• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Ngalogat

Islam Tradisional, Apakah Itu? 

Islam Tradisional, Apakah Itu? 
Islam Tradisional, Apakah Itu? 
Islam Tradisional, Apakah Itu? 

Salah satu contoh hegemoni kesarjanaan Barat adalah penggunaan istilah Islam tradisional. Apakah itu? Mengapa istilah itu digunakan dan untuk apa? 


Orang-orang di pedesaan Tasikmalaya atau Brebes mungkin tidak mengenal dan juga tidak merasa dirinya adalah kaum Islam tradisional. Mereka lebih sering menyebut dirinya Islam Ahli Sunnah wal Jamaah atau aswaja. Bagi mereka, Islam tradisional tetap merupakan istilah yang asing. 


Lagi pula, apa itu tradisi? Apakah ia merupakan warisan dari masa lalu atau sesuatu yang terus berubah? Siapa yang berhak mengatakan bahwa ini adalah tradisi dan itu adalah bukan? 


Dalam praktiknya, Islam tradisional digunakan oleh para sarjana Barat untuk mengidentifikasi sejumlah orang di masyarakat Muslim yang tetap berpegang teguh pada warisan keilmuan agama para leluhurnya. Mereka dibedakan dengan Islam modern yang dianggap lebih terbaratkan. Konteks dari proses pembedaan ini terjadi terutama pada tahun 1950-an ketika teori modernisasi masih sangat kuat--tetapi dalam banyak hal berlanjut hingga sekarang. 


Meski awalnya dipahami dalam pengertian yang merendahkan, belakangan Islam tradisional justru dipuji karena kemampuannya beradaptasi dengan kerumitan masyarakat multikultural. Para pemimpin Islam tradisional diunggulkan dibanding para elit Islam modern karena dianggap berhasil membawa para pengikutnya menuju praktik keagamaan yang lebih beradab. Buku-buku mengenai Nahdlatul Ulama selama 1980-an hingga 2000-an mengkonfirmasi hal tersebut. 


Akan tetapi, pujian terhadap Islam tradisional itu tidak lepas dari kebutuhan Barat di era pasca-Perang Dingin. Sejak runtuhnya komunisme, Barat berhadapan dengan kekuatan Islam politik yang mengkhawatirkan. Mereka, untuk mengantisipasi segala hal yang tidak diinginkan, membutuhkan sekutu yang didapatkannya dari para pemimpin Islam tradisional--yang memang sejak awal memiliki sikap yang kurang anti-Barat dibanding para elit Islam modern. 

 

Lebih belakangan lagi, pada sarjana Barat melihat Islam tradisional dan Islam modern sama saja--sama-sama konservatif yang sedemikian sehingga membuat demokrasi mengalami regresi. Lagi-lagi ini tidak lepas dari konstelasi keilmuan dan politik di negara-negara Barat sendiri yang terlihat frustrasi menghadapi berbagai krisis multidimensi. Mereka pusing dengan gelombang pengungsi yang bertubi-tubi, ekonomi yang melambat dan bahkan resesi, dan pandemi. Dalam situasi ini Islam tradisional tidak lagi dianggap sekutu seperti pada periode 1980-an hingga 2000-an.


Lalu bagaimana kaum Muslim "tradisional", khususnya kalangan intelektualnya, menanggapi ini? 


Amin Mudzakkir, Peneliti BRIN


Ngalogat Terbaru