• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 24 April 2024

Opini

KOLOM PROF BAMBANG

Ansor, Khudai Khidmatghar dan Masa Depan Indonesia

Ansor, Khudai Khidmatghar dan Masa Depan Indonesia
Riyanto (kiri) dan Abdul Gafar Khan (kanan) dua pejuang kemanusiaan (NUJO)
Riyanto (kiri) dan Abdul Gafar Khan (kanan) dua pejuang kemanusiaan (NUJO)

Nama Anshor mengingatkan saya pada dua hal, satu Riyanto yang syahid saat menjaga kedamaian negeri ini (2000) dan satu lagi Abdul Ghaffar Khan pendiri Khudai Khidmatghaar di Pusthun, India (1929). Kedua nama ini menampilkan pribadi Muslim yang anti-kekerasan dalam melakukan perubahan sosial.

 

Riyanto, kita tahu, adalah seorang anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama (NU yang wafat syahid demi menyelamatkan ratusan nyawa dari ledakan bom. Saat itu malam Natal, 24 Desember 2000, kebaktian digelar di Gereja Sidang Jemaat Pentakosta di Indonesia (GSJPDI) Eben Haezer di Mojokerto, Jawa Timur. Riyanto bersama anggota Banser lain berjaga di sekitar gereja. Tujuannya pertama, menjaga perdamaian. Tujuan kedua, tak ingin umat Islam mendapat stigma sebagai  umat yang melanggengkan kekerasan untuk menolak keragaman. 

 

Pada saat itu, Riyanto menemukan bungkusan hitam. Setelah dicek, ternyata menyerupai bom. Riyanto segera membawa bungkusan itu dan membuangnya ke tempat sampah, ia tak ingin bom itu meledakkan gereja yang dipenuhi jemaat yang sedang beribadat. Riyanto masih cemas. Lokasi tempat sampah masih dekat dengan gereja, ia pun mengambil kembali bom itu untuk membuangnya ke lokasi lebih jauh. Saat itulah, tiktok ledak berhenti, bom meledak menghancurkan tubuh dan bangunan di sekitarnya.

 

Riyanto menjadi martir dan penegas nama Anshor: penolong. Seperti namanya, Ansor memang dibangun untuk mendorong para pemuda menjadi penolong.  Pada teks Mars Ansor terbaca semangat untuk bangkit: Tiada gentar dada ke muka/Bela agama bangsa dan negeri. Riyanto pasti berulangkali menyanyikan mars ini. Ia meyakini Ansor harus maju satu barisan untuk menghadapi pelbagai rintangan: Ansor maju satu barisan/Seribu rintangan patah semua. Riyanto mungkin ingat baris-baris mars ini: Tegakkan yang adil hancurkan yang dzalim. Karena kedzaliman tanpa agama, bisa menghancurkan semua orang tanpa pandang agama. Bom itu adalah kedzaliman yang harus dihancurkan, seraya Riyanto berlari menghancurkan yang dzalim, yaitu bom itu sendiri.

 

Riyanto telah wafat sebagai martir. Di tenggorokannya masih tersisa lirik dari Mars: Makmur semua lenyap yang nista. Sahabat-sahabat Banser selalu mendengarnya. Oleh karena itu mereka masih berbaris tanpa rasa takut, mendapatkan bungkusan hitam yang bisa meledak kapan saja. Sahabat-sahabat Riyanto masih terus berbaris, walaupun dibully macam-macam karena menjaga rumah ibadah agama lain. Semuanya masih tegak berdiri karena mereka ingin: Makmur semua .”

 

Kisah Abdul Ghafar Khan agak mirip. Khan adalah pemuka agama dari suku Pusthun yang selama penjajahan Inggris terus-menerus berperang dan gagal dengan korban yang banyak. Khan tak mau itu terus terulang. iIa memimpikan umat Islam Pusthun yang cerdas, arif, dan penuh keuletan dalam memperjuangkan kemerdekaan dan menolak imprealisme. Khan berkeliling dari satu rumah ke rumah lain untuk menyerukan pembaruan, 

 

“Perhatikanlah negara-negara maju di dunia. Apa kalian pikir kemanusiaan mereka jatuh begitu saja dari langit? Tidak. Sama seperti kemakmuran kita juga tak akan jatuh dari surga. Rahasia kemakmuran mereka adalah mereka memiliki pria dan wanita yang mengorbankan kemewahan, kesenangan, dan kenyamanan mereka demi kemakmuran bangsanya. Kita tak memiliki orang-orang semacam itu di antara kita. Kita hanya mencari keuntungan pribadi dan membiarkan negeri ini menjadi milik setan. Di negeri ini setiap orang hidup di dunia mimpinya masing-masing—seperti binatang. Dapatkah kita menyebut diri kita ciptaanNya yang paling sempurna, jika apa yang kita lakukan tak lebih daripada binatang?” (Eknath Easrawan, Non-Violent Soldier of Islam, 2013)

 

