Khutbah KHUTBAH JUMAT

Khutbah Jumat Muharram: Memaknai Hakikat Hijrah

Kamis, 3 Agustus 2023 | 07:00 WIB

Khutbah Jumat Muharram: Memaknai Hakikat Hijrah

Khutbah Jumat Muharram: Memaknai Hakikat Hijrah. (Ilustrasi: NUO).

Khutbah I


اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الأزْمَانِ وَالآنَاءِ، فَلاَ ابْتِدَاءَ لِوُجُوْدِهِ وَلاَ انْتِهَاءَ، يَسْتَوِيْ بِعِلْمِهِ السِّرُّ وَالْخَفَاءُ، القَائِلِ : وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْكَبِيْرُ المُتَعَالِ، المُنَزَّهُ عَنِ الشَّبِيْهِ وَالْمِثَالِ، الَّذِيْ يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ كُلُّ شَيْءٍ فِي الْغُدُوِّ وَالآصَالِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ حَذَّرَنَا مِنْ دَارِ الفُتُوْنِ، المُنَزَّلُ عَلَيْهِ : إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُوْنَ. اللَّهُمَّ فصَلِّ وسلّم عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَاتَمِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ الطَّيِّبِيْنَ وَأَصْحَابِهِ الأَخْيَارِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.


Hadirin sidang Jum’ah yang dirahmati Allah,


Waktu demikian cepat berlalu, bulan demi bulan pun terus berganti. Hingga tanpa terasa, kini kita sudah melewati minggu pertama di awal tahun baru hijriyah, yakni bulan Muharram 1444 H. Seiring pergantian waktu dan perubahan tahun itu, marilah kita semakin meningkatkan rasa syukur dan taqwa kita kepada Allah Jalla Jalaluhu. Karena tak pernah satu detik pun waktu yang kita lalui, kecuali di situ ada karunia Ilahi. Dan tiada pernah masa berganti, kecuali nikmat Allah senantiasa menyertai.


Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia, 


Sejarah telah mencatat, bahwa orang pertama yang meresmikan peristiwa hijrah Nabi sebagai tonggak awal dalam perhitungan kalender hijriyah adalah Umar bin Khattab RA, yaitu saat beliau menjabat sebagai Khalifah ke-2 menggantikan Abu Bakar As-Shiddiq RA. Peristiwa itu terjadi 17 tahun setelah Hijrah Nabi. Meski demikian, Sayidina Umar adalah seorang pemimpin yang selalu bermusyawarah dengan para sahabat Nabi yang lain dalam menyikapi berbagai persoalan umat, termasuk dalam menentukan penanggalan atau kalender umat Islam. Karenanya beberapa pendapat dari para sahabat Nabi pun sempat bermunculan. Ada yang berpendapat, bahwa penanggalan Islam hendaknya berpijak pada tahun kelahiran Nabi. Ada juga yang mengusulkan, tahun diangkatnya Nabi sebagai utusan Allah adalah waktu paling tepat dalam menentukan awal kalender umat Islam. Bahkan ada pula yang berpendapat agar tahun wafatnya Nabi dijadikan titik awal perhitungan penanggalan.


Dari beberapa usulan tersebut, Sayidina Umar lebih condong kepada pendapat Sayidina Ali bin Abi Thalib, yang mengusulkan peristiwa hijrah Nabi sebagai tonggak sejarah paling penting dalam Islam, dibanding peristiwa lainnya. Dengan alasan, karena hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah merupakan simbol pembatas antara yang hak dan yang batil. Peristiwa ini (yakni, awal penentuan kalender umat Islam) terjadi pada tanggal 1 Muharram, bertepatan dengan hari Jum’at, tanggal 16 Juli 622 M.


Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah,


Jika kita lebih lanjut, ada hal yang unik dalam sistem kalender hijriyah. Karena dalam catatan sejarah, peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah sesungguhnya terjadi pada bulan Rabiul Awal, bukan pada bulan Muharram. Lalu mengapa justeru bulan Muharram yang dijadikan sebagai tonggak pertama penanggalan umat Islam?.


