Bandung, NU Online Jabar
Salah seorang yang terkaget saat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat adalah Pengasuh Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta KH Muhammad Nur Iskandar SQ.
“Innalilahi… Gus Dur wafat..!?” tulis Okezone, Rabu (30/12/2009). Media tersebut menyebutkan bahwa Kiai Nur histeris.
Kiai Nur, menurut media tersebut mengaku tidak percaya dengan kabar tersebut karena beberapa hari sebelumnya sempat berbincang dengan Gus Dur di RSCM. Namun, kabar tersebut benar-benar fakta, sehingga ia tak kuasa menahan tangis.
“Saya masih di Tangerang dan sekarang akan langsung menuju RSCM,” katanya dengan terbata-bata.
Baca juga: Gus Dur: Korupsi di Departemen Sosial Gede-gedean, Tikusnya Sudah Kuasai Lumbung
Kini, sepuluh tahun kemudian, Kiai Nur menyusul Gus Dur, Ahad (13/12). Keduanya meninggalkan kita semua sama-sama pada akhir Desember. Semoga Allah menempatkan keduanya pada tempat yang paling sempurna di sisi-Nya. Amin...
Pasukan Berani Mati
Gus Dur menjadi presiden RI keempat selama 21 bulan dari 1999-2001. Kepemimpinannya tak genap lima tahun karena lawan politiknya menjegal dengan tuduhan-tuduhan yang tidak terbukti secara hukum sehingga ia lengser di tengah jalan.
Padahal Menko Plhukam Mahfud MD, dalam catatan NU Online, menegaskan bahwa pelengseran itu tidak sah secara hukum dan sistem ketatanegaraan Indonesia. Kejaksaan Agung membuat surat yang menyatakan bahwa Gus Dur tidak terbukti tidak terlibat dalam kasus Bulog.
Lalu kasus Brunei. Secara hukum, menurut Mahfud tidak ada kasus hukumnya karena uang tidak diminta oleh negara kepada negara lain dan bukan diberikan oleh negara lain kepada negara Indonesia. Itu semacam zakat yang disalurkan secara materil. Salah satunya ke Yayasan Aswaja di Aceh.
Baca juga: Gus Dur, Kartunis Prancis, dan Orang Gila Melempar Masjid
Jadi, secara hukum pidana maupun tata negara, Gus Dur tidak jatuh kasus Bulog dan Brunei. Penjatuhan Gus Dur itu adalah persoalan pertarungan politik dimana yang satu kalah yang satu menang. Bukan soal hukum yang satu benar, yang satu kalah. Dan Gus Dur kalah dalam pertarungan politik itu, karena dikeroyok rame-rame.
Karena itulah pendukung Gus Dur, terutama di kantong-kantong NU seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah, juga di Jawa Barat bereaksi. Mereka merasa pemimpinnya dizalimi. Mereka datang ke Jakarta secara bergelombang. Saat itu, mereka dikenal dengan sebutan Pasukan Berani Mati.
Pasukan berani itu, di Jakarta, tersebar di beberapa tempat, yaitu di kantor PBNU, kantor Pimpinan Pusat GP Ansor, dan Pondok Pesantren Asshiddiqiyah yang dipimpin KH Muhammad Nur Iskandar SQ.
Pewarta: Abdullah Alawi
Terpopuler
1
Lafal Niat Puasa Asyura Puasa Sunah pada 10 Muharram
2
Perkuat Ukhuwah dan Semangat Dakwah di Masyarakat, GP Ansor Cigerenem Gandeng Latansa 2 Gelar Pengajian Syahriahan
3
Agar Hati Tak Mati, Inilah Doa-doa Pilihan di Hari Asyura 10 Muharram
4
Ranting NU Teluk Pucung Bekasi Utara Fasilitasi Proses Dua Warga Masuk Islam: Ibu dan Anak Resmi Jadi Mualaf
5
Koperasi Merah Putih, Koreksi dan Harapan Baru bagi Ekonomi Rakyat
6
Model Bisnis NU Cirebon Dilirik PCNU Magelang untuk Kolaborasi Strategis
Terkini
Lihat Semua