• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Ngalogat

Minhaj At-Thalibin, Penyempurna Rumus Fikih Madzhab Syafi’i

Minhaj At-Thalibin, Penyempurna Rumus Fikih Madzhab Syafi’i
Minhaj At-Thalibin, Penyempurna Rumus Fikih Madzhab Syafi’i.
Minhaj At-Thalibin, Penyempurna Rumus Fikih Madzhab Syafi’i.

Bagi pengkaji dan pengamat fikih mazhab Syafi’i, adanya kitab Minhaj at-Thalibin sebagai literatur penting yang sulit terpisahkan. Alasannya, kehadiran kitab ini diklaim sebagai rujukan paling otoritatif dalam kajian fikih mazhab Syafi’i. Tak ayal, kitab Minhaj at-Thalibin hampir selalu dijadikan referensi utama dalam berbagai forum musyawarah dan Bahtsul Masail di lingkungan pesantren ataupun Nahdlatul Ulama. 


Kitab Minhaj at-Thalibin atau yang sering disingkat dengan nama Al-Minhaj merupakan salah satu di antara sekian banyak karya Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi yang kemudian lebih populer dengan sebutan Imam an-Nawawi (w. 676 H). Nama lengkap kitab tersebut adalah Minhaj at-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin yang berarti “tangga para pelajar dan sandaran para mufti”, sang pengarang sudah memberikan sinyal optimis bahwa karyanya sangat layak dijadikan rujukan bagi mereka yang menjadi pegiat dalam bidang fikih, khususnya fikih mazhab Syafi’i. 


Dalam prolog (muqaddimah) kitab ini, Imam An-Nawawi menginformasikan bahwa kehadiran kitab Al-Minhaj berkaitan erat dengan kitab Al-Muharrar karya Imam Ar-Rafi’i (w. 623 H). Karena pada aslinya kitab Al-Minhaj merupakan hasil resume (mukhtashar) dari kitab Al-Muharrar. Kitab Al-Muharrar sendiri merupakan karya monumental yang ditulis oleh Imam Ar-Rafi’i dalam menghimpun pelbagai pendapatnya Imam Syafi’i serta silang pendapatnya dengan para Ashhab asy-Syafi’i (panggilan untuk pengikut atau murid Imam Syafi’i). Atas dasar inilah Imam an-Nawawi hendak merepresentasikan ulang kitab Al-Muharrar yang bervolume tebal dengan tampilan baru dan format yang lebih ringkas dan sistematis agar lebih mudah untuk dimengerti dan dihafal.  


Nilai tawar yang disematkan Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Minhaj tidaklah sederhana. Yang mampu mencuri perhatian para pengkaji dan pengamat fikih Madzhab Syafi’i adalah kelihaiannya dalam merumuskan istilah fikih. Meski istilah-istilah semacam ini sudah ada sebelumnya, namun istilah yang dirumuskan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Minhaj dianggap lebih paripurna dari istilah fikih yang dicetuskan dari para seniornya, seperti Imam Ar-Rafi’i dan Imam Al-Faurani. 
Pada prinsipnya, motif dirumuskannya istilah-istilah fikih dalam kitab Al-Minhaj untuk mengetahui asal usul perselisihan pendapat (khilaf) dan tingkatan otoritas  antar pendapat yang berselisih. Sehingga manakala terjadi kontraksi antara dua pendapat atau lebih, keberadaan istilah tersebut mampu menjadikan solusi dalam menentukan pendapat mana yang lebih otoritatif, baik secara penunjukan argumentasi, nalar berpikir dan kebenaran menganalisis permasalahan. 


Di lain sisi,  meniadakan kosakata asing (gharib) yang ada dalam kitab Al-Muharrar adalah salah satu evolusi yang dibuat Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Minhaj. Pada gilirannya, kosakata tersebut diubah dengan yang kosakata lebih jelas dan gampang. Salah satu contohnya ialah kosakata الباغ  yang digunakan oleh Imam Ar-Rafi’i dalam kitab Al-Muharrar. Karena memang kosakata tersebut berasal dari bahasa Persia hingga Kosakata tersebut begitu asing dalam bahasa Arab. Akhirnya, dalam kitab Al-Minhaj, Imam An-Nawawi menggantinya dengan kata البستان  yang memiliki arti “taman”. 