Dalam kitab-kitab Tarikh atau sejarah Islam, banyak dijelaskan bahwa Nabi bertolak dari Mekkah menuju Madinah terjadi pada hari Kamis terakhir di bulan Shafar, dan keluar dari tempat persembunyiannya di Goa Tsur pada awal bulan Rabiul Awal, bertepatan dengan hari Senin tanggal 13 September 622. Namun demikian, Sayidina Umar dan para sahabat Nabi yang lain saat merumuskan kalender umat Islam, memilih bulan Muharram sebagai awal tahun hijriyah. Ini karena, pada bulan Muharram-lah sesungguhnya Nabi pertama kali memiliki ’azam (rencana) untuk berhijrah. Mengingat pada bulan Muharram itu Rasulullah telah selesai dari seluruh rangkaian ibadah haji, juga karena bulan Muharram termasuk salah satu dari 4 bulan haram dalam Islam yang dilarang oleh Allah untuk berperang. Rasulullah sendiri pernah menyebut bulan Muharram dengan sebutan “Syahrullah (Bulannya Allah)”, sebagaimana diungkapkan dalam sabdanya: 


أفضلُ الصّيام بعدَ رمضانَ شهرُ الله المُحرَّمُ


“Sebaik-baik puasa di luar bulan suci Ramadhan adalah puasa di Bulan Allah, yaitu bulan Muharram”. (Hadist diriwayatkan oleh Imam Muslim).


Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia, 


Peristiwa hijrah merupakan kejadian penting yang di dalamnya tersimpan banyak hikmah yang bisa kita renungkan. Setidaknya, ada 3 nilai penting dari peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah yang perlu kita teladani.


Pertama, transformasi atau perbaikan keummatan (kemanusiaan). Mengingat, misi utama hijrahnya Nabi beserta kaum muslim sesungguhnya untuk menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan. Karena betapa sebelum hijrah, penindasan dan kekejaman sangat lazim dilakukan oleh orang-orang kaya dan para penguasa terhadap masyarakat kecil yang lemah. Oleh karenanya, hijrah dalam hal ini ditujukan untuk mewujudkan suatu tatanan sosial (kemasyarakatan) yang lebih baik. 


Hijrah dalam pengertian menyelamatkan ummat dari ketertindasan adalah sebuah kewajiban. Bahkan al-Qur’an menyatakan, bahwa jika ummat dalam kondisi tertindas dan ia sebenarnya mampu untuk hijrah tetapi tidak melakuan, maka ia dianggap sebagai orang yang menganiaya dirinya sendiri (zhalim). Sebab, luasnya bumi Allah dan melimpahnya rizqi di atasnya, pada dasarnya disediakan oleh Allah untuk keperluan manusia. Karena itulah, jika manusia atau masyarakat mengalami ketertindasan, Allah mewajibkan mereka untuk hijrah. Sebagaimana firman Allah dalam QS. an-Nisa (4): 97-100:


إنّ الذين توفّاهُمُ الْمَلآئكةُ ظالِمِي أنفسهِمِ قَالُوا فِيْمَ كنتم, قالوا كُنَّا مستضعفين في الأرض, قالوا أَلَمْ تَكُنْ أرضُ اللهِ واسِعَةٌ فتهاجروا فيها... 


“Sesungguhnya orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: ‘bagaimanakah kondisi kalian ini?’, mereka menjawab: ‘kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri kami (Makkah)’, para malaikat lalu berkata: ‘bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah di bumi itu?’”.


إلاّ المستضعفين من الرّجالِ والنّساءِ والولدانِ لاَ يستطيعون حِيْلَةً ولا يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلاً


“Kecuali mereka yang tertindas itu (baik laki-laki, perempuan, atau pun anak-anak) benar-benar tidak memiliki kemampuan dan tidak mengetahui jalan untuk hijrah”.


فأولئك عسى اللهُ أنْ يَعْفُوَ عنهم وكان الله عَفُوًّا غَفُوْرًا


“Maka terhadap mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkan. Dan Allah adalah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.


