Ngalogat

Kisah dan Nasehat-nasehat Kiai Hasan Maolani Lengkong dari Tanah Pengasingan

Sabtu, 7 Desember 2024 | 08:00 WIB

Kisah dan Nasehat-nasehat Kiai Hasan Maolani Lengkong dari Tanah Pengasingan

Kisah dan Nasehat-nasehat Kiai Hasan Maolani Lengkong dari Tanah Pengasingan. (Foto: istimewa)

Tulisan ini diambil dari buku berjudul Kiai Hasan Maolani Lengkong:  Sejarah dan Surat-suratnya dari Tanah Pengasingan yang ditulis Muhammad Nida' Fadlan yang diterbitkan Perpurnas press (2019). Kiai Hasan Maolani adalah Ulama kelahiran Desa Lengkong Kuningan, Jawa Barat, dilahirkan hari senin, pukul 5 tanggal 8 Jumadil Akhir 1196 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 21 Mei 1782 Masehi.


Kiai Hasan Maolani adalah Ulama Sufi kharismatik yang berpengaruh di Kuningan, diceritakan beliau adalah pengamal Tarekat Syattariyah yang jalurnya ke Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Dengan pola dakwah yang lembut dan santun akhirnya menarik simpati banyak rakyat. Kondisi rakyat yang saat itu dalam masa penjajahan dengan segala keterbatasan seolah mendapat oase dengan figur yang menyejukan. Tak heran rakyat berbondong-bondong mendatangi rumah beliau. 


Besarnya dukungan sosial dari masyarakat membuat pemerintah Hindia Belanda dilanda ketakutan, apalagi masa itu baru berakhirnya Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Dipanegara. Setelah dilakukan penyelidikan oleh Resedin Priangan, Kiai Hasan Maolani bersama pengikutnya dianggap akan menyerang pemerintah Hindia Belanda. Potensi itu direspon pemerintah Hindia Belanda dengan menangkap Kiai Hasan Maolani.


Perjalanan Menuju Tanah Pengasingan

Kiai Hasan mulai meninggalkan Lengkong pada bulan Safar 1257 Hijriyah bertepatan Maret atau April  1841 Masehi, saat itu beliau berusia 59 tahun. Setelah ditangkap Kiai Hasan Maolani dikurung di penjara Cirebon, kemudian dipindahkan ke penjara di Batavia sampai akhirnya dibuang ke Tondano Sulawesi. 


Kiai Hasan Maolani menceritakan perjalanannya dari Batavia ke Ternate, "Dari Betawi kemudian berlayar lagi ke Ternate pada hari Minggu tanggal 1 Mulud. Kemudian sampai ke Kampung Kema pada hari ahad, disana tinggal selama seratus hari dengan orang islam berasal dari Tegal yang memelihara babi layaknya ayam, setiap teras (rumah) penuh dengan kotoran babi. Penduduk di sana terdiri dari empat macam, yaitu orang Belanda, Nasrani, suku Alifuru dan orang Islam, Orang Nasrani jumlahnya banyak sedangkan orang Islam sedikit."


Selanjutnya dalam surat itu beliau menceritakan, dari Kampung Kema berangkat lagi ke Kampung Tondano dan ditempatkan di Kampung Jawa, dikumpulkan dengan orang Jawa yang beragama Islam, di Kampung Jawa terdapat 55 rumah. Ada empat Ulama besar, namanya Kiai Khalifah, Kiai Wahada, Kiai Baderan, dan Kiai Ghazali. (Mereka adalah pasukan Dipanegara yang dipimpin Kiai Khalifah (Kiai Modjo) bersama 60 pengikutnya, sekitar tahun 1830 ditangkap dan dibuang ke Tondano).


Ditulisan lainnya beliau menyatakan kerinduan kepada anak cucunya, dalam ungkapannya, "Saat ini Aku sedang dibuang, itu merupakan buah daripada ilmuku dan buah dari ilhamku yang berasal dari wahyu Alquran. Penyesalanku adalah karena Aku tidak dapat melihat anak cucu, tidak melihat secara nyata, tidak bisa berbicara langsung dan tidak bisa membimbing."


Nasehat-nasehat Kiai Hasan Maolani

Melalui uraian surat-suratnya yang ditujukan kepada anak cucunya Kiai Hasan Maolani memberikan dasar-dasar hakikat ilmu. Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa yang hatinya tidak mengambil matahari risalahnya Nabi SAW, maka terlaknat, terusir, dan terkena cobaan gelapnya kekafiran dan bencana. Ilmu adalah cahaya yang diambil dan dimuliakan Hadis."


Aku memiliki permintaan lagi untuk kalian, anak cucuku, pelajarilah ilmu-ilmu kitab! Mulai dari Alquran, tafsir, nahw, fikih, usul fikih, tarekat, tasawuf. Fahami maknanya dan laksanakan ajarannya! setelah memahami semuanya, buanglah! Maksudnya, jangan merasa paling bisa, jangan merasa paling lebih. Jangan merasa mengungguli oranglain, jangan merasa paling mampu, jangan merasa paling kuat, merasa paling mulia, merasa paling kaya.


