada anak. Kita bisa melakukan solidaritas dan berjejaring ke seluruh lembaga dan komunitas untuk memperluas informasi kepada seluruh elemen masyarakat untuk bisa lebih peduli dan waspada terhadap pemaksaan perkawinan terhadap anak. 

 

Mari ciptakan ruang aman kepada seluruh masyarakat, tingkatkan kepedulian dan perlindungan bagi seluruh korban pemaksaan perkawinan anak.

 

Penulis merupakan aktivis perempuan Bandung dan Peserta dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia ke-2 di Jepara


Opini Terbaru