ومن يُهَاجِرْ في سبيل الله يَجِدْ في الأرض مُرَاغَمًا كَثِيْرًا وَسَعَةً, ومَنْ يَخْرُجْ مِن بيته مهاجرا إلى الله ورسوله ثمّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ على الله وكان الله غفورا رحيما 


“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapati di muka bumi ini tempat yang luas dan rezeki yang berlimpah. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu kematian menimpanya (sebelum ia sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah Allah tetapkan pahala hijrah itu di sisi-Nya, dan Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.


Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia, 


Kemudian nilai yang Kedua, adalah transformasi atau perbaikan kebudayaan dan peradaban. Hijrah dalam hal ini dimaksudkan untuk mengentaskan masyarakat dari kebudayaan atau tabiat jahiliyah menuju kebudayaan dan peradaban yang Islami. Yaitu tatanan peradaban yang tidak memperbudak dan menjerumuskan manusia, tetapi membebaskan manusia dengan pancaran cahaya ilahi. Dengan demikian, hijrah pada dasarnya ditujukan untuk mengembalikan moral dan martabat kemanusiaan secara universal, sebagai makhluk yang paling mulia di muka bumi. 


Lalu yang Ketiga, adalah transformasi atau pengembangan dakwah keagamaan. Transformasi inilah yang sesungguhnya yang menjadi pilar utama keberhasilan dakwah Rasulullah. Persahabatan beliau dan kaum Muslim dengan kalangan non-Muslim (Ahli Kitab: Yahudi dan Nasrani) yang ada di Madinah, sesungguhnya adalah basis utama dari misi kerasulan yang diemban oleh Rasulullah. Dari catatan sejarah kita dapat ketahui, bahwa orang yang pertama kali menunjukkan sekaligus mengakui ‘tanda-tanda kerasulan’ pada diri Nabi, adalah seorang pendeta Nasrani yang bertemu tatkala Nabi dan pamannya, Abu Thalib, berdagang ke Syria.


Kemudian, pada hijrah pertama dan kedua (ke Abesinia), pun kaum Muslim sempat ditolong oleh raja Najasy yang juga beragama Nasrani. Dan pada saat membangun kepemimpinan di Madinah, kaum Muslim bersama kaum Yahudi dan Nasrani, saling bahu-membahu dalam ikatan persaudaraan dan perjanjian yang damai. Fakta ini menunjukkan, betapa ajaran Islam adalah ajaran yang rahmatan lil ‘alamin, yang mengajarkan kedamaian kepada seluruh alam. 


Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah,


Penting juga untuk dipahami, bahwa hijrah tidak semata-mata bermakna perpindahan fisik dari satu daerah ke daerah lain. Hijrah harus pula dimaknai secara mental-spiritual. Dengan kata lain, hijrah hakikatnya bukan sekadar pindah tempat, tetapi pindah kelakuan. Dari kelakuan yang tidak baik menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan makna hijrah itu sendiri yang secara lughawi bermakna at-tarku wal bu’du (meninggalkan atau menjauhi). Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, dalam kitabnya Zaadu al-Ma’ajir aw ar-Risalah Tabuukiyah, dalam menjelaskan makna hijrah ini, beliau menyatakan: 


الهجرة هجرتان: هجرة بالجسم مِن بلد إلى بلد وهذه أحكامُها معلومة. والهجرة الثانية: الهجرة بالقلب إلى الله ورسوِله... وهذِه الهِجرة هي الهِجرة الحقيقيةُ ... 


Ada 2 macam hijrah. Pertama adalah hijrah jismiyah, yakni berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain. Hijrah semacam ini hukum dan ketentuan-ketentuannya telah jelas. Dan yang kedua adalah hijrah qalbiyyah, yakni berpindahnya hati menuju kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Inilah sesungguhnya makna hijrah yang paling hakiki.       


