• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 3 Mei 2024

Ngalogat

Mengambil Pelajaran dari Rihlah ke Pesantren Al-Qur'an Syihabuddin Banten

Mengambil Pelajaran dari Rihlah ke Pesantren Al-Qur'an Syihabuddin Banten
Pesantren Al-Qur'an Syihabuddin Banten (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Pesantren Al-Qur'an Syihabuddin Banten (Foto: Dokumentasi Pribadi)


Dalam beberapa artikel menerangkan secara singkat, salah satu contoh Rihlah yang paling terkenal adalah catatan perjalanan sarjana Maroko abad ke-14, Ibn Battuta, yang menghabiskan lebih dari 30 tahun bepergian ke seluruh dunia Islam dan mendokumentasikan pengalaman dan pengamatannya dalam bukunya "Rihlah". 


Adapun untuk diketahui konsep Rihlah telah menginspirasi orang di Indonesia bahkan seluruh dunia untuk memulai perjalanan mereka sendiri. Baik itu untuk kepentingan pendidikan, pertukaran budaya, mengulas sejarah atau pertumbuhan spiritual, Rihlah menjadi cara yang ampuh untuk memperluas wawasan umat muslim dan memperdalam pemahaman kita tentang dunia dan diri kita sendiri. 
 

Rihlah menjadi tradisi yang sangat kental dalam dunia keilmuan Islam, bahkan pada masanya menjadi tolak ukur keberhasilan seseorang dalam mencari ilmu. 
 

Sebagaimana Al Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang rihlah fil ‘ilmi (perjalanan dalam menuntut ilmu), “Apakah  lebih baik seseorang yang mencari ilmu hanya melazimkan (menetapkan diri) pada seorang guru yang memiliki banyak ilmu, atau tetap dia harus rihlah (bepergian)?”, maka beliau menjawab, “Pergilah, dan tulislah dari banyak ulama dan pelajarilah dari mereka.”


Rihlah yang berasal dari akar kata rahila- yarhilu- rihlatan yang berarti berpindah dari satu negara ke negara lain dengan tujuan tertentu. Sedangkan kata ‘ilmiyyah merupakan bentuk mashdar shina’iyy yang berasal dari akar kata ‘alima- ya’lamu yang berarti mengetahui. Rihlah ‘ilmiyyah dapat diartikan sebuah perjalanan yang ditempuh ke luar negara maupun daerah tempat tinggalnya dalam rangka kegiatan keilmuan.


Atau misalnya melakukan Rihlah Ruhaniah ialah dengan cara berziarah. Napak tilas atas sejarah kiprah ulama-ulama Nusantara. Dengan cara menziarahi ulama-ulama yang memiliki peran penting dalam membidangi keilmuan agama, khususnya dalam hal ini Ilmu Al-Qur'an.
 

Boleh jadi rihlah ilmiah (ilmiyyah) itu memiliki dua aspek kebutuhan yaitu: untuk menuntut ilmu atau meningkatkan nilai ilmu pengetahuan. Adapun riwayat berikut dari KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim wal Muta’allim tentang kebolehan seorang santri untuk rihlah.


ولا بأس أن يريح نفسه وقلبه وذهنه وبصره إذا كل شيء من ذلك وضعف بتنزه وتفرج في المتنزهات بحيث يعود إلى حاله ولا يضيع عليه


“Diperbolehkan bagi seorang santri untuk mengistirahatkan diri, hati, dan pikirannya dari belajar ketika sudah merasa penat. Dengan bertamasya dan menenangkan diri di tempat wisata, sekiranya dapat mengembalikan semangat belajar dan tidak melalaikannya.” 


Penulis pun menikmati perjalanan rihlah ilmiah di wilayah Banten, melihat bagaimana dinamika intelektual yang terjalin karena adanya aktivitas rihlah ‘ilmiyyah ini guna memulihkan wawasan dan pengetahuan dan mengenal lebih dekat pesantren Al-Qur'an yang ada di Labuan Pandeglang, Banten. 


Mengingat jumlah pesantren yang menurut data statistik yang dirilis oleh Kementerian Agama (Kemenag) menunjukkan, bahwa Provinsi Banten dengan 6.423 pesantren. 


Berbekal cerita singkat namun memikat dari salah satu putera KH Tubagus Achmad Idrisi Syihabuddin, (Almaghfurlah) yakni Kiai Tubagus Hasan Aang, ditengah kesibukan aktivitas mengajarnya di area kobong-kobong (kamar tempat tinggal santri) Pesantren Al-Qur'an Syihabuddin Bin Ma'mun Labuan Pandeglang Banten. 


