Resolusi Tahun Baru: Janji untuk Menjadi Lebih Baik
Selasa, 31 Desember 2024 | 17:16 WIB
Setiap tahun, saat Desember berganti ke Januari, orang-orang di banyak negara mengikuti ritual global: membuat resolusi tahun baru dan mengucapkannya sebagai janji ketika jam berdetak menuju pergantian tahun baru. Praktik ini melampaui budaya dan batasan negara. Orang-orang membuat komitmen untuk memperbaiki berbagai aspek dalam hidup mereka. Mereka berjanji untuk menjalani gaya hidup lebih sehat, berhenti merokok, meningkatkan pendidikan, mencapai stabilitas keuangan, hingga resolusi unik seperti belajar bahasa baru atau menghabiskan lebih banyak waktu di alam. Pertanyaannya adalah mengapa orang membuat janji-janji ini di awal tahun baru? Dan mengapa pula kebanyakan dari mereka gagal mewujudkannya?
Resolusi Tahun Baru: Arti dan Sejarahnya
Resolusi tahun baru, sebagaimana didefinisikan oleh Cambridge Dictionary, adalah “janji yang Anda buat kepada diri sendiri untuk mulai melakukan sesuatu yang baik atau berhenti melakukan sesuatu yang buruk pada hari pertama tahun baru.” Misalnya, janji untuk lebih sering berolahraga, berhenti merokok, atau mengadopsi pola makan yang lebih sehat. Praktik ini menawarkan kesempatan bagi individu untuk merefleksikan hidup mereka di tahun lalu dan berkomitmen pada perubahan positif di tahun baru.
Secara historis, asal-usul resolusi tahun baru dimulai sejak zaman kuno. National Geographic menyebutkan bahwa resolusi tahun baru dimulai dengan bangsa Babilonia, yang merayakan tahun baru melalui festival yang terkait dengan ekuinoks (ketika matahari berada di atas garis khatulistiwa atau ekuator) musim semi. Festival ini berfokus pada ungkapan rasa syukur kepada para dewa atas hasil panen, disertai dengan janji-janji untuk berbuat baik dan mencegah murka para dewa. Pada akhir milenium pertama Sebelum Masehi, seorang raja Babilonia membuat janji publik untuk menjadi penguasa yang lebih baik, seperti akuntabilitas di masa modern.
Bangsa Romawi kemudian menetapkan tanggal 1 Januari sebagai awal tahun baru, dengan mengintegrasikan ritual dan tindakan praktis seperti membersihkan rumah, mengisi kembali persediaan pangan, melunasi utang, dan mengembalikan barang pinjaman untuk memulai tahun baru dengan baik.
Praktik kuno ini menjadi dasar bagi tradisi resolusi tahun baru yang kita kenal saat ini. Konsep modern resolusi tahun baru mulai terbentuk di Amerika Masa Kolonial, di mana kaum Kristen Puritan lebih menekankan introspeksi daripada perayaan. Gereja-gereja sering mengadakan “Khotbah Sabat” di awal tahun, yang mendorong refleksi diri dan peningkatan moral. Orang-orang bertekad untuk berhenti melakukan dosa atau kebiasaan buruk.
Penyebutan pertama “resolusi tahun baru” dalam media tercatat muncul di sebuah surat kabar Boston pada tahun 1813, yang menggambarkan orang-orang berkomitmen pada perbaikan diri dan tanggung jawab moral. Pada abad ke-19, resolusi tahun baru bergeser dari akar religiusnya menuju tujuan yang lebih sekuler, mencerminkan perubahan dalam masyarakat. Sebuah artikel di The Sacramento Star pada malam tahun baru baru di 1912 menyebutkan bahwa resolusi tahun baru adalah waktu untuk berjanji menghentikan kebiasaan buruk.
Baca Juga
Menyampaikan Ucapan Selamat Natal
Mengapa Orang Melakukan Resolusi Tahun Baru
Resolusi tahun baru menawarkan banyak manfaat. Resolusi ini dapat memotivas orang untuk mengejar pengembangan pribadi, memberikan arah tujuan, dan bahkan meningkatkan kesehatan mental dengan menumbuhkan optimisme dan pola pikir positif ke depan.
