• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Khutbah

Kebesaran Idul Adha dan 3 Pelajaran dalam Menyikapi Pandemi

Kebesaran Idul Adha dan 3 Pelajaran dalam Menyikapi Pandemi
Ilustrasi: NU Online
Ilustrasi: NU Online

Oleh KH Nanang Fathulloh
(Sekretaris Lembaga Dakwah PCNU Kabupaten Subang)

Khutbah I 


اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ،لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُوَلِلّهِ اْلحَمْدُ،ـ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيَخْلُقُ مَايَشَاءُوَيَخْتَارُ،أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ لْوَاحِدُالْعَزِيْزُالْغَفَّارُ،وَأَشْحَدُاَنْ لاَّاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَّشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْحَدُاَنَّ سَيِّدَنَامُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اِمَامُ الْمُتَّقِيْنَ وَقُدْوَةُالأَبْرَارِ،اَلَّلحُمَ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ،وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ،صَلاَةًدَائِمَةًمَّاتَعَاقَبَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ.اَمَّابَعْدُ،فَيَااِخْوَةَاْلاِسْلَامِ اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْ ى اللهِ عَزَّوَجَلَّ اَلْقَائِلُ فِىْ مُحْكَمِ كِتَابِهِ: اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْاِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ
 

Ma’asyiral Muslimin Jamaah id rahimakumullah,

Mengawali khutbah id pada pagi hari yang penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua, terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan keimanan dan
 ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kapan pun dan di mana pun kita berada serta dalam keadaan sesulit apa pun dan dalam kondisi yang bagaimana pun, dengan cara melaksanakan
 segenap kewajiban dan menjauhi segala larangan Allah ta’ala.

Idul Adha benar-benar hari yang besar. Ini bukan hari biasa, seperti hari-hari lainnya. Coba rasakan kebesarannya, kewibawaannya, kemuliaannya, demikian kira-kira Nabi ﷺ menganjurkan pada kita.

Hadirin rahimakumullah,
Kebesaran hari itu mestinya membawa dampak pada perilaku kita. Merasakan kebesarannya mendorong kita tertunduk malu di hadapan Allah atas pelanggaran-pelanggaran yang kita lakukan selama ini.

Tetapi sekarang, tampaknya, kebesaran dan kemuliaan hari raya Idul Adha seolah tak berbekas di hati kita. Kita semakin tidak merasakan kebesarannya. Mungkin kita melakukan ritual rutin pada hari itu: dengan melakukan shalat Idul Adha dan berkurban. Namun selebihnya, kita tidak merasakan apa-apa. Yang melanggar larangan tetap saja melanggar larangan. Yang mengabaikan perintah tetap saja tak peduli dengan perintah Allah.

Yang selama ini biasa mengambil hak milik orang lain secara tidak sah (entah dengan mencuri, menipu, korupsi dan semacamnya) tetap saja melakukan hal itu meski telah melewati hari nan besar itu. Yang biasa menindas orang lain, melecehkan kehormatan orang lain, tetap saja melanjutkan kebiasaannya, meski telah melewati hari nan besar. Idul Adha menjadi hambar bagi kita. Idul Adha menjadi tak banyak berarti bagi kita.Yang mencaci tetap mencaci karena merasa lebih hebat dan lebih baik. Berita-berita haokpun terus dilancarkan. Seakan hanya dirinya yang paling segalanya, padahal Allah yang lebih segalanya.
 
Mungkinkah ini semua yang telah membuat Allah murka dengan tak henti-hentinya menimpakan musibah kepada kita dan bangsa kita ini?

Hadirin sidang Id yang berbahagia,
Sering kali kita mendengar istilah “musibah” yang biasanya dilawankan dengan istilah “anugerah” atau “nikmat”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musibah berarti kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa; bisa juga bermakna malapetaka atau bencana. Sedangkan anugerah atau nikmat berarti pemberian atau karunia (dari Allah), atau enak, lezat, dan kesenangan. Secara umum kira-kira bisa ditarik kesimpulan bahwa anugerah berkenaan dengan hal-hal yang menyenangkan, sementara musibah berkaitan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan.

Secara umum, orang kemudian memaknai bencana dan wabah hampir selalu sebagai musibah. Hal tersebut sangat wajar karena peristiwa-peristiwa menyedihkan yang mengiringinya, seperti kehilangan anggota keluarga, kehilangan tempat tinggal, kehilangan harta benda, mengalami luka- luka, hingga kehidupan yang mendadak berubah menjadi serba-sulit: kekurangan makanan, air bersih, obat-obatan, sanitasi yang layak, dan lain sebagainya.

