• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 3 Mei 2024

Ngalogat

Koperasi di Masa Awal NU Berdiri

Koperasi di Masa Awal NU Berdiri
Koperasi di Masa Awal NU Berdiri (foto: tirto.id)
Koperasi di Masa Awal NU Berdiri (foto: tirto.id)

12 Juli diperingati sebagai hari Koperasi, tanggal tersebut diambil mengingat kongres koperasi pertama kali digelar pada tahun 1947 di Tasikmalaya.

 

Sebelum Indonesia merdeka, pemerintahan masih mengatasnamakan Hindia Belanda, bibit-bibit dan upaya menuju gerakan koperasi telah tumbuh. Tokohnya adalah Raden Bei Aria Wirjaatmadja. Pada 1855, ketika ia berusia 21 tahun bekerja menjadi juru tulis kontrolir Belanda di Banjarnegara. Jabatan dan karirinya terus meningkat sehingga menjabat sebagai Patih Purwokerto pada 1879. Jabatan ini dipegang hingga pensiun pada tahun 1907.  

 

Ia adalah orang yang berusaha mendirikan bank untuk pegawai pribummi.  

 

*** Di masa pertumbuhan NU, yaitu sekitar 1929, para ulama di organisasi NU memikirkan bagaimana supaya anggotanya mandiri secara ekonomi. Pada 1929 mereka mendirikan Coperatie Kaoem Moeslimin (CKM). Pelopor CKM adalah KH Abdul Halim, salah seorang pengurus Hofdbestuur (pengurus besar dalam istilah sekarang) NU asal Majalengka, Jawa Barat. 
Meski tujuan utama NU adalah memperkuat kalangan bermazhab, nyata-nyatanya, tiga tahun berdiri telah membentuk koperasi, sebuah upaya dalam ekonomi. Ini tidak mengherankan karena sebelum NU berdiri telah berdiri Nahdlatut Tujjar (kebangkitan para pedagang).  


Tujuan Nahdlatut Tujjar, salah satu embrio Nahdlatul Ulama adalah untuk mengangkat perekonomian Muslim. Lemahnya kemampuan ekonomi ulama kurang mendukung suksesnya dakwah yang dijalankan, sehingga mau tidak mau harus dibentuk sebuah lembaga ekonomi yang mendukungnya. Alasan lain pendirian adalah pendidikan yang didominasi sekolah Belanda yang bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak memberi nilai apa-apa bagi ibadah syariah sehingga perlu dibentuk lembaga pendidikan Islam yang mampu dibiayai sendiri oleh kalangan pribumi.

 

Mengenai CKM, menurut Choirul Anam pada buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU, CKM berpusat di Pacarkeling Surabaya atas inisiator KH Abdulhalim Leuwimunding. Barang-barang yang diperjualbelikan di CKM ketika itu berupa kebutuhan primer (kebutuhan sehari-han) seperti: beras, gula, kopi, rokok, pasta gigi, sabun, kacang, minyak dan sebagainya. 

 

Namun yang menarik, menurut Anam, dari usaha ini adalah peraturan dasar CKM yang, kala itu, sudah disahkan sebagai model koperasi NU di tempat-tempat lain. Ini pertanda langkah awal menuju sosial ekonomi sudah mulai terlihat di tahun 1929 itu. 
Peraturan CKM mengenai pembagian keuntungan, misalnya, dibagi lima bagian: 40 persen untuk pegawai (penjual), 15 persen untuk pemilik modal, 25 persen untuk menambah kapital (berarti pemilik modal mendapat bagian 4O persen), 5 persen untuk juru komisi (iuru tulis) dan 15 persen untuk jam’iyyah Nahdlatul Ulama.     

 

“Apa yang terurai di atas, baik mengenai pendidikan, masalah sosial maupun dakwah, adalah sekadar contoh bagi usaha-usaha yang ditempuh NU di masa perintisannya. Dengan kata lain, pada awal sejarah pertumbuhannya, NU telah membuktikan pengabdiannya kepada agama dan masyarakat baik di bidang pendidikan, sosial maupun dakwah. Selain juga berhasil mengemban tugas sebagai pemelihara kelestarian paham Ahlussunah wal Jama’ah ‘ala mazhabil arba’ah,” tulis Anam dalam buku itu. 


Editor: Abdul Manap


Ngalogat Terbaru