• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 24 April 2024

Opini

Catatan Moderasi Beragama di Asia Tenggara

Catatan Moderasi Beragama di Asia Tenggara
Catatan Moderasi Beragama di Asia Tenggara (Foto-NUO)
Catatan Moderasi Beragama di Asia Tenggara (Foto-NUO)

Asia Tenggara sejak zaman dahulu merupakan suatu wilayah yang menjadi panggung peradaban besar sepanjang sejarah. Dalam sebuah perjalanannya, Marco Polo (1292) sempat singgah selama lima bulan di Perlak, suatu daerah di Sumatera bagian Timur Laut. Di perlak, ia mengamati bagimana orang-orang di sana banyak yang berganti keyakinan dari penyembah berhala, menjadi penganut agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.


Islam di Asia Tenggara tumbuh dan menyebar lebih dipengaruhi karena kontak masyarakat setempat dengan para pedagang muslim dari Sarasin. Islamisasi di kawasan yang disebut Melayu ini, selain melalui perdagangan, juga melalui pendidikan, kebudayaan, kesejahteraan masyarakat, dan bidang tasawuf. Dengan demikian, catatan awal tentang komunitas Islam di kawasan ini, terbilang lahir dari konsepsi yang lengkap dan memiliki nuansa yang khas.


Kekhasan Islam di Asia Tenggara, tercermin dari pribadi penduduknya yang toleran, berwawasan luas, berpikiran bebas, menghormati tradisi, dan kosmopolit. Dengan demikian, Islam di kawasan ini cenderung ‘tahan banting’ kendati ganti rezim ke rezim.


Berbeda halnya dengan penyebaran Islam di kawasan lain, seperti di Afrika, Eropa Timur, atau di negara-negara Teluk yang lebih diwarnai dengan cara angkat senjata serta hegemoni kepentingan. Alhasil, Islam di wilayah tersebut rentan dihantam badai perpecahan, oleh karena Islam diletakan pada national-state, bukan sebagai peradaban. 


Selain daripada itu, kebekuan teologi dan romantisme kejayaan masa lalu, semakin menambah ‘beban perasaan’ para pemangku kebijakan di negara-negara itu. Sedangkan, Islam di Asia Tenggara lebih berkonsentrasi pada upaya meminimalisir kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi, ketimbang membuat regulasi utnuk memotong tangan pencuri.


Problematika


Namun demikian, Asia Tenggara juga bukan wilayah yang terbebas dari persoalan sosial-keagamaan. Selama berabad-abad, Islam di Asia Tenggara dipersepsikan sebagai ‘Islam Pinggiran’. Hal itu terjadi karena Islam di kawasan ini dianggap tak memiliki basis  sejarah keislaman yang besar (subordinat).


Lain daripada itu, negara-negara di Asia Tenggara dan sekitarnya yang notabene bekas jajahan kolonialisme bangsa Eropa dan Asia Timur. Oleh karenanya, negara-negara di Asia Tenggara tentu memiliki problem akut yang tak cukup obatnya hanya dengan deklarasi merdeka. Misalnya saja, masalah kedaulatan wilayah, ketimpangan ekonomi, pencemaran lingkungan, tingginya angka korupsi, serta mutu sumber daya manusia yang masih rendah.


Masalah lain timbul sebagai akibat dari perubahan geopolitik global maupun regional. Tensi ketegangan yang melibatkan negara-negara yang berkepentingan kian tinggi.


Apabila kita cermati, sekurang-kurangnya ada tiga algoritma yang menjelaskan ihwal ketegangan yang potensial terjadi di wilayah Asia Tenggara. Pertama, agresifitas Republik Rakyat Cina (RRC) di laut Cina Selatan yang menuai respon kecaman dari negara-negara kawasan, yang diikuti pula oleh kehadiran poros armada Paman Sam dan kolega di kawasan tersebut; Kedua, pesan tersirat dari pertemuan Paus Fransiskus dengan ulama Syiah Irak, Ayatollah Ali al-Sistani di kota Najaf beberapa waktu lalu; Ketiga, konflik saudara yang terjadi di Myanmar antara junta militer dengan sipil.


Ada juga konflik menahun di wilayah Filipina Selatan antara Pemerintah Filipina dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF). Konflik yang tak berkesudahan ini, disinyalir akibat dari adanya tuntutan wilayah otonom bagi bangsa Moro karena ketidak-cocokan prinsip dan ideologi. 


Hal yang hampir sama juga terjadi di Indonesia. Konflik berkepanjangan antara aparat keamanan TNI/Polri dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di sebagian luas wilayah Papua, belum menemukan titik temu. Segala upaya telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengurai dan mencari solusi yang tepat untuk mengakhiri konflik ini.


Belum lagi ancaman resesi ekonomi akibat dari hantaman pandemi yang belum juga usai. Untuk itu, negara-negara di Asia Tenggara dipaksa untuk bekerja lebih keras guna menghadapi kemungkinan-kemungkinan ke depan yang paling buruk sekalipun.


Urgensi 


Dalam kondisi yang demikian kompleks, agaknya para pemangku kebijakan di kawasan ini harus menelaah kembali kilas sejarah yang membentuk kedaulatan tiap wilayahnya. Terlebih pola konsepsi dalam bernegara yang lebih mengedepankan proses dialog dan anti kekerasan; semangat kolaborasi dan persaudaraan.


Misalnya saja, dalam hal ihwal wawasan sosial-keagamaan (Islam) perlu dikembangkan pemahaman moderasi beragama. Wawasan keislaman yang moderat memungkinkan berdiri di antara ekstrimitas dan liberalitas, serta mampu menyublimasi kekurangan-kekurangan atau menutup setiap potensi konflik sesuai kondisi alam kultural wilayahnya masing-masing. 


Moderasi beragama menjadi lebih urgen tatkala realitas kolektif di Asia Tenggara dihadapkan dengan kehidupan masyarakat yang plural. Indonesia hadir dengan motto Bhineka Tunggal Ika yang menjadi definisi kultural masyarakatnya.


Selain daripada itu, semangat gotongroyong serta spirit kebangsaan atas dasar dependensi kearifan lokal, perlu terus dihidupkan sebagai basis identitas nasional dan regional. Dengan demikian, hal itu diharapkan mampu menjadi antibiotik atau paling tidak menjadi plester agar lukanya tidak terus menganga. Ketegangan-ketegangan yang sedang terjadi, sedapat mungkin disudahi. 


Kembali pada mentalitas para pendahulu, seperti yang pernah diucapkan oleh Jose Rizal, seorang hero asal Filipina, ia mengatakan: Bangsa Melayu hanya mengingat kebaikan yang didapat, mudah melupakan kebencian…”.


Herdi As’ari, Pemerhati Sosial-Budaya dari Kabupaten Tasikmalaya


Editor:

Opini Terbaru