Secara lebih mendalam, sejatinya bencana bersifat relatif: bisa bermakna musibah, bisa juga justru merupakan anugerah (karunia dari Allah). Hal itu sangat tergantung pada diri seseorang dalam menyikapi bencana. Karena relatif, bencana bagi tiap orang memiliki sudut pandang berbeda-beda: bisa jadi adalah musibah bagi orang lain, namun anugerah bagi orang yang lainnya, tergantung cara dia merespons peristiwa itu. Dengan bahasa lain, bencana dan wabah adalah kiriman yang mengandung pelajaran, bukan hanya bagi yang terpapar wabah tapi juga yang tidak terkena wabah. Sekali lagi, pelajaran itu berlaku buat semua orang, entah yang terkena dampaknya ataupun tidak.

Kapan wabah itu menjadi musibah dan kapan wabah merupakan anugerah? Jawabannya sangat tergantung seberapa besar kita bisa mengambil pelajaran dari wabah itu dan berpengaruh positif pada diri seseorang, baik yang terpapar wabah itu atau yang sekadar menyaksikannya. Dalam kesempatan kali ini, khatib memaparkan setidaknya tiga pelajaran penting dalam peristiwa wabah atau pandemi Covid-19 ini :

Jamaah Idul Adha hafidhakumullâh,

Pelajaran pertama adalah muhâsabah atau introspeksi diri. Kita dianjurkan untuk mengevaluasi diri kita, apa saja kekurangan dan kesalahan yang perlu dibenahi. Bencana global “pandemi Covid-19” yang tengah menimpa bangsa ini adalah fenomena yang tidak bisa dikendalikan manusia. Ini bukti kelemahan manusia, dan seyogianya pandemi ini menyadarkan mereka untuk kian merendah serendahnya di hadapan Allah ﷻ. Bila pandemi ini disadari akibat kesalahan manusia, maka seharusnya pandemi ini sangat berdampak pada perubahan sikap kita menjadi lebih baik untuk bermuhasabah.

Muhasabah ini penting dilakukan baik oleh mereka yang menjadi korban maupun bukan korban. Sayyidina Umar bin Khattab pernah berkhutbah:


حَاسِبُواأَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسِبُوْفَاِنَّهُ أَهْوَنَ لِحِسَابِكُمْ 
Artinya: “Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab. Karena sesunguhnya hal itu akan meringankan hisabmu (di hari kiamat).”

Pesan dari pidato Sayyidina Umar sangat jelas bahwa kita dianjurkan untuk mengevaluasi diri sendiri, bukan mengevaluasi orang lain. Bagi korban Covid-19 adalah fase penting memeriksa dosa-dosa sendiri, tingkat penghambaan kepada Allah, pergaulan sosial, dan sikap terhadap lingkungan alam selama ini. Bagi mereka yang bukan korban, hal ini adalah peringatan bagi diri sendiri untuk kian menjaga perilaku dan sifatnya baik kepada Allah, sesama manusia, dan juga alam sekitar.

Sangat disesalkan bila ada orang yang kebetulan tak menjadi korban menuding bahwa Covid-19 yang menimpa saudara-saudaranya di lokasi tertentu merupakan azab atas dosa-dosanya. Apalagi jika tuduhan itu dikaitkan dengan kepentingan politik tertentu. Sikap yang demikian tak hanya bertentangan dengan prinsip muhâsabatun nafsi (evaluasi diri sendiri, bukan orang lain), tapi juga dapat mendorong mudarat baru karena bisa menyinggung perasaan para korban dan menunjukkan tidak  adanya  empati  kepada  korban.

Terkait  hal  ini, Imam Nawawi dalam kitab al- Adzkâr pernah membolehkan orang yang selamat dari wabah untuk mengucap syukur tapi sembari memberi catatan: harus dengan suara sangat pelan (sirr) agar tidak melukai perasaan mereka yang sedang mengalami penderitaan.

