• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Abdul Aziz al-Tsa’alabi, Pan Islamisme, dan Barat

Abdul Aziz al-Tsa’alabi, Pan Islamisme, dan Barat
Kh imam jazuli (memakai sarung) pimpinan ponpes Bina insan Mulia
Kh imam jazuli (memakai sarung) pimpinan ponpes Bina insan Mulia

Catatan Perjalanan KH. Imam Jazuli, Lc. MA


Kamis (22/12/2022) kemarin, paling berkesan bagi penulis. Dialog tentang tokoh penting di Tunisia alumni Universitas Zaitunah tak kunjung usai. Penulis berhari-hari diskusi dengan Gus Dubes Zuhairi Misrawi dan Dr. Ahmad Shaleh Amin ( Mahasiswa Indonesia alumni Zaitunah) termasuk tentang Abdul Aziz al-Tsa’alabi.


Umumnya kita sering disuguhkan dengan cerita sejarah Pan Islamisme tumbuh pada Perang Dunia II (April 1936). Kala itu muncul gagasan politik untuk menyatukan dunia Islam, yang tertuang dalam Al-A'mal al-Kamilah karya Jamaluddin al-Afghani. Pan Islamisme ingin mempersatukan umat muslim di bawah bendera kekhalifahan.


Apa benar Jamaluddin al-Afghani pencetus paham Persatuan Umat Muslim, khususnya di tanah Arab? Tidak. Akar-akar pemikiran Pan Islamisme sejatinya lahir dari Abdul Aziz al-Tsa’albi, intelektual Tunisia sekaligus alumni Universitas Zaitunah.


Abdul Aziz al-Tsa’alabi lahir di kota Tunis, Tunisia, dari keluarga berkebangsaan Aljazair pada 1876. Kakek Abdul Aziz ini bernama Abdurrahman al-Tsa'abi. Ia pindah ke Tunisia pada tahun 1830, setelah melarikan diri dari Aljazair karena diburu oleh kolonial Perancis.


Sampai tahun 1889, Abdul Aziz belajar menghafal al-Qur'an. Baru pada tahun 1890 sampai 1896, ia menempuh pendidikan di Universitas Zaitunah. Ketika Madrasah Khalduniah didirikan pada 22 Desember 1896, Abdul Aziz al-Tsa'alabi ikut mengenyam pendidikan di sana.


Abdul Aziz al-Tsa’alabi melanjutkan kiprah perjuangan kakeknya Abdurrahman al-Tsa’alabi sebagai pejuang anti-kolonial. Ketika Prancis menyerbu Tunisia dengan tiga puluh ribu pasukan pada 1881, Abdul Aziz al-Tsa'alabi bersama para alim ulama Tunisia terjun ke medan perang. Tujuannya adalah memerdekakan tanah air mereka dari penjajahan.


Dari tahun 1895 sampai 1897, Abdul Aziz al-Tsa'alabi ikut mendirikan Partai Nasionalis Islam (al-Hizb al-Wathani al-Islami). Ia juga banyak melahirkan karya tulis yang berisi seruan melawan penjajahan. Karena tekanan keras pemerintah kolonial, al-Tsa'alabi terpaksa melarikan diri dari negeri Tunis. Ia menghabiskan waktu 4 tahun di perantauan.


Tahun 1906, al-Tsa'alabi kena fitnah atas provokasi kolonial. Setelah rakyat Tunisia sadar akan tipu daya kolonial, mereka pun menyesal dan melawannya. Pada tahun 1912, Perancis didepak dari Tunisia. Rakyat Tunis juga sempat mendorong hukum mati al-Tsa'alabi yang dianggap bersekongkol dengan kolonial.


Dari tahun 1920-1923, gerak langkah diplomatik al-Tsa’alabi tidak disukai oleh kaum muda Tunisia yang ingin merdeka sepenuhnya dan secepatnya. Kasus ini mirip dengan konflik kaum muda dan kaum tua menjelang kemerdekaan Indonesia, sehingga Soekarno harus diculik.


​​​​​​​Abdul Aziz al-Tsa’alabi lebih condong pada gaya politik kaum tua dengan menempuh jalur diplomatik. Karenanya, ia banyak menghabiskan usianya dalam perjalanan. Pada tahun 1898, ia pergi ke Tharablisi, kemudian Benggasi, lalu menuju Astana melalui Yunani dan Bulgaria.


