• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Berqurban untuk Tuhan, untuk Kemanusiaan

Berqurban untuk Tuhan, untuk Kemanusiaan
Ilustrasi: NU Online
Ilustrasi: NU Online

Oleh Agung Purnama

Pada setiap bulan Djulhijjah, umat Islam dari seluruh dunia berbondong-bondong datang ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Sementara di berbagai belahan dunia lain, umat Islam yang tidak sedang berhaji, merayakan Iedul Adha dan melaksanakan tradisi qurban. Baik haji, Iedul Adha, dan qurban, ketiganya dipercaya sebagai ajaran Islam yang bersumber dari syariat Nabi Ibrahim khalilullah.

Berkaitan dengan qurban, tradisi yang pada praktiknya dengan cara menyembelih hewan ini bisa dimaknai dalam berbagai perspektif. Dalam perspektif historis, qurban bisa dimaknai sebagai upaya untuk memutus suatu tradisi kuno, yang masih menjadikan manusia sebagai kurban bagi sesembahan. Pada sekitar tahun 2000-3000 SM, di peradaban Mesopotamia (Iraq dan sekitarnya) khususnya di bangsa Ur Kasdim, tempat Ibrahim lahir dan dibesarkan, konon di situ masih berkembang tradisi mengorbankan anak pertama untuk dipersembahkan kepada dewa-dewi yang dipuja.

Oleh karenanya, ketika Ibrahim sudah menganut monoteisme (tauhid) dan hijrah ke Syam dan Jazirah Arab, dengan bimbingan Tuhan ia kemudian mengajarkan kepada umat manusia sebuah tradisi baru, berupa pengorbanan dengan hewan. Inilah simbol dari kisah penyembelihan anak Nabi Ibrahim yang kemudian urung terlaksana, karena Tuhan menggantinya dengan seekor domba.

Dalam kisah tersebut juga tersirat ajaran humanisme. Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa nyawa manusia itu sangatlah berharga. Sama sekali bukan hal yang pantas jika manusia harus dikorbankan, atas nama apapun, termasuk mungkin atas nama Tuhan. Karena justru Tuhan sendiri sangat memuliakan manusia, dan atas perintah-Nya lah manusia dituntut untuk saling memuliakan satu sama lain. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra’ ayat 70:


وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا

Artinya: “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”

Adapun manusia yang mulia itu adalah di antaranya siapa saja yang mampu berbagi untuk sesamanya, dan bermanfaat untuk manusia lain. Inilah makna dari pembagian dan distribusi daging qurban. Dalam Islam kata amanu, akan selalu disertai kata wa amilus shalihat. Maka, jika berqurban adalah bentuk keimanan pada Tuhan, membagikan daging qurban kepada yang berhak adalah bentuk dari amal salehnya.

Hal serupa diformulasikan dalam trilogi iman-ilmu-amal. Maksudnya, keimanan sebagai basic pengabdian pada Tuhan, haruslah berujung pada aktualisasi yang sasarannya adalah sesama manusia. Dengan kata lain, tauhid yang menjadi pusat semua orientasi nilai, harus bertransformasi pada aksi kemanusiaan. Juga, dalam Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 3 ditekankan bahwa agar termasuk kategori orang mutaqin (bertaqwa) itu harus terpeuhi tiga kriteria. Pertama, harus percaya yang ghaib, ini berarti kaitannya dengan iman, kedua menunaikan shalat sebagai refresentasi dari ritual pengabdian individu kepada Tuhan, dan ketiga menunaikan zakat sebagai refresentasi dari ibadah sosial untuk kemaslahatan masyarakat banyak. Dalam redaksi yang lain, di Qur’an surat al–Ankabut ayat 45, Tuhan memerintahkan mendirikan shalat agar pada akhirnya dapat tercegah dari perbuatan keji dan munkar. Di sini, lagi-lagi muaranya adalah kebaikan untuk manusia.

Penting untuk dipahami, sebagaimana konsep Hablum mina-Allah dan hablum minan-nas, Islam menuntut umatnya agar tidak hanya menjalankan ritual pribadi untuk Tuhan, namun juga “ritual sosial” secara seimbang. Islam bukanlah ajaran panteologisme. Justru yang nampak melekat pada Islam adalah Karakter humanisme teosentrik. Ajarannya memang berpusat pada ketuhanan, namun arah dan tujuannya adalah untuk kemaslahatan kehidupan umatnya, sebagaimana empat dari lima maqashid al-syari'ah (tujuan hadirnya syariat agama), yaitu hifdz al-nafs (perlindungan jiwa); hifdz al-'aql (perlindungan akal), hifdz al-'nasl (perlindungan keturunan/keluarga), dan hifdz al-maal (perlindungan kepemilikan harta).

Maka dari itu, sungguh paradoks manakala ada sekelompok manusia yang katanya berjuang bela agama, meninggikan nama Tuhan dengan takbir, mengumandangkan ayat-ayat dari kitab suci, tapi di saat yang sama mereka mengumbar ketakutan, melakukan anarkisme, radikalisme, bahkan terorisme, atas nama Tuhan. Mereka merasa paling suci lantas menghakimi. Mereka siap sedia berqurban untuk Tuhan, namun dengan mengorbankan manusia lain yang juga ciptaan Tuhan. Mereka mengkhayalkan kenikmatan surga di akhirat, sembari menciptakan huru-hara neraka di dunia.

Padahal sejatinya, segala bentuk perilaku dehumanisasi yang merendahkan dan menginjak-injak harkat martabat manusia itu, telah mencederai hakikat Islam yang rahmatan lil alamin. Oleh karenanya, dengan segenap kerendahan hati marilah kita berqurban membunuh amarah, emosi, kemurkaan, kebencian, kedengkian, egoisme, dan semua sifat-sifat kebinatangan dalam diri. “Berbuat baiklah kepada orang demi Tuhan dan hatimu sendiri, agar selalu kamu lihat apa-apa yang suci”, begitu kata penyair sufi, Jalaluddin Rumi.

Wallahu a’lam.

Penulis adalah alumnus Pendidikan Sejarah UPI dan Ilmu Sejarah UNPAD. Aktif mengajar di Jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
 


Opini Terbaru