Tidak hanya sampai di sini, Imam An-Nawawi masih melakukan evolusi lain dalam kitabnya tersebut. Beliau mengoreksi kosakata yang dipergunakan Imam Ar-Rafi’i dalam kitab Al-Muharrar yang sangat potensial menimbulkan kesalahan dalam memahaminya. Misalkan redaksi ولا يحب ولي عبد صبي على النكاح  diganti dengan redaksi ولا يزوج ولي عبد صبي  . 


Alasan mendasarnya, redaksi yang digunakan oleh Imam Ar-Rafi’i dalam kitab Al-Muharrar berpotensi memberikan pemahaman bahwa seorang wali berhak menikahkan budak yang dimiliki anaknya yang masih belia dengan persetujuan anak tersebut. Sehingga bagi wali tidak boleh menikahkan budak tersebut tanpa adanya persetujuan dari anaknya yang masih belia. Padahal, disetujui ataupun tidak, seorang wali tidak memiliki hak menikahkan budak tersebut. Disinilah evolusi Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Minhaj bisa meminimalisir kesalahan dalam menganalisis kesimpulan sebuah hukum.


Dari usaha-usaha yang penuh ketelitian itulah akhirnya Imam An-Nawawi berhasil membuahkan karya kitab Minhaj at-Thalibin. Tak mengherankan, bila kitab Minhaj at-Thalibin didapuk menjadi kitab Matan yang mampu merepresentasikan rumusan fikih mazhab Syafi’i secara komprehensif. Sistematika penulisannya pun tidak berbeda jauh dengan beberapa kitab fikih pada umumnya, yakni prolog, bersuci (dengan kesemua babnya), salat, salat jamaah, jenazah, puasa, iktikaf, haji, muamalah (dengan kesemua babnya), waris dan wasiat, pernikahan (dengan kesemua babnya), pidana, denda, dakwaan (dengan kesemua babnya), buruan dan sembelihan, kurban, makanan, sumpah, nazar, peradilan, persaksian dan barang bukti, sampai memerdekakan budak. 


Namun berdasarkan data empiris, kajian akan kitab Minhaj at-Thalibin oleh beberapa pesantren di Indonesia termasuk literatur fikih strata menengah ke atas. Kitab ini hanya dikaji oleh mereka yang sudah memiliki dasar yang mumpuni dalam bidang fikih. Tanpa menampik kemampuan para pengkaji fikih tingkat pemula, kitab Minhaj at-Thalibin ini ‘tidak layak konsumsi' bagi tingkat dasar yang baru berkonsentrasi pada fikih. 


Wal hasil, dapat disimpulkan bahwa kitab Minhaj at-Thalibin mahakarya dari Imam An-Nawawi ini begitu layak dijadikan bacaan ‘wajib’ bagi pengkaji dan pengamat fikih mazhab Syafi’i. Sajian istilah-istilah fikih dalam kitab ini memberikan nilai lebih, khususnya dalam upaya mengetahui karakteristik dan asal mula perselisihan pendapat yang ada dalam mazhab Syafi’i. Namun dalam upaya mendapatkan pemahaman yang utuh, mempelajari kitab ini perlu kajian yang sangat intens. Selain bobot pembahasan yang cukup mendalam, bahasa yang disajikan pun terbilang ringkas.


Oleh karenanya, dianjurkan juga mengkaji kitab-kitab yang mengurai pemahaman lebih jauh akan kitab Al-Minhaj ini, baik yang berupa penjelasan (syarh) maupun komentar (hasyiyah), sampai berupa bait-bait (nadzam).


Rifky Ahmad Husaeri, Divisi Kaderisasi LBM PWNU Jabar


Ngalogat Terbaru