• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Opini

Akidi Tio, Pandemi, dan Filantropi Kemanusiaan

Akidi Tio, Pandemi, dan Filantropi Kemanusiaan
Ilustrasi
Ilustrasi

Oleh KH Ucup Pathudin Al Maarif

Saya agak terlambat mendapatkan informasi di beberapa pranala berita daring. Tepatnya, baru Senin 26 Juli 2021 sore saya membaca berita, tentang ada seorang miliuner dermawan menyumbangkan 2 triliun untuk penanggulangan Covid-19. 

Luar biasa. Itu saja respons sederhana saya, sambil merenungkan salah satu pepatah Arab, ketika dulu mondok. Fâqidus sya-i lâ yu’thîhi, yang tidak memiliki apa-apa, tidak akan bisa memberi apa-apa. Dipikir-pikir ulang, sampai pada kesimpulan, ouh bukan soal kepemilikan yang sifatnya physically, tapi soal intension (niat) berbaginya yang mahal. Karena miliuner Akidi Tio yang dermawan itu banyak. Yang berkelebihan seperti orang pengusaha Aceh itu berserakan. Hanya yang mau menyumbangkan laik dirinya, ini yang masih jarang. Atau bahkan juga banyak, hanya saja saya tidak tahu.

Selain bangga saya turut mendoakan. Semoga keluarga Akidi Tio dikaruniai keberkahan atas sisa kekayaan yang ada, dan lipat ganda pahala meliputinya atas derma yang dikeluarkannya. Amien.
 
Pandemi dan Filantropi
Saya sebenarnya sudah jarang membaca berita-berita tentang Covid-19. Data yang terpapar, grafik yang positif, jumlah yang isoman, akumulasi yang pulih, dan sejenisnya telah membuat ruang WA saya penuh. Yang dilakukan hanya “klik, klik” saja. Tanpa mau membacanya secara atomik. Tidak membuat masyarakat yang kesulitan mendapatkan solusi, tidak membuat masyarakat yang menjerit menjadi terobati. Buang-buang waktu saja.

Saya lebih senang membaca posting-an dan berita yang membangkitkan harapan. Memotivasi. Dan, menunjukkan empati dengan cara menyumbangkan energi filantropi. 

Pandemi yang telah menyerang berbagai sendi saat ini, harus dilawan dengan memenuhi jagat berita dengan harapan, dengan inisiasi kebaikan, dengan pionir solusi. Bukan malah provokasi yang ujung-ujungnya cari nasi gratis dari berita basi dan nir-empati. Saya lebih senang dengan sikap dan perilaku yang menunjukkan apa yang dimaksud dengan pepatah “dari pada mengutuk kegelapan, lebih baik mulai menyalakan lilin”. Dari pada mengutuk dan sumpah serapah terhadap keadaan—apalagi menuduh konspirasi dan lain—lain kepada orang lain—lebih baik mulai menawarkan solusi.

Filantropi. Ya, itulah yang harus kita bangkitkan dan kita pompa hari ini. Pandemi ini tidak akan pernah menemukan kata final, kecuali kita menghidupkan nilai kecintaan akan kemanusiaan dengan mendermakan apa yang kita miliki demi membantu orang lain. Nabi Agung Muhammad SAW., telah mengabarkan 14 abad yang lalu, bahwa nilai kecintaan akan kemanusiaan itu menjadi pranata keselamatan dan kedamaian. Wa ahibba lin nâsi mâ thibbu linafsika takun musliman. Cintai sesama manusia selayaknya engkau mencintai diri sendiri, niscaya engkau akan hidup dalam keadaan selamat penuh kedamaian. Ah, indah sekali ini.