"Dulu, dulu, di zaman dahulu kamar santri itu lazimnya terbuat dari kayu, kebanyakan begitu. Akan tetapi pada masa sekarang ini sudah banyak menggunakan bahan seperti: semen,  pasir, kerikil, besi bahkan baja ringan dan lain lain yang menjadi bangunan tembok ataupun beton. Tapi kami disini, di Pesantren Al-Qur'an Syihabuddin Bin Ma'mun masih mempertahankan bangunan kobong santri yang seperti ini, terbuatnya dari bambu, dan kobong adalah istilah yang hanya dimiliki oleh Pesantren salafiyah" ungkap Kiai Aang, sapaan akrabnya di kobong miliknya yang yang berlantaikan bambu dan menjadi semacam "ruang tamu" dari bangunan bambu tempat biasa beliau Kiai Aang menjamu tamu-tamunya. 


Sebuah bangunan kobong yang membuat penulis betah duduk berlama-lama saat mewawancarai beliau, Kiai Tubagus Hasan Aang beberapa hari yang lalu. Sudah barang tentu seorang kiai membangun fasilitas di pesantren secara bertahap sesuai dengan kondisi santri yang ada. 


Sepeninggal abahnya (Kiai Tubagus Achmad Idrisi Syihabuddin), beliau Kiai Aang bersama sang kakak (Kiai Tubagus Ma'mun) saling menguatkan daya juang untuk mengelola pesantren Al-Qur'an secara bersama. 


Para sesepuh, kiai-kiai, tokoh ulama Nusantara sejak dahulu perilaku kehidupannya tidak menjauh dari- atau selalu berinteraksi dengan Al-Qur'an dan tentu menjaga hubungan baik dengan masyarakat bahkan bisa dikatakan sangat dekat dalam kesehariannya, para guru, ajengan, kiai selalu bersedia dan berkenan untuk membimbing masyarakat sesuai ajaran Islam Rahmatan Lil Alamin dan berlandaskan nilai-nilai kehidupan menurut Al-Qur'an. 


Kesederhanaan bangunan kobong-kobong santri di pesantren-pesantren salaf kemungkinan besar bersumber dari jalan pikiran para guru, ajengan, dan kiai-kiai di pesantren yang ada di wilayah Banten ini yang sangat menikmati kehidupan dengan cara sederhana. 


Sebagaimana kobong-kobong santri yang penulis amati secara langsung di Pesantren Al-Qur'an Syihabuddin Bin Ma'mun, kobong yang memenuhi area pesantren yang memang luas dan keberadaan kobong menambah nilai estetik bagi Pesantren Al-Qur'an Syihabuddin Bin Ma'mun yang berada di Labuan, Pandeglang Banten. 


Rasanya kesederhanaan menjadi 'prinsip' atau konsep kehidupan para santri salaf yang dilakukan secara konsisten sehingga menjadi jati diri. 


Duduk di kobong yang berada di Pesantren Al-Qur'an Syihabuddin Bin Ma'mun Caringin, Labuan Banten seakan-akan say deep talk kehidupan melalui guru-guru ilmu Al-Qur'an yang terdokumentasikan dalam pigura-pigura itu. Seluruh risau terbenam dalam lanskap teduh kobong-kobong santri yang terbuat dari kayu dan bambu telah memukau dan menyentuh kalbu.  


Semua kiai pasti meninggalkan kenangan untuk para santri, mari isi kenangan itu dengan sesuatu yang pantas untuk dijadikan alasan kerinduan, ujar penulis dalam hati.


Dengan secara rutin para santri di Pesantren Al-Qur'an Syihabuddin Bin Ma'mun nderes atau ngaji Al-Qur'an itu menandakan cara mereka merindukan kiai, ajengan, gurunya "Babah Memed", Kiai Tubagus Achmad Idrisi Syihabuddin yang sanad ilmu Al-Qur'an beliau bersambung jalurnya dengan Syekh Ma'mun al-Bantani, jalur sanad Sarbini ad-Dimyati. 


Ketersambungan sanad keilmuan khususnya bagi para santri di pesantren sudah tentu harus menemukan kejelasan lajur-nya sebuah ilmu. Sanad merupakan hal yang vital dalam transmisi ilmu di pesantren. 


"Punten, maaf-maaf ini mah sebelumnya, untuk diketahui saja mempelajari Al-Qur’an itu berbeda dengan mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Untuk menjaga keotentikan bacaannya agar sama persis seperti yang disampaikan Nabi Muhammad dan para sahabatnya itu, mau tidak mau seorang murid atau santri harus belajar langsung kepada guru yang jelas sanadnya" terang, Kiai Tubagus Ma'mun (putera Kiai Tubagus Achmad Idrisi Syihabuddin).


Abdul Majid Ramdhani, Alumni Pondok Pesantren Al-Hamidiyah Depok
 


Ngalogat Terbaru