Opini KOLOM PROF BAMBANG

Abad Kedua NU

Jumat, 23 Juni 2023 | 08:00 WIB

Abad Kedua NU

Abad Kedua NU (Foto: NU Online)

“Selamat Datang di Abad Kedua NU” begitulah salam khas yang dilontarkan Gus Yahya mulai pada perayaan satu abad NU.  Apa maksudnya? Apa konsekuensinya?


Salam ini menarik, dari salam ini semua orang seperti memasuki satu ruang dan waktu yang baru dan berbeda. Nama ruang-waktu baru itu adalah “Abad kedua NU”. Ruang-waktu baru itu, tentulah memiliki kekhasan tertentu, tantangan dan peluang baru yang sekaligus juga membutuhkan kompetensi baru serta tak bisa dimasuki bagi yang lemah dalam kompetensi tertentu. Maka, ucapan “selamat datang” seperti sebuah peringatan, “hati-hati yaa,” atau “siapkan kompetensi barumu, ini ruang-waktu baru” atau “cara lamamu itu gak bakal laku di ruang-waktu baru lagi, siap-siap yaa”.


Yang menarik ruang-waktu itu, ruang-waktu baru. Semua orang, semua jamaah NU, adalah warga baru. Para kiai dan sesepuh NU dan anak-anak muda bahkan anak-anak generasi Z adalah warga baru, tak ada yang lebih tahu dari yang lain. Para kiai dan sesepuh tentu saja memiliki kompetensi yang lebih, namun ruang-waktu baru ini punya mekanisme dan tantangan baru yang tak mudah dipahami. 


Sebagai ilustrasi kita bisa buat qiyas dari dunia digital sebagai dunia komunikasi baru. Ada istilah mengenai “penghuni utama” (citizen) bagi generasi muda yang sudah dari lahir mengenali teknologi digital, dan ada “imigran” bagi generasi di atasnya yang baru saja menggunakan teknologi digital. Ada anggapan bahwa citizen lebih tahu dan siap daripada para imigran, karena itu para imigran harus belajar pada citizen. Kenyataannya tidaklah demikian, citizen dan imigran sama-sama baru. Bisa jadi secara teknis, para citizen lebih mengenal teknik digital namun pada prinsipnya citizen juga kebingungan menghadapi dunia digital. Para citizen tak memiliki panduan dari generasi sebelumnya cara menghadapi ruang-waktu baru ini, jadi mereka juga trial and error. Terlebih lagi para imigran, mereka tak menguasi teknik digital dan hanya mengandalkan kompetensi lama. Simpulnya, citizen dan imigran sama-sama warga baru yang harus menyesuaikan diri. 


Di ruang-baru “Abad Kedua NU” ini juga logikanya sama, semuanya warga baru. Tua-muda harus menyesuaikan diri dengan aturan main baru dan tantangan baru. Tua-muda sama-sama gagap, sama-sama harus saring dulu sebelum sharing, sama-sama meraba-raba jalan. 


Untuk memudahkan mari kita deskripsikan jenis kelamin ruang-waktu baru Abad Kedua NU ini. Pertama, ruang-waktu baru itu adalah ruang-waktu digital. kedua, ruang-waktu digital ini menciptakan tata-masyarakat baru dan tata-dunia baru. 


Ruang-waktu digital sangatlah baru. Semua yang jauh didekatkan oleh teknologi. Dunia seperti dilipat. Semua pengetahuan, baik dan buruk, terkumpul menjadi satu dalam genggaman. Data dan informasi, bahkan beberapa pengetahuan sudah diproduksi oleh teknologi AI. Beberapa pekerjaan manusia sudah digantikan oleh teknologi. Tak hanya penjaga tol, bahkan dokter dan ustadz sudah digantikan oleh teknologi digital. Lalu apa sisanya bagi manusia? Inilah masalah di abad kedua NU. 


Dulu Peter Drucker (mbahnya Ilmu Manajemen) pernah meramal bahwa yang dibutuhkan di masa depan adalah knowledge worker, pekerja pengetahuan, dan akan hilanglah manual worker, pekerja yang mengandalkan tenaga. Sekarang ramalan itu terbukti. Lebih dari ramalan Drucker, pekerja pengetahuanpun akan segera tergantikan oleh teknologi Digital. Chat GPT dan sejenisnya kini sudah bisa membuat artikel jurnal ilmiah, lukisan, analisa kebijakan, aransemen music, dan kerja kreasi pengetahuan lainnya. Di depan sana, bisa jadi semua aktivitas mengkreasi knowledge dapat tergantikan oleh teknologi AI. Ini tantangan baru di Abad kedua NU


Kedua, dunia saat ini yang sudah dikerutkan oleh teknologi AI menciptakan tata dunia baru. Covid 19 selama 3 tahun mengajarkan bahwa dunia ini benar-benar global village, kampong global. Apapun yang terjadi di satu sudut dunia, akan berpengaruh dan menulari serta jadi masalah untuk seluruh dunia. Covid bermula di Wuhan lalu menular dan membuat masalah pada semua orang di dunia ini. Dalam situasi ini tata dunia mencari konfigurasi baru. 

Abad kedua NU ada dalam pusaran konfigurasi baru itu. Cara-cara lama tak bisa serta merta bisa diandalkan, harus direkonfigurasi pula. Merujuk Ziauddin Sardar, dalam Post Normal Era, saat data, informasi, dan knowledge sudah diambil alih oleh teknologi IA, yg tersisa hanya wisdom (kearifan) yg didapat dari tradisi guyub komunal. Kalau hipotesa Sardar ini benar, model yg dikembangkan Gus Ulil di facebook atau video youtube Gus Baha dapat jadi jalan keluar. 


Namun itu belum cukup. Dunia baru belum terbentuk, masih dalam konfigurasi.NU harus terlibat di dalam rekonfigurasi itu.  Dulu Mbah Hasyim dan Mbah Wahab merumuskan NU untuk bisa ikut ambil bagian dalam konfigurasi relasi umat islam dengan dunia baru industri 3.0. Saat ini NU harus juga terlibat dalam rekonfigurasi tata dunia industri 4.0.


Maka ucapan "Selamat datang di abad kedua NU" bukanlah sekadar ucapan biasa. 
Saat ini NU telah menegaskan perlunya ummat Islam melupakan mimpi khilafah dan mengikhtiarkan islam rahmatan lil alamin melalui PBB.  Melalui Fiqh Peradaban,NU mendorong ummat islam dunia menghentikan mimpi khilafah dan fokus pada masalah penting lainnya seperti krisis pangan global, pandemi global, perang nuklir, krisis moral di dunia yg dilipat, kelangkaan etika dalam hidup yg semakin tergesa, dan lainnya. Itu artinya Fiqh Peradaban yg saat ini hanya tampak depan saja, di belakangnya masih ada banyak PR bersama. Maka "selamat datang…"
Sungguh berat, namun bukan berarti tak mungkin. 1 abad yg lalu, semua pihak meragukan kemampuan kaum nahdliyyin bisa terus berdiri dan
berkontribusi pada kehidupan dunia modern. Nyatanya bisa. 1 abad telah dilalui dan NU telah menjelma organisasi Islam terbesar di dunia.


Selamat Datang… di abad kedua NU


Prof. Dr. H. Bambang Qomaruzzaman, M.Ag, Guru Besar UIN 'SGD' Bandung dan Ketua Lakpesdam PWNU Jabar