Khan lalu mendirikan organisasi para pemuda Khudai Khidmatghar (Pelayan-pelayan Tuhan). Para pemuda bergabung dan berlatih mendisiplinkan diri bersama-sama. Relawan diorganisir dan dilatih secara militer, diberi pangkat jenderal, kolonel, kapten. Mereka bahkan mengenakan kemeja seragam dalam nuansa cokelat atau merah tua.  Mereka semua berjanji, 

 

“Aku seorang Khudai Khidmatgar, dan karena Tuhan tidak membutuhkan pelayanan, dan melayani ciptaanNya berarti melayaniNya, aku berjanji akan melayani kemanusiaan dalam nama Tuhan. .Aku berjanji akan bersikap sopan dan baik serta tidak menuruti gaya hidup santai. Aku berjanji akan mengabadikan setidaknya dua jam sehari untuk karya sosial”.

 

Anggota-anggota Khudai Khidmatgaar dilatih dan mendapatkan doktrin pelayanan kemanusiaan. Mereka diajari Khan untuk menggunakan senjata sabar dalam menghadapi agresi kolonial Inggris, 

 

“Aku akan memberi kalian senjata yang tidak akan dapat dilawan oleh polisi dan tentara. Senjata itu adalah senjata Sang Nabi, tetapi kalian tidak memahaminya. Senjata itu adalah kesabaran dan kebenaran. Tak ada kekuatan apa pun di dunia ini yang dapat melawannya.” Atas dasar kesabaran ini, Khan mengajari kadernya untuk tidak melakukan kekerasan, hanya mengalir seperti Sang Nabi di Makkah. 

 

Lalu di ujung pelatihan, Khan berpesan, “Ketika kalian kembali ke desa, katakanlah kepada kaummu bahwa ada pasukan Tuhan dan senjatanya adalah kesabaran. Mintalah kepada kaummu untuk bergabung dengan pasukan Tuhan tersebut. Bertahanlah dalam segala kesusahan. Jika kalian melatih kesabaran, kemenangan akan menjadi milik kalian.” 

 

Setelah pelatihan, pasukan Tuhan itu melakukan karya sosial, ada yang mengajar penduduk, membantu meringankan pekerjaan penduduk, membacakan buku, atau sekadar berjaga di kampungnya masing-masing.  

 

Pada 23 April 1930, Khan memimpin gerakan Khudai Khidmatgar dengan seruan untuk meletakkan senjata dan menggunakan perlawanan sipil untuk menantang kekuasaan Inggris. Gerakan besar-besaran ini melibatkan 100.000 orang Pusthun untuk memprotes kebijakan kolonial Inggris. Mereka melawan dengan berbaris. Mereka ditembaki namun tetap berbaris. Saat satu terluka dan gugur di barisan depan, barisan kedua menggantikannya. Mereka benar-benar bersabar menghadapi kekerasan dengan kesabaran a la Sang Nabi. Perlawanan itu membuat 800 pasukan Inggris merasa malu, lalu berhenti dan memenuhi tuntutan mereka.

 

Ansor bagi saya adalah Khudai Khidmatghar Indonesia. Saat pasukan Tuhannya Khan sudah tak ada lagi saat ini, saat tanah Pusthun (Pakistan, Afghanistan) menjadi tanah konflik, ada Khudai Khidmatgar yang tumbuh di Indonesia, Ansor namanya. 

 

Kisah Khudai Khidmatgaar ini pernah saya ceritakan pada Deni A Haidar (Ketua Ansor PW Jawa Barat), dan ia merasa ada kesamaan. Maka, pada perayaan 1 Abad NU 2023 ini, Ansor Jawa Barat menggerakkan kadernya untuk membersihkan 10.000 mesjid di Jawa Barat. Ansor Jawa Barat menunjukkan bahwa  mereka adalah Khudai Khidmatghar-nya Indonesia. Dengan kegiatan ini, Ansor telah menyebar dan berkhidmat nyata untuk negara ini. 

 

Pada usianay yang ke 89 tahun ini, Ansor dapat terus menjadi pelayan Tuhan yang menciptakan kedamaian di negeri ini. Apalagi jika ada gerakan dua jam sehari bagi anggotanya untuk ikut aktif berperan dalam pembangunan nasional agar cita-cita kemerdekaan bisa terwujud. Di antaranya mencakup prinsip keadilan, kemakmuran kemanusiaan, bermartabat, dan mendapatkan ridha dari Allah SWT. 

 

Seperti Khudai-nya Khan, senjata Ansor adalah kesabaran dan penyerahan diri kepada Allah. Itu bukan mimpi, kader Ansor telah membuktikan itu. Riyanto hanya salah satunya saja. Jika para pemuda yang penuh kesabaran menyebar ke seluruh Nusantara ini, masa depan NKRI akan terus terjamin.

 

Panjang  umur pengabdian. 


Bambang Qomaruzzaman, guru besar Uin SGD Bandung dan Ketua Lakpesdam PWNU Jabar
 


Editor:

Opini Terbaru