• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 3 Mei 2024

Ngalogat

Mereka Ciptakan Kiamat Kecil-kecilan

Mereka Ciptakan Kiamat Kecil-kecilan
Ilustrasi: NU Online
Ilustrasi: NU Online

Oleh Mohammad Rizky Apriliana

Belakangan ini Indonesia sedang dilanda berbagai musibah, baik musibah natural ataupun musibah setting-an sehingga menimbulkan duka yang mendalam di tengah masyarakat. Kehilangan materi, bahkan sampai dengan kehilangan kerabat dan keluarga tercinta adalah cerita yang mewarnainya. 

Kerap kali alam disebut sebagai "pelaku" utama penyebab kesedihan ini. Padahal alam itu selalu mencari dan berada dititik keseimbangannya. 

Maka, fenomena alam semisal tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, itu sudah barang tentu akan terjadi, walau tanpa campur tangan manusia sekalipun. Hanya saja ketika manusia sudah berani merusak keseimbangan alam, tentu alam akan terus bergerak menuju titik keseimbangnnya yang baru, dan dampak dari hal itu adalah "bencana" bagi manusia, karena memakan korban baik berupa materil ataupun imateril. Kita tidak bisa menolak fenomena dan bencana alam, yang bisa hanya ikhtiar untuk mengulur waktu akan datangnya hal itu.

Maka bijaklah dalam memanfaatkan sumber daya alam, demi menjaga alam agar tetap berada dititik seimbangnya. Kita semestinya belajar dari makhluk lain. Luwak saja ketika memakan buah kopi, fesesnya akan bertransformasi menjadi bibit yang nantinya akan tumbuh menjadi pohon yang baru. Harusnya manusia bisa lebih dari itu, tentu ketika berbicara pemanfaatan harus selaras juga dengan kemaslahatan yang tak hanya bagi manusia saja, tetapi juga bagi alam dan makhluk hidup lainnya. 

Hewan saja ketika berbicara soal teritorial, dia memanfaatkan dan merawat dengan baik. Lalu manusia sebagai hewan yang berakal, bicara teritorial hanya tentang pemanfaatan dan klaim pribadi saja. Padahal manusia ini dibekali dengan kitab suci bernegara, yang seharusnya dalam hal pemanfaatan dan upaya pelestarian alam bisa lebih sempurna ketimbang hewan. 

Jangan-jangan justru hewan lebih paham soal pemanfaatan dan perawatan alam karena mereka tidak ajarkan ilmu politik dan birokrasi? Wallahualam.

Mungkin kita terlupa bahwa dalam pemanfaatan alam harus selalu berbanding lurus dengan pelestariannya. Ini telah diajarkan dalam pepatah lama, terutama orang Sunda: gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak (gunung tidak boleh dilebur (dihancurkan), lebak (sungai, laut) tidak boleh dirusak). 

Tentu untuk sebagian besar orang yang masih berada di lingkungan adat, mereka masih menjaga nilai ini dan juga mereka tidak berani untuk melanggar sehingga dampaknya bagi alam adalah tetap lestari dan tetap berada pada keseimbangannya, paling tidak untuk wilayah tersebut.

Namun, bagi sebagian orang yang menganggap bahwa ini merupakan budaya kolot yang dapat menghambat kemajuan negara, mereka justru membuat tafsir baru dalam menerjemahkan ini: kami bukan menghancurkan gunung, kami memanfaatkan sumber daya yang ada di dalamnya, untuk apa Tuhan menciptakan ini semua jika tidak dimanfaatkan, lagi pula yang kami manfaatkan ini bukit, bukan gunung. Kami juga tidak menghancurkan sungai, kami hanya memanfaatkannya sebagai saluran pembuangan limbah pabrik kami. Ini kami lakukan untuk menghemat dan mengurangi penggunaan pipa plastik yang bakal menimbulkan dampak buruk bagi alam, karena plastik itu sulit untuk di urai.

Iya betul juga, tentu alam ini harus dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin, sebelum nantinya Tuhan menghancurkannya dalam bentuk kiamat. Namun, cara pandang ini justru yang memberikan sumbangsih kerusakan alam atau bencana alam. Para pelakunya adalah sekelompok orang yang senang bermain monopoli atau mereka yang menjadi dewa-dewa kecil di dunia, atau yang dalam istilah bapak-bapak warkop sering disebut sebagai penjahat bersenjatakan tanda tangan.

Mereka menembak mati gajah, memburu harimau, orang utan hampir punah karena tak punya rumah, hutan dibabad dijadikan perkebunan, perumah, pertambangan, sungai kotor akibat limbah, laut rusak dan tercemar akibat tongkang, gunung lebur karena dibulldozer, udara kotor akibat limbah pabrik yang jelas di depan mata tidak terlihat. Persoalannya satu, tertutup debu dan polusi kekuasaan. Merekalah yang menciptakan kiamat kecil-kecilan. 

Sukabumi, 19 Februari 2021

Penulis adalah kader PMII Komisariat Syamsul 'Ulum Sukabumi
 


Ngalogat Terbaru