• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 24 April 2024

Ngalogat

Sesajén

Sesajén
Contoh Sesajén (foto: islami.co)
Contoh Sesajén (foto: islami.co)

Oleh Etti RS
Siapapun yang ‘bertemu’ dengan kata atau istilah sesajén (sesajian) dapat dipastikan pikirannya akan terhubung kepada konteks mitos, takhayul, musyrik, irrasional, kuno, dan lainnya yang berkaitan dengan ke jahiliyahan. Sesajén memang memiliki konteks yang melekat dengan ritual dan sistem religi karena pada awalnya dilakukan sebagai persembahan kepada para dewa, hyang, roh halus, dan atau arwah manusia; yang pada saat ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, apalagi (terutama) dengan agama Islam. Jika persembahan sesajen ini merupakan tradisi superkuno, betapa panjang bentangan usianya hingga saat ini, bahkan mungkin bisa lebih ‘seru’ jika keberadaannya sekarang diperbincangkan dan dibahas dengan serius. Walaupun belum tertelusuri secara pasti sejak kapan tradisi itu dilakukan, namun dapat diperkirakan ratusan bahkan ribuan tahun sebelum abad pertama Masehi. 
 

Jack Turner (2005) memperkirakan praktik penggunaan rempah-rempah dalam (sesajén) ritual yaitu sejak abad pertama Masehi dan ini merupakan bentuk perkembangan dari ritual makanan tak dikenal pada masa Greco-Romawi. Jenis rempahnya pun bermacam-macam, mulai dari kayu manis, dupa/kemenyan, ketumbar, jintan, dan sebagainya; tergantung pada vegetasi rempah di tiap tempat. Perdagangan rempah sempat meramaikan jaringan komersial pedagang Bizantium dan Yahudi, bahkan pada abad-abad selanjutnya pedagang Islam telah menancapkan eksistensi di rute perjalanan rempah darat maupun laut. 
Bukan tidak mungkin jika kata ‘perkembangan’ ini merupakan salah satu faktor pendukung tradisi sesajèn berusia panjang yang berkonteks luwes dan pragmatis. Tradisi lahir dari pola pikir suatu kelompok/masyarakat yang menegaskan identitas masyarakat itu sendiri. Jadi, tradisi lahir dari suatu kelompok masyarakat dan berlangsung secara turun-temurun melalui berbagai zaman dengan segala perkembangannya. Tradisi itu dinamis, berkembang dan bisa adaptif dengan perkembangan masyarakat, baik perkembangan bidang ilmu pengetahuan, teknologi, maupun agama yang dianut masyarakatnya. Demikian pula tradisi sesajén.

 

Di Romawi, sesajèn yang pada awalnya hanya berupa makanan, dalam perkembangannya jadi bertambah dengan dilengkapi wewangian dari rempah. Penambahan rempah itu pun bukan tanpa perdebatan. Pliny, seorang tetua Romawi menyebutkan bahwa penggunaan rempah untuk sesaji merupakan pemborosan. Bagi orang Yahudi, secara perlahan dan pasti rempah-rempah kehilangan aura magisnya hingga sesajén lebih dianggap simbolik daripada sakral. 
Sebagaimana jenis rempah, perkembangan jenis makanan dan hal lainnya dalam sesajén pun bergantung pada keadaan dan tempat masyarakat itu berada. Jenis rempah ditambahkan ke dalam sesajén dengan maksud menghormati Maha Pencipta dengan aroma yang khas yang menimbulkan ‘kebahagiaan’ sehingga rempah/wewangian itu dianggap sakral dan tidak boleh digunakan sembarangan. Penambahan macam sesajèn terjadi pula pada hal lainnya, seperti jenis makanan/minuman sesuai dengan budaya masyarakatnya sehingga berbeda-beda di tiap tempat. Persamaannya hanya satu, yaitu sesajèn sebagai wujud rasa syukur manusia dan permohonan keselamatan kepada Sang Pencipta. Perkembangan ilmu pengetahuan dan agama yang dianut masyarakat secara evolutif menggeser sakral ritual menjadi simbol seremonial sehingga keberadaan (sesajèn) tetap berlangsung dan adaptif dengan jaman. 