Tradisi membuat resolusi tahun baru memiliki makna simbolis sebagai waktu untuk refleksi dan pembaruan diri. Cynthia Vinney menulis bahwa secara psikologis, pergantian kalender menginspirasi orang untuk mempertimbangkan perubahan yang ingin atau perlu mereka lakukan dalam hidup. Tahun baru melambangkan awal yang segar—momen universal untuk menyegarkan diri dan memulai kembali hidup baru di tahun baru. Pengalaman kolektif ini meningkatkan motivasi untuk menetapkan resolusi karena banyak orang secara bersamaan merenungkan tahun yang telah berlalu dan merencanakan pengembangan pribadi di tahun yang akan datang.
Mengapa Banyak Orang Gagal
Namun, perjalanan untuk mencapai resolusi tahun baru sering kali dipenuhi tantangan. Studi oleh Pew Research Center menemukan bahwa hanya 9% orang Amerika yang berhasil mencapai resolusi tahun baru mereka. Sebuah studi dari Fisher College of Business menyebutkan bahwa 23% orang berhenti dari resolusinya pada minggu pertama, dan 43% berhenti pada akhir Januari.
Lalu, apa yang menyebabkan kebanyakan dari kita gagal mencapai dan mempertahankan janji yang dibuat saat resolusi tahun baru? Umumnya, hambatannya meliputi tujuan yang tidak realistis, kurangnya perencanaan, dan penurunan motivasi seiring waktu berjalan (https://www.kxnet.com/news/local-news/research-shows-only-9-of-americans-achieve-their-new-years-resolutions/). Dalam artikelnya, Cynthia Vinney menjelaskan beberapa faktor mengapa kita banyak gagal dalam resolusi tahun baru mereka.
Pertama, kita berpikir terlalu besar. Resolusi tahun baru sering gagal karena kita cenderung menetapkan perubahan besar, seperti keinginan mengubah kebiasaan secara drastis atau ingin mempelajari bahasa baru dengan cepat. Namun, manusia tidak diciptakan untuk membuat perubahan besar secara cepat seperti itu sehingga tujuan-tujuan ini menjadi beban. Para ahli menyarankan agar kita tidak menetapkan resolusi tahun baru yang susah tercapai, tetapi fokus pada langkah-langkah kecil yang lebih dapat dikelola. Misalnya, mempelajari satu kata atau frasa baru setiap hari dari bahasa baru yang ingin kita pelajari. Ini merupaan cara yang lebih berkelanjutan untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Kuncinya adalah memulai perubahan secara bertahap, bukan mengharapkan hasil besar yang cepat.
Kedua, kita tidak menetapkan alasan kuat. Banyak resolusi tahun baru dibuat berdasarkan pada apa yang harus kita lakukan, bukan pada alasan kuat mengapa kita ingin meraihnya. Jika kita membenci kegiatan tersebut, kita tidak akan mencapai tujuan. Untuk berhasil, kita perlu memahami alasan pribadi kita di balik tujuan tersebut dan mencari cara yang lebih menyenangkan untuk mencapainya. Dengan cara ini, kita lebih mungkin untuk bertahan dan mencapai tujuan resolusi tahun baru dalam jangka panjang.
Jika tujuan kita adalah pergi ke gym, kita harus lebih dalam bertanya pada diri sendiri: mengapa? Misalnya, apakah karena ingin bentuk tubuh yang lebih baik atau merasa lebih sehat. Jika kita mengetahui alasan kita, kita mungkin menemukan jalan lain yang lebih menyenangkan untuk mencapainya, yang akan membuat kita lebih mungkin untuk terus melakukannya dalam jangka panjang. Kita harus pahami dulu apa yang kita inginkan untuk diri sendiri dan bagaimana cara mencapainya. Alasan ini akan jauh lebih penting dalam mencapai tujuan resolusi tahun baru daripada sekedar karena harus melakukannya.
Ketiga, kita memang belum siap berubah. Kita sering gagal mempertahankan resolusi tahun baru karena kita belum siap untuk berubah. Perubahan itu tidak bisa instant, tetapi terjadi melalui proses yang terdiri beberapa tahapan: pra kontemplasi (menyadari perlu perubahan), kontemplasi (memikirkan perubahan), persiapan (merencanakan perubahan), aksi (melakukan perubahan), dan pemeliharaan (mempertahankan perubahan). Orang yang berhasil biasanya sudah berada pada tahap aksi ketika membuat resolusi, sementara mereka yang gagal belum siap secara psikologis. Jadi, resolusi yang sukses memerlukan pemikiran, persiapan psikologis, dan perencanaan yang matang.