​​​​​​​Abdul Aziz al-Tsa’alabi juga berhubungan dengan Daulah Turki Usmani untuk menjelaskan kondisi negara Tunisia. Setelah dari Turki, ia melanjutkan perjalanan ke Mesir dengan tujuan serupa, mencari dukungan politik. Baru pada tahun 1902, ia kembali ke Tunisia. Ini akhir perjalanan periode pertamanya.


Dari 1923 sampai 1937, Abdul Aziz al-Tsa'alabi melakukan perjalanan periode keduanya, mulai dari Mesir, Suriah, Iraq, Hijaz, India, hingga ke Indonesia. Ia juga menghadiri Muktamar Palestina tahun 1930 dan menjadi anggota Tanfidziahnya. Tujuannya tetap sama, mencari dukungan internasional untuk negaranya, Tunisia.


​​​​​​​Abdul Aziz al-Tsa’alabi patut dicatat tidak saja sebagai politisi melainkan juga sebagai intelektual. Buah pemikirannya bisa dilihat dari berbagai karya tulis yang dihasilkan. Beberapa karyanya antara lain: Tarikh Syimal Afriqiya, Tarikh al-Tasyri' al-Islami, Falsafah al-Tasyri' al-Islami, Tunis al-Syahidah, al-Kalimah al-Hasimah, dan lainnya.


Ada tiga pokok pemikiran Abdul Aziz al-Tsa'alabi. Pertama, tentang pendidikan dan perbaikan kualitas umat. Ia menentang kejumudan dan mendorong pembaharuan, termasuk memederkakan negaranya. Ia mendorong generasi muda muslim mampu berkiprah di berbagai bidang kehidupan, sosial, politik, ekonomi, pendidikan, keagamaan dan lainnya. 


Dalam pendidikan, Abdul Aziz al-Tsa’alabi mengedepankan pada perbaikan diri sendiri sebelum perbaikan umat. Dengan dalil al-Qur’an bahwa Allah tidak akan mengubah nasib sebuah kaum sebelum mereka mengubah diri mereka sendiri. Dalam pendidikan, al-Tsa'alabi juga mendorong profesionalisme, di mana seseorang memiliki kepakaran dalam satu bidang ilmu tertentu.


Kedua, pandangan tentang dunia Barat. Menurut Abdul Aziz al-Tsa'alabi, Barat itu bangkit di detik-detik akhir saat umat muslim tenggelam. Andai bukan karena kontribusi peradaban Timur, maka Barat tidak akan mengenal apapun, baik agama maupun filsafat. Hari ini Barat telah menodai kontribusi umat dan peradaban Timur.


Dalam rangka kebangkitan umat dan peradaban Timur, maka sudah semestinya segala hal positif dari dunia Barat harus diambil, baik di bidang politik, ilmu pengetahuan, militer, keorganisasian, etika, empirisisme-materialisme, dan lainnya. Semua hal positif dari Barat berguna untuk kebangkitan peradaban Timur.


Ketiga, tentang keumatan. Abdul Aziz al-Tsa'alabi tidak memiliki pandangan sempit yang hanya mengedepankan kepentingan bangsa dan negara Tunisia. Sebaliknya, ia ingin kebangkitan seluruh umat muslim. Misalnya, pemikiran Abdul Aziz al-Tsa'alabi ini menginspirasi bangsa Libia untuk melawan kolonialisme Italia pada tahun 1911.


Al-Tsa'alabi juga mendorong Libia untuk meningkatkan bidang militer, materi, dan nilai-nilai lainnya. Tidak saja Libia, Al-Tsa’alabi juga menjadi anggota musytasyar pertama mufti Palestina, Amin Husaini. Abdul Aziz al-Tsa'alabi menjelaskan langkah-langkah politik dan mendorong bangsa Palestina untuk mempersiapkan segala persiapan melakukan jihad demi kemerdekaan dari kolonial Ingris dan Israel.


Abdul Aziz al-Tsa’alabi wafat pada Oktober 1944 dalam usianya yang ke-70 tahun. Namun, jejak pemikirannya untuk menyatukan umat muslim di seluruh dunia, memerdekakan diri dari penjajahan Barat, dan berjuang meningkatkan kualitas peradaban Timur, akan selalu bergema.


Gagasan-gagasan mulia itu tidak akan pernah padam sepanjang zaman. Karenanya, kunjungan penulis ke Universitas Zaitunah mengobarkan kembali spirit dalam dada yang mulai padam. Pemikiran tokoh-tokoh alumni Zaitunah selalu abadi dan kontekstual.
 

Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.


Opini Terbaru