Apa yang dilakukan keluarga Akidi Tio, dalam skala dan yang berbeda, banyak dilakukan oleh komponen bangsa ini. Hanya perlu melakukan penataan sebaran sasaran saja, nampaknya. Ada banyak pemimpin daerah yang menyumbangkan gajinya untuk menambah energi penanganan Covid-19. Ada kalangan selebriti, ada YouTuber, ada selebgram, dan sebagainya. Semua mengambil peran dalam menghadapi pandemi ini. Andai saja ya, semua kegiatan ini terkoneksi dengan basis data yang bisa diakses dengan mudah, nampaknya tidak akan terjadi “nu nabeuh nabeuh, nu ngampar ngampar; nu seubeuh seubeuh nu lapar-lapar”. Barangkali ini ya, yang dimaksud dalam pesan Surat Al-Hasyr ayat 7, kay lâ yakûna dûlatan bayna al-aghniyâ-i minkum, agar potensi kebahagiaan itu jangan hanya dimonopoli dan beredar di antara orang-orang beruntung saja di antara kamu.
  
Filantropi dan Nilai Eksistensi Kemanusiaan
Menjelaskan bagian ini, saya ingin memulai dengan postulat sederhana dalam filsafat perennial atau filsafat keabadian. Begini, eksistensi sesuatu akan abadi jika dirasakan keberadaan dan kemanfaatannya oleh yang membutuhkannya. Begitu kira-kira sederhananya. 

Nah, kemanusiaan kita pun, eksistensinya akan dirasakan memiliki nilai, jika memberikan kemanfaatan kepada yang membutuhkan kita. Sejauh kemanfaatan dirasakan, sejauh itu pula kita akan abadi. Dan keabadian dalam bentuk panjang umur eksistensi diri, salah satunya adalah melalui silaturrahim. Menyambunghubungkan nilai kasih sayang. Dengan berbagi, empati, peduli dan berbagai derivasinya. Sydney Journard mencatat pentingnya silaturrahim (networking) bahkan dalam membangun kesejahteraan. Menurutnya, kesejahteraan dalam kehidupan, muncul dari jalinan hubungan baik dengan orang lain. 

Islam sebenarnya punya pranata filantropi yang sangat luar biasa. Zakat, infak, sedekah, hibah, hadiah, wakaf, dan sederet pranata lainnya. Mari maksimalkan semua itu. Para pengelola pranata itu, perlu menggeser lebih besar dan serius dalam model berpikir dan bekerja. Bukan hanya dari kecakapan mengumpulkan, tapi di saat yang sama diimbangi dengan daya jangkau sasaran yang lebih luas.

Rasanya berdosa jika publikasi pencapaian hasil pengumpulan zakat dan sejenisnya dalam jumlah yang banyak, sementara di sekeliling kantornya, masih ada yang merintih kesakitan akibat menahan dahaga dan lapar. Na’ûdzubillâhi min dzâlika.

Mari perbanyak kepedulian kita. Mari segera berhenti berdebat untuk hal-hal yang kurang produktif dan solutif. Rasanya lebih mashlahat jika lebih concern pada upaya menghadirkan, apa yang disebut Daniel Gilbert sebagai, kebahagiaan sintesis. Yakni kebahagiaan yang lahir karena pilihan yang disengaja; bahagia bersama Tuhan. Bukankah Tuhan bersama dengan orang yang hatinya remuk redam: “Anâ ‘indal munkasirati qulûbuhum: Aku bersama orang-otrang yang hatinya remuk”.

Para pejuang garda depan, para penyintas, anak yatim karena ditinggal orang tua, para janda dan duda karena ditinggal pasangan, dan sebagainya, boleh jadi mereka adalah para pemilik “hati yang remuk” itu. Hadirlah bersama mereka.

Kuy, mari kita mulai dari yang hal sederhana yang bisa dilakukan, meski sebatas menyapa untuk saling membahagiakan. Mari mulai dari inisiatif diri sendiri tanpa menunggu orang lain. Mari memulai dari detik ini, tanpa menunggu nanti. Dengan demikian, pandemi ini akan segera bisa kita atasi. Amin.

Wallâhu a’lam bi al-shawâb.

Penulis adalah Sekretaris Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat, berkhidmah sebagai Kepala Penyelenggara Zakat dan Wakaf pada Kementerian Agama Kantor Kota Bandung


 


Opini Terbaru