Strategi untuk Sukses Mewujudkan Resolusi Tahun Baru
Lalu, bagaimana cara mewujudkan dan mempertahankan janji-janji yang dibuat dalam resolusi tahun baru? Jawabannya tentu tidak mudah. Dalam soal ini, Cynthia Vinney menyebutkan satu prinsip yang harus dipegang, yakni perubahan yang bertahan lama memerlukan kebiasaan bertahap, bukan perubahan besar yang langsung dilakukan. Resolusi tahun baru yang besar sering kali gagal karena tidak memberi ruang untuk membentuk kebiasaan. Sebagai gantinya, kita sebaiknya membuat resolusi tahun baru dengan langkah-langkah kecil yang dapat dicapai seiring waktu dan cocok dengan psikologi atau kondisi kita. Dengan cara ini, perubahan positif lebih mungkin terjadi dan bertahan lama.
Mencapai dan mempertahankan resolusi tahun baru memerlukan pendekatan strategis. Sebuah tulisan di Harvard Business Review merekomendasikan strategi “SMART”: Specific, Measurable, Achievable, Relevant dan Time-bound. Artinya, janji yang dibuat dalam resolusi tahun baru harus spesifik, terukur, dapat dicapai, relevan dan berbatas waktu. Misalnya, alih-alih kita mengatakan janji di awal tahun 2025 ini bahwa “Saya mau lebih sering berolahraga”, buatlah janji pada diri sendiri bahwa “saya akan berolahraga selama 30 menit tiga kali seminggu”.
Prinsip SMART dapat dilakukan sebagai berikut: 1) Kembangkan rencana terperinci; pecahkan tujuan menjadi langkah-langkah kecil yang dapat dilakukan; peta jalan yang jelas meningkatkan kemungkinan keberhasilan; 2) Pantau kemajuan secara teratur; misalnya, gunakan jurnal, aplikasi, atau kalender untuk memantau kemajuan dan mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan; 3) Cari dukungan; bagikan resolusi anda dengan teman atau keluarga yang dapat memberikan dorongan dan dukungan semangat; 4) Terakhir, rayakan pencapaian; akui dan beri penghargaan untuk diri sendiri atas kemajuan yang dicapai guna mempertahankan motivasi dan membangun kepercayaan diri.
Penutup
Saat 2025 dimulai esok hari, tradisi membuat resolusi tahun baru menawarkan kesempatan kepada kita untuk merangkul perubahan dan mengejar pengembangan diri menjadi lebih baik ke depannya. Meskipun tantangan tidak dapat dihindari, menerapkan pendekatan strategis akan dapat secara signifikan meningkatkan kemungkinan keberhasilan kita meraih dan mempertahankan tujuan dari janji-janji resolusi tahun baru. Tahun ini, kita tidak hanya bermimpi tetapi juga bertindak dengan tekad, mengubah aspirasi kita menjadi pencapaian yang bermakna. Baik secara pribadi maupun kolektif, resolusi mencerminkan harapan abadi umat manusia untuk masa depan yang lebih baik.
Asep Muhamad Iqbal, Ph.D., Direktur, Centre for Asian Social Science Research (CASSR), FISIP, UIN Bandung.
Terpopuler
1
Gus Yahya Respons Wacana Pendanaan MBG Melalui Zakat: Perlu Kajian Lebih Lanjut Karena Kategori Penerima Zakat Sudah Ditentukan
2
Profil Alex Pastoor dan Dany Landzaat, Dua Asisten Pelatih yang Dampingi Kluivert di Timnas Indonesia
3
Khutbah Jumat Terbaru: Bulan Rajab, Momentum untuk Tingkatkan Kualitas Spiritual Diri
4
Refleksi Harlah ke-102 NU: Membangun Sinergitas Harokah dalam Ber-NU
5
Pentingnya Menggerakkan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama di Kota Bogor Menjelang Harlah ke-102
6
MoU Haji 2025 Ditandatangani, Indonesia Akan Berangkatkan 221 Ribu Jamaah
Terkini
Lihat Semua