Nabi SAW bersabda, " Barang siapa yang mencari ilmu untuk membanggakan diri dan berdebat, maka ia akan dibangkitkan dari kuburnya dalam bentuk babi, dan barang siapa mencari ilmu untuk menyombongkan diri, maka ia akan mati dalam kemusyrikan."


Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa yang mencari ilmu untuk dipamerkan, maka ia akan mati dalam kemunafikan. Dan barangsiapa mencari ilmu karena kezuhudan, maka ia akan mati sebagai orang yang beriman."


Selain dari uraian dasar-dasar mencari ilmu, ada uraian tentang ibadah mahdah dan goyru mahdah, tauhid, kewajiban mendirikan shalat, puasa, membaca Alquran,  silaturahmi dan ziarah kubur.


Dalam surat ke dua beliau mengingatkan, jangan saling mencela kepada sesama mukmin, karena berakibat nasib anak cucu tidak baik, melakukan sujud syukur pada setiap setelah shalat atau sujud taqorrub namanya, hal ini berguna untuk mencegah bahaya, mendekatkan kenikmatan, meminta keselamatan, atau karena telah mendapat kenikmatan, atau mendapat kesulitan laksanankan itu.


Di surat ke lima beliau menulis, jangan berani-barani melawan bapak ibumu, apabila kamu tidak ingin mereka merampas tubuhmu, jangan berani-berani melawan gurumu jika tak ingin ia merampas ilmumu, jangan berani-berani melawan mertuamu apabila kamu tidak ingin ia merampas istrimu.


Dalam Ziarah Kubur beliau menguraikan, Maka mintakanlah pahala melalui orang yang kamu ziarahi, Apabila kesulitan menghafal (bacaan zikir), bawa saja kitabmu ke kuburan ahli kitab, apabila Allah menghendaki, kamu akan diajari secara rohani. Maka saat kamu kesulitan membaca kitab atau lupa terhadap (...) dan penjelasannya, ingatlah gurumu serta Pengarang kitab tersebut. Kirimkanlah Surat al-fatihah untuk mereka, karena Surat al-fatihah adalah pembuka segala kesulitan. Semoga Allah berkenan memberikan pertolongan, seperti halnya 99 Nama Allah juga termasuk Surat al-fatihah.


Surat-surat itu dibuat kurun waktu tahun 1853-1854 dengan dititipkan kepada orang-orang yang akan kembali ke jawa. Surat pertama ditulis saat di Kampung Kema, dititipkan kepada seorang Sayyid dari Surabaya menantu Nyai Talam Lengkong, surat kedua saat tiba di Kampung Jawa dititipkan kepada nakhoda, Surat itu dirahasiakan karena aturan saat itu bila ingin mengirim surat harus diketahui residen dan harus menggunakan aksara latin agar dapat dibaca dan mudah diawasi.


​​​​​​​Disurat ke-7 Kiai Hasan Maolani menyampaikan tentang fitnah, Beliau menulis "Semoga kalian dapat menghadap kepada anak muridnya Raden Dipati Majalengka untuk meminta tolong. Semoga aku ditolongnya untuk disampaikan kepada Tuan Besar di Betawi, karena, sebelum aku dibuang, ia menyanggupi barangkali ada masalah terkait fitnah maka tidak perlu khawatir ia yang akan bertanggung jawab. Maka aku jawab iya, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Barangkali masih ingat akan disanggupi. Hanya Allah yang Maha Mengetahui."


Itu adalah sebagian kecil kisah dan surat-surat yang ditulis Kiai Hasan Maolani untuk anak, cucu dan pengikutnya.


Di Kampung Jawa Tondano Kiai Hasan Maolani mendirikan Pesantren bernama "Pesantren Rama Kiai Lengkong". Beliau menyebutkan sekitar 20 laki-laki dan 10 perempuan yang mengaji. Dalam uraian surat-surat itu banyak menukil dari kalam Ulama dan Kitab- kitab, diantaranya : Tafsir Anwar al-Tanzil,  Nasikh Mansukh, Munabbihat, Riyad al-Salihin, Fath al-Mubin, Lubab, Jurumiyah, Al-Misbah, Taqwim al-Lisan, Minhaj al-Abidin, Ihya Ulum al-Din, Ighatat al-Lahfan, Jawahir al-Quran, Kitab al-Sittin, Almuharrar, Taqrib, Ghayat al-Ikhtisar dan lainnya.


Kiai Hasan Maolani wafat pada tanggal 29 April 1874, dari surat yang dikirimkan pemerintah setempat Tondano menyebutkan, Kiai Hasan Maolani wafat pada 12 Mulud malam rabu waktu subuh ,Rabiul Awal tanggal 12 bulan Alif. Wafat di distrik Tondano, Kampung Jawa, dan di makamkan di komplek makam Kiai Mojo, Tondano, Sulawesi Utara. Wallahu a'lam bissawab


Nasihin, Pengurus Lesbumi PWNU Jawa Barat