Pelajaran kedua adalah rasa syukur dan optimisme. Sikap ini berdasar pada hadits Rasulullah ﷺ:
 
عَنْ عَائِشَةَقَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ الله:لاَيُصِبَ المُؤْمِنَ شَوْكَةٌفَمَافَوْقَهَااِلاَّرَفَعَهُ الله بِهَادَرَجَةًوَحَطّ عَنْهُ بهاخَطِيْئَةً

Dari 'Aisyah, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: "Tidaklah seorang mukmin terkena duri atau yang lebih menyakitkan darinya kecuali Allah mengangkatnya satu derajat dan menghapus darinya satu kesalahan." (HR. Tirmidzi)

Dalam konteks ini, bersyukur bagi para korban adalah ridha atas wabah yang menimpanya dan menilai penderitaan saat ini adalah cara Allah melebur dosa-dosanya dan menaikkan kualitas kepribadiannya. Sebagaimana ujian akhir semester bagi siswa sekolah untuk naik ke semester berikutnya, Covid-19 merupakan ujian bagi para korban untuk bisa mendaki pada derajat yang lebih mulia.

Hadits tersebut merupakan cara Rasulullah memberikan optimisme kepada umatnya agar tidak larut secara terus-menerus dalam kesedihan, banyak mengeluh, apalagi sampai putus asa. Dalam penderitaan, kita mesti husnudh dhan (berprasangka baik) bahwa ada maksud khusus dari Allah untuk  meningkatkan  mutu  diri  kita,  baik  dalam ibadah (menghamba  kepada  Allah)   maupun muamalah (hubungan sosial).

Bagi mereka yang tak terpapar virus Covid-19, syukur dalam konteks ini mengacu pada karunia keamanan dari Allah kepada dirinya, sehingga tidak hanya bisa muhâsabah atas peristiwa yang disaksikannya tapi juga bisa beribadah dalam situasi yang lebih nyaman dibanding saudara- saudaranya yang terpapar virus Covid 19. Mereka juga harus belajar dari kesalahan-kesalahan dan optimis menatap perjalanan ke depan.

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,

Pelajaran ketiga adalah tentang ladang amal ibadah pasca pandemi nanti terutama bagi yang terinfeksi virus covid 19. Jika pandemi adalah ujian kenaikan derajat, maka kenaikan tersebut hanya   terjadi   bila   yang   bersangkutan   benar-benar   lulus   dari   ujian.   Pandemi merupakan wasilah bagi para korban yang isinya menuntut manusia untuk sabar, ikhtiar, tawakal, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah ﷻ. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn, sesungguhnya
 
kita semua adalah milik Allah dan sungguh kepada-Nya kita kembali. Kualitas kepribadian mereka sebagai hamba meningkat manakala “materi ujian” dapat dilalui dengan baik dan benar.

Bagi mereka yang tidak menjadi korban, pandemi adalah ujian untuk menunjukkan kepedulian kemanusiaan atas mereka yang sedang ditimpa kesulitan. Pertolongan berupa tenaga, pikiran, dana, harta benda, makanan, doa, dan lain sebagainya penting disalurkan. Syukur atas keselamatan diri kita dari terpaparnya virus covid 19 bisa ditunjukkan dengan kesediaan berbagi dan peduli kepada mereka yang membutuhkan uluran tangan. Bisa dengan menjadi relawan, donatur bantuan, atau keterlibatan lainnya yang dapat meringankan beban para korban.

 
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِمَاكَانَالْعَبْدُفِي عَوْنِ أَخِيْهِ
 

“Allah akan menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR Muslim)

Apabila kita mendengar kata hikmah di balik musibah, maka itu artinya terkait dengan sikap-sikap bijak kita dalam menyikapi musibah. Karena kata hikmah bermakna kebijaksanaan. Semoga pandemi Covid 19 yang merupakan bagian dari fenomena alamiah tak menimbulkan bencana baru dalam kehidupan spiritual kita. Wallâhu a‘lam bish shawâb

Khutbah II


اَللهُ أَكْبَرُ3× اَللهُ أَكْبَرُ4× اَللهُ أَكْبَرْكَبِيْرَوَالْحَمْدُللهِ كَثِيْرًاوَسُبْحَانَ الله بُكْرَةًوَأَصِيْلاًلاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُوَلِلّهِ اْلحَمْدُ
الحمد لله حمدا كثيرا كما امر. واشهدان لااله الا الله وحده لاشريك له اقراراً بربوبيته وارغاما لمن جحد به وكفر. واشهد ان سيدنا محمدا عبده ورسوله سيد البشر. اللهم فصل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله واصحابه المصابيح الغرر. ما اتصلت عين بنظر واذن بخبر. من يومنا هذا الى يوم المحشر. اما بعد

 

