• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 8 Mei 2024

Opini

Bulan Jumadil Ula, Jumadal Ula, Atau Jumadil Awwal? Berikut Penjelasannya

Bulan Jumadil Ula, Jumadal Ula, Atau Jumadil Awwal? Berikut Penjelasannya
Bulan Jumadil Ula, Jumadal Ula, Atau Jumadil Awwal yang Benar? Berikut Penjelasannya
Bulan Jumadil Ula, Jumadal Ula, Atau Jumadil Awwal yang Benar? Berikut Penjelasannya

Kamis (24/11) kemarin, baru saja kita mengetahui hasil ikhbar dari Lembaga Falakiyah (LF) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bahwa 1 Jumadil Ula jatuh pada Sabtu 26 November 2022 yang dimulai pada Jumat malam.


Jumadal Ula merupakan nama bulan ke-5 dalam kalender Hijriyah. Banyak orang yang menyebutnya dengan Jumadil Ula, namun menurut morfologi Arab penyebutan itu dipandang lemah. Pasalnya, pola fu‘ali harus diakhiri dengan ha lazimah (sehingga menjadi jumadilah), seperti kata qurasiyah dan shurahiyah (Shalahuddin Khalil, Tashhih al-Tashif...hal. 215).


Ada pula yang menyebutnya dengan Jumadal Awwal. Namun, kata awwal yang berarti ‘pertama’, menurut gramatika Arab (nahwu) tidak bisa dipakai menyifati kata jumada, yang terkategori sebagai muannats (feminim) dan ditandai dengan alif ta’nits. Hal ini diperkuat oleh al-Farra yang menyatakan, semua nama bulan Arab terkategori mudzakkar (maskulin) kecuali Jumadal Ula dan Jumadal Akhirah. Sehingga bentuk kata sifat yang tepat untuk menyifati jumada bukan al-awwal, melainkan al-ula yang berbentuk muannats (Muhammad ibn al-Mustanir ibn Ahmad, al-Azminah wa Talbiyatul Jahiliyyah, hal. 45).


Seperti nama beberapa bulan Arab yang lain, menurut Abu Sa‘id, penamaan bulan Jumadal Ula juga dilatarbelakangi oleh musim yang terjadi pada bulan tersebut, yaitu musim dingin (syita). Jumada sendiri berasal dari kata jamada, yang berarti ‘beku’ sesuai dengan keadaan air yang beku di musim dingin (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, jilid 3, hal. 130; dan al-Harawi, Tahdzib al-Lughah, jilid 10, hal. 358) seperti yang dilansir dari NU Online.


Menurut Ibnu Duraid, pada zaman Jahiliyah, bulan Jumadal Ula disebut dengan al-Hanin, Rubba, Syaiban, dan Kanun al-Awwal. Sedangkan bulan berikutnya Jumadal Akhirah disebut dengan Milhan dan Kanun al-Akhir. Kata syaiban dan milhan ini dapat ditelusuri dari kata syaib yang berarti ‘uban’, dan kata milh yang berarti ‘garam.’ Keduanya menggambarkan keadaan salju di musim dingin yang putih seperti uban atau garam dan terjadi di bulan Jumadal Ula dan Jumadal Akhirah. (Abu al-Hasan, al-Mukhashish, jilid 2, hal. 387).


Umumnya musim itu terjadi selama dua bulan. Sehingga nama ini pun disematkan pada dua bulan terjadinya musim tersebut, yakni Jumadal Ula dan Jumadal Akhirah. Sebagaimana diketahui masyarakat Arab memiliki enam musim, yaitu ar-rabi al-awwal (musim semi pertama), shaif (musim panas), qaizh (puncak musim panas), al-rabi‘ al-tsani (musim semi kedua), kharif (musim gugur), dan syitha (musim dingin) (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, jilid 8, hal. 102).


Sejumlah peristiwa penting yang terjadi di bulan Jumadal Ula—terutama pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam—di antaranya ialah beliau berperang melawan Bani Sulaim di Buhran; mengirim pasukan ekspedisi Zaid bin Haritsah ke wilayah al-Ish pada tahun keenam Hijriah; bertempur melawan kaum Yahudi Khaibar pada tahun ketujuh Hijriah; mengirim utusan ke Mu’tah pada tahun kedelapan Hijriah; mengutus Khalid ibn Walid untuk mengajak bani al-Harits di Najran masuk Islam; dan masih banyak lagi peritiwa lainnya. Bahkan, menurut Muhammad ibn Ishaq, perang Dzat al-Riqa‘ juga terjadi pada bulan ini. Wallahu a’lam. (Maghazi al-Waqidi, hal. 3, 5, 553). Wallahu a’lam.


Penulis: M. Tatam Wijaya
Editor : Muhammad Rizqy Fauzi


Opini Terbaru