• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Ngalogat

Potensi Kewalian Gus Ghofur

Potensi Kewalian Gus Ghofur
Gus Ghofur atau KH Abdul Ghofur Maimoen (Foto: YT GusMus Channel)
Gus Ghofur atau KH Abdul Ghofur Maimoen (Foto: YT GusMus Channel)

Oleh Hamzah Sahal
Bagi yang tidak akrab dengan tradisi bercerita ala pesantren, mungkin akan bingung mendengar ceramah Gus Ghofur, di acara maulid Nabi dan Haul Masyayikh Rembang, beberapa pekan lalu, di Pesantren Leteh, Rembang. Setidaknya, mereka akan tanya, "Pengajian atau ceramah kok nggak menyitir hadis-hadis Nabi?" 

Nabi Muhammad cuma disebut, kalau tidak keliru hitung, lima-enam kali dalam ceramah hampir 30 menit itu. Satu, saat salawat di mukadimah, satu lagi saat menyebut acara maulid, dan satunya saat bercerita kenapa Nabi Muhammad dibenci. Sisanya saat menyebut Sayidina Abu Bakar dan Abdullah bin Mas'ud. 

Bahkan seingatku, Gus Ghofur tidak menyampaikan "qoola-Allahu ta'ala fii kitabihil karim." Dia sempat menyebut Imam al-Ghazali dan nama karyanya, juga salah satu kitab syarah Ihya, tapi tidak mengutip isinya. Eh, Gus Ghofur malah mengutip karya ulama Tuban yg berisi tentang Walisongo, yang kesahihannya dicemooh oleh orang kalangan Islam modernis

Ceramah agama model apa Gus Ghofur ini? Ini pertanyaan orang yg tidak terbiasa dengan tradisi bercerita di pesantren. Berikut jawaban sambil guyon saja.
Jika Gus Ghofur menyitir-nyitir hadis, misal dengan contoh materi doa iftitah, itu tidak sopan. Masa pengajian yang di depannya ada Gus Mus dan kiai-kiai lain, isi pengajiannya begitu. 

Jawaban lainnya, mungkin Gus Ghofur ingin ngetes tanda-tanda kewaliannya, yaitu tidak mengutip kitab suci ataupun hadis, tapi jamaah pengajian tetap bisa mengambil ilmu, hikmah, dan pelajaran hidup. Memangnya kalau mengutip Al-Qur'an dan hadis, sudah pasti mengandung ilmu, hikmah, dan pelajaran?

Yang paling menarik dari sekian poin ceramah Gus Ghofur adalah kisahnya yang "menetralisir" mbah-mbahnya atau kakek buyutnya. Di sini, Gus Ghofur punya kemampuan menertawakan nasabnya, sesuatu yang tabu. Ini sangat istimewa. Bayangkan, Mbah Maemoen --ulama yg tidak pernah lupa disebut oleh Gus Baha sebagai seorang yg alim sundul langit serta bijak bestari-- dikatakan "kiai anyar". Kenapa?

Karena kakek dari ayahandanya itu ya "kiai anyar" juga. Kiai Maemoen bin Kiai Zubair bin Kiai Dahlan. Kiai Dahlan itu alim, tapi bapaknya Kiai Dahlan, yang bernama Warijo itu orang biasa. 

"Lah namanya saja Warijo. Ora pantes kiai, wong katok cekakakan (pakai celana pendek)," begitu cerita Gus Ghofur tentang buyut dari Mbah Moen. "Mbah Dahlan saja, nama aslinya Kirman apa Karman. Dia terpaksa pergi ke pesantren karena disuruh menghindar dari ayahnya yg marah-marah terus." 

Tanpa memiliki keberanian yang bulat, Gus Ghofur tidak akan bercerita begitu. Inilah keistimewaan yg tidak dimiliki banyak orang: mampu menertawakan diri sendiri dengan ikhlas. Kalau tidak punya potensi wali, tidak akan begitu. 

Lebih dari itu, "humor" Gus Ghofur di atas punya dampak positif pada jutaan santri yang datang dari kaum rakyat jelata. Para santri sudah tahu bahwa Imam al-Ghazali misalnya, adalah anaknya orang biasa, anaknya tukang tenun. Tapi belum tahu bahwa Mbah Moen itu kiai anyaran. Nah, para santri butuh contoh yang dekat dengan realitanya.

Poin lain yang sebetulnya sangat layak dibahas, karena bicara masa depan, yaitu harapan Gus Ghofur agar kita punya aqliyah ghalibiyah, akalnya bangsa pemenang. Santri dan kiai pemenang. (Bersambung)

Penulis adalah founder alif.id


Editor:

Ngalogat Terbaru