Senada dengan penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim di atas, Imam ‘Izz bin Abdis Salam ad-Dimasyqi as-Syafi’i dalam kitabnya Nadlratu an-Na’im juga mengatakan: 


الهجرة هجرتان: هجرة الأوطان، وهجرة الإثم والعدوان، وأفضلهما هجرة الإثم والعدوان؛ لما فيها من إرضاء الرحمن وإرغام النّفس والشّيطان


Bahwa ada 2 macam hijrah, yaitu ‘hijratul authan’ (meninggalkan suatu wilayah menuju wilayah yang lain) dan ‘hijratul itsmi wal ‘udwan’ (meninggalkan perbuatan dosa dan permusuhan). Dari 2 macam hijrah itu, yang paling utama adalah hijratul itsmi wal ‘udwan, karena di dalamnya ada keridhoan Dzat Yang Maha Rahman dan ditundukkannya segala hawa nafsu dan bisikan syaitan. Ini sesuai dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa’i, dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash RA bahwa Nabi SAW pernah ditanya: 


أَيُّ الْهِجْرَةِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: (أَنْ تَهْجُرَ مَا كَرِهَ رَبُّكَ) 


“Hijrah apakah yang paling utama”?. Beliau menjawab: “Yaitu hijrah meninggalkan perkara-perkara yang tidak disukai oleh Tuhanmu”.


Hadirin yang dirahmati Allah,


Akhirnya, seiring pergantian tahun hijriyah ini tanpa terasa umur kita pun telah berkurang satu tahun. Itu berarti jatah hidup kita kian berkurang dan semakin mendekatkan kita pada hari kematian. Maka, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Robi’ah al-Adawiyyah kepada Sufyan at-Tsauri, sebagaimana diceritakan dalam kitab Sifatu as-Shafwah: 


إنما أنت أيّام معدودة، فإذا ذهب يوم ذهب بعضك، ويوشك إذا ذهب البعض أن يذهب الكلّ، فاعمل.


“Sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari. Jika satu hari telah berlalu, maka sebagian dirimu juga berlalu. Bahkan sering kali ketika sebagian harimu berlalu, itu bisa saja menghilangkan seluruh dirimu (yakni: mematikanmu). Oleh karena itu, beramal-lah.” 


Demikian khutbah ini disampaikan, semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang berhijrah dalam pengertian yang hakiki, yakni meninggalkan perkara-perkara yang tidak baik menuju perbuatan yang lebih baik. Amin ya Rabbal ‘Alamin


بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.


Khutbah II:


اَلْحَمْدُ لِلَّهِ ذِيْ الفَضْلِ وَالْإِنْعَامِ، الذي فَضَّلَ شَهْرَ الْمُحَرَّمِ عَلَى غَيْرِهِ مِنْ شُهُوْرِ العَامِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ فِي رُبُوْبِيَّتِهِ وَأُلُوْهِيَّتِهِ, وَأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ, كَمَا قَالَ تَعَالَى: (تَبَارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ)، وَأَشْهَدُ أَنَّ محمداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ البَرَرَةِ الكِرَامِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْرًا, أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ, اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. نَسْأَلُ اللهَ تعالى أَنْ يَرْزُقَنَا وَإِيَّاكُمْ خَشْيَتَهُ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَنْ يَجْعَلَنَا وَإِيَّاكُمْ مِنْ عِبَادِهِ المُتَّقِيْنَ, وَأَنْ يَهْدِيَنَا جَمِيْعاً سَوَاءَ السَّبِيْلِ، وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا عَلَى سيدنا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ, كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ الكريم: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً﴾. فاَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الأَئِمَّةِ المَهْدِيِّيْنَ: أَبِيْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ. 
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ, إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ ودَمِّرْ أَعْدَآئَنَا وَأَعْدَآءَ الدِّيْنِ وأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلاَءَ وَالْوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتْنَةِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنا إِنْدُوْنِيْسِيَا خَآصَّةً وَعَنْ سَائِرِ الْبُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ, وَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أَكْبَرُ, وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.


Khalil Mohamad, Ketua II Pengurus Cabang LDNU Kabupaten Indramayu