 

Ada beberapa contoh bagaimana perkembangan dan pemanfaatan jenis sesajèn yang adaptif pada masa kini, baik dari kelompok bunga-bungaan, tumbuhan, makanan, minuman, maupun rempah. Salah satunya adalah macam sesajèn ritual yang berkaitan dengan daur hidup (kelahiran, pernikahan, kematian) adalah tujuh macam bunga. Aneka bunga ini kadang disimpan atau dicampur air untuk mandi atau dicipratkan ke tubuh yang diupacarakan (bayi, ibu hamil 7 bulan, calon pengantin). Secara simbolik, aneka bunga dalam sesajèn ini merupakan pesan bahwa manusia hidup harus seperti bunga, yaitu indah dan harum. Di dalam perkembangannya, aneka bunga digunakan dalam kehidupan moderen terutama dalam kecantikan atau kesehatan kulit, misalnya spa dan atau bahan parfum.

 

Contoh lainnya adalah salah satu tumbuhan (sesajén/ritual) yang dijasikan obat herbal adalah jawer kotok, tumbuhan yang bentuk daunnya mirip jawer ayam/kotok. Selain sebagai tanaman hias yang indah, tumbuhan ini pun memiliki khasiat sebagai tanaman obat, di antaranya untuk mengobati radang usus. Di dalam sesajen, tanaman ini sebagai simbol bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya jangan kotokeun (keadaan ayam yang tidak bisa melihat ketika hari mulai gelap) dalam situasi apapun.

 

Siapapun pasti mengenal kupat/ketupat dan atau leupeut yang telah menjadi bahan kuliner Indonesia. Selain menjadi tradisi sajian pada Hari Raya Idul Fitri, ketupat pun sudah menjadi jenis jajanan sehari-hari. Ketupat pada awalnya dibuat hanya untuk keperluan ritual atau sesajen, sebagai simbol yang mengingatkan manusia jangan bergunjing. Bunyi kata kupat/ketupat, leupeut dekat dengan kata ngupat (menggunjing, ghibah) dan leupeut dekat dengan kata lepat (salah) yang bermakna bahwa manusia jangan berbuat kesalahan agar hidup selamat. Maka tidak heran jika dalam sesajèn ada yang disebut 'kupat salamet'. 

 

Jenis makanan legendaris lainnya yang berasal dari sesajen adalah nasi kuning berbentuk kerucut yang dikelilingi aneka lauk. Bentuk kerucut adalah simbol dunia bawah (mahluk) dan dunia atas (Tuhan) dan warna kuning (mas) sebagai simbol keluhuran budi. Adapun aneka lauk-pauk yang mengelilinginya adalah simbol keberadaan alam dan mahluknya (tumbuhan, hewan). Sekali lagi, makna dari simbol ini berbeda di tiap tempat. Contohnya, di Jawa ada yang disebut tumpeng robyong yaitu tumpeng besar yang dikelilingi 9 tumpeng kecil. Maknanya pada saat ini, menurut beberapa keterangan 9 tumpeng kecil itu sebagai simbol Walisanga (9 wali). 

 

Maraknya kedai kopi jaman sekarang seperti merupakan pertanda gaya hidup moderen, terutama di kota-kota besar. Pertanda ini pun telah memunculkan trend meminum kopi tanpa gula yang (menurut kesehatan) lebih besar manfaatnya bagi kesehatan. Mungkin generasi milenial sekarang banyak yang tidak tahu bahwa seduhan kopi tanpa gula berawal dari perlengkapan sesajén yang berupa simbol tentang kehidupan pahit yang dialami setiap manusia. Adapun bagian manisnya disimbolkan pada seduhan kopi yang memakai gula. Perkembangan lainnya adalah aromatherapi yang berbahan dari rempah sesajén, di antaranya panglay dan jaringao. Selain itu, wangi dan asap kemenyan yang pada awalnya berfungsi sebagai media penyampai pesan kepada roh leluhur, ternyata menurut para ahli mengandung zat pengusir serangga. 

 

Usia panjang sang sesajén menunjukkan apresiasi manusia terhadap pola pikir generasi masa lalu sehingga keberadaannya berlangsung dari jaman ke jaman dengan perubahan dan inovasinya. Apresiasi itu bukan berarti 'migusti'' melainkan hanya 'mupusti' tradisi sebagai hasil kreasi.

 

Penulis adalah budayawan Sunda
 


Editor:

Ngalogat Terbaru