فيا ايها الناس اتقوا الله فيما امر. وانتهوا عما نهى عنه وحذر. واعلموا ان الله تبارك وتعالى امركم بأمر بدأ فيه بنفسه وتنى بملا لكته المسبحة بقدسه. فقال تعالى ولم يزل قائلا عليما. ان الله وملائكته يصلون على النبي. يا ايها الذين امنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صل وسلم على سيدنان محمد جد الحسن و الحسين وعلى اله واصحابه خير اهل الدارين خصوصا على اول الرفيق. سيدنا ابي بكرن المتديق. وعلى الصادق المصدوق. سيدنا ابی حفص عمر الفاروق. وعلى زوج البنتين سيدنا عثمان ذي النورين. وعلى ابن عمه الغالب سيدنا علی ابن ابي طالب. وعلى الستة الباقين رضي الله عنهم اجمعين. وعلى الشريفين سیدی شباب اهل الدارين. ابي محمد الحسن وابي عبد الله الحسين. وعلى عميه الفاضلين على الناس. سيدنا حمزة وسيدنا العباس. وعلى بقية الصحابة اجمعين. وعلى التابعين وتابع التابعين لهم باحسان الى يوم الدين. وعلينا معهم برحمتك ياارحمين.

اَللهُمَّ اغْفِرلِلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الْاَحْيَاءِمِنْهُمْ وَالْلاَمْوَاتِ. اَللهُمَّ اَعِزَّاْلأِسْلآَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وأَذِلَّ الشَّرِكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْعِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ وَانْصُرْمَنْ نَصَرَالدِّنَ.وَخْذُلْ مَنْخَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ وَدَمِّرْاَعْدَاءَالدِّنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
اَللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّااْلبَلَاءَوَالْوَبَاءَوَالزَلَازِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوءَالفِتْنَةِ وَالْمِحَنَ مَاظَهَرَمِنْهَاوَمَابَطَنَ عَنْ بَلَدِنَااِنْدُوْنِيْسِيَّاخَاصَّةًوَسَائِرِالْبُلدَنِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةًيَارَبَّ الْعَلَميْنَ
اَللهُمَّ أَصْلِحْ لَنَادِيْنَنَاالَّذِيْ هُوَعِصْمَةُأَمْرِنَاوَأَصْلِحْ لَنَادُنْيَانَ الَّتِيْ فِيْهَامَعَاشُنَاوَأَصْلِحْ لَنَااخِرَتناالَّتِيْ فِيْهَامَعَادُنَاِوَاجْعَلِ الْحَيَاةَزِيَادَةًلَنَا فِ كُلِّ خَيْرِوَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةًلَنَامِنْ كُلِّ شَرِّ
اَللهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا،وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنَنَا،وَاهْدِنَاسُبُلَ السَّلاَمِ،وَنَجِّنَامِنَ الظُلُمَاتِ اِلَى النُّورِ،وَجَنِّبْنَاالفَوَاحِشَ مَظَهَرَمِنْهَاوَمَابَطَنَ،وَبَارِكْ لَنَافِيْ أَسْمَاعِنَاوَاَبْصَارِنَاوَقُلُوْبِنَ وَاَزْوَاجِنَاوَذُرِّيَّاتِنَا،وَتُبْ عَلَيْنَا،اِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ الهمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَاالإيْمَانَ وَزَيِّنْهُ فِيْ قُلُوْبِنَاوَكَرِّه إِلَيْنَاالْكُفْرَوَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَنَاوَاجْعَلْنَامِنَ الرَّاشِدِيْنَ اَللهُمَّ ارْزُقْنَاالصَّبْرَعَلَى الْحَقِّ وَالثَّبَاتَ عَلَ اْلأَمْرِ وَالعَاقِبَةَالحَسَنَةَوَالْعَافِيَةَمِنْ كُلِّ بَلِيَّةٍوَالسَّلاَمَةَمِنْ كلِّ بِرِّوَالْفَوْزَبِالجَنَّةِوَالنَّجَاةَمِنَالنَّارِيَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ رَبَّنَااَتِنَافِيْ الدُّنْيَاحَسَنَةًوَفِيْ اْلاَخِرَةِحَسَنَةًوَقِنَاعَذَابَ النَّارْ
عِبَادَاللهِ!اِنَّ اللهَ يأْمُرُنَابِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وإِيْتَاءِذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِالْفَحْشَاءِوَالْمُنْكَرِوَالْبَغْي يَعِطُّكُمْ لَعَلَكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُواللهُ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُاللهِ اَكْبَرْ

 


Khutbah Terbaru