Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim (4): Agama dan Negara
Jumat, 17 Januari 2025 | 10:19 WIB

Buku Islam, Otoritanisme dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim. (Gambar: Rudi Sirojudin A).
Rudi Sirojudin Abas
Kontributor
Selanjutnya, ada satu lagi faktor yang mempengaruhi otoritarianisme dan ketertinggalan sosial-ekonomi negara-negara di dunia Muslim (khususnya negara Muslim yang merdeka di abad ke-20) selain persekutuan antar ulama-negara dan terpinggirnya para intelektual dan borjuasi adalah penerapan konsep agama dan negara (din wa daulah) dalam sebuah institusi pemerintahan.
Titik persoalannya terletak pada pemahaman atas adagium yang menyatakan bahwa "Agama dan kekuasaan (sekuler) adalah saudara kembar." Pandangan ini pada awalnya diklaim oleh Hujjatul Islam Ghazali dalam al-Iqtisad fi al-I'tiqad (Tak Berlebihan dalam Berkeyakinan) sebagai suatu Hadis Nabi yang kemudian diadopsi juga oleh seorang sarjana Barat, Erwin Rosenthal melalui bukunya, Political Thought in Medieval Islam.
Teks lengkap adagium ini yakni: "Telah dikatakan bahwa agama dan sultan adalah saudara kembar, dan juga bahwa agama adalah dasar dan sultan adalah pelindung. Yang tidak memiliki dasar akan runtuh dan yang tidak memiliki pelindung akan hilang."
Namun, setelah dilakukan pengkajian lebih dalam, adagium ini disinyalir bukan berasal dari hadis Nabi. Ketika Ghazali menulis "telah dikatakan", Bagley (1964) menyatakan bahwa Ghazali sendiri tidak merujuk pada sebuah hadis. Sementara Ahmet T Kuru menyebut adagium "agama dan otoritas kerajaan adalah saudara kembar" merupakan pepatah terkenal Persia Sasaniyah dan bukan berasal dari Nabi.
Jauh sebelum Ghazali, kata Ahmet T Kuru, satu setengah abad sebelum Ghazali, ahli sejarah Mas'udi menyebut bahwa adagium 'Agama dan otoritas kerajaan adalah saudara' berasal dari wasiat pendiri Kerajaan Sasaniyah, Ardasyir 1 (memerintah 224-242) dengan redaksi: "Agama dan kerajaan adalah saudara kembar, yang tidak bisa ada tanpa satu sama lain; karena agama merupakan dasar kekuasaan kerajaan dan kerajaan merupakan penjaga agama. Setiap bangunan yang tidak memiliki dasar akan runtuh, dan setiap bangunan yang tidak dijaga akan hancur." Sebelum Mas'udi, wasiat Ardasyir ini telah diterjemahkan dari bahasa Persia Tengah ke bahasa Arab beberapa kali, yang pertama yaitu pada abad ke-8.
Terkait dengan relasi agama dan negara, Ghazali sendiri memiliki riwayat ketidak konsistenannya akan pentingnya hubungan agama (dalam hal ini diwakili ulama) dengan penguasa (negara). Pada awal karirnya, Ghazali menjalin hubungan erat dengan penguasa, dibuktikan dengan menjadi seorang pengajar di madrasah di bawah otoritas penguasa. Namun, setelah ia menempuh dunia sufi dan menjadi ulama independen, ia merasa menyesal telah terlibat bersama otoritas negara. Keadaan berubah lagi ketika Ghazali kembali mengajar di madrasah menjelang akhir hidupnya.
Dalam karya agungnya, Ihya Ulumudin, Ghazali menegaskan kembali kata-katanya tentang persaudaraan negara dan agama, tetapi di sisi lain ia mendesak para ulama untuk menghindari hubungan akrab dengan penguasa, karena lazimnya penguasa pada saat itu dinyatakan sebagai penindas dan korup. Dengan demikian, kondisi yang dialami Ghazali mengindikasikan bahwa ia mempunyai pandangan yang tidak konsisten terhadap keberadaan relasi agama dan negara. Maka, terlepas dari pembentukan persekutuan ulama-negara pada abad ke-11, gagasan ulama awal tentang perlunya jarak antara ulama dan otoritas politik masih bertahan sebagian di negara-negara Muslim hingga saat ini.
Propaganda Islamisme
Propaganda Islamisme merupakan sumber kedua kesalahan persepsi Islam sebagai yang menentang pemisahan agama dan negara secara inheren. Walaupun para Islamis hanya mendapat kekuasaan di beberapa negara, namun mereka telah membantu menggerakkan Islamisasi ruang publik di seluruh dunia Muslim dan menyebarkan persepsi Islam di seluruh dunia. Selama abad ke-20, pemimpin-pemimpin Islamis semisal Hasan al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir), Abdul A'la Maududi (pendiri Jamaat-e-Islami di anak benua India), dan Ruhollah Khomeini (pendiri Republik Islam Iran), menolak gagasan negara sekuler dan mengampanyekan penyatuan agama dan negara, melebihi gagasan pramodern tentang persekutuan agama-negara.
Al-Bana (1906-1943) mempopulerkan gagasan bahwa Islam merupakan agama sekaligus negara (al-Islam din wa daulah). Khomeini (1902-1989) yang merupakan ulama tekemuka Syiah dan pemimpin Islam revolusioner menyebut usaha pemisahan agama dan politik serta agar para ulama tidak ikut campur soal urusan sosial dan politik senyatanya bagian dari propaganda orientalis dan imperialis. Khomeini berargumen, tidaklah beriman orang yang mengikuti propaganda orientalis dan imperialis. Terkait dengan relasi agama dengan negara, Khomeini menyebut bahwa perwalian ahli hukum (velayat-e faqih) mensyaratkan dominasi ulama atas kekuasaan yudisial dan eksekutif. Dan inilah yang kemudian menjadi dasar sistem hukum politik di Iran pascarevolusi.
Dilain pihak, pada abad ke-20 dan awal abad ke-21 para sarjana Barat dan para pemikir Islam juga berpendapat bahwa Islam secara inheren menolak pemisahan agama-negara. Ahli sejarah Ira Lapidus berpendapat dalam beberapa publikasinya bahwa pemisahan Islam-negara di tingkat tertentu pernah ada pada awal sejarah Islam. Menurut Lavidus, persekutuan ulama-negara muncul selama dan setelah abad ke-11.
Sementara pemikir Islam Seyyid Bey (juga seorang ahli hukum Islam dan ulama Osmani) menganjurkan pemisahan antara negara dan agama. Saat Republik Turki berdiri pada 1924 dan Seyyid Bey menjadi menteri kehakiman, ia berpidato di depan parlemen seraya menggaungkan penghapusan sistem khalifah dalam sebuah pemerintahan. Argumen Seyyid Bey mengacu pada (1) Islam tidak membutuhkan institusi politik seperti kekhalifahan dan mengizinkan orang-orang untuk menentukan institusi politik mereka sendiri; (2) kekhalifahan telah didasari pada perwakilan rakyat, serta perwakilan rakyat yang baru dan sejati adalah parlemen; (3) Nabi Muhammad sendiri menyatakan bahwa kekhalifahan sejati hanya bertahan selama tiga puluh tahun setelah dirinya meninggal dan akan diikuti oleh kesultanan yang korup; dan (4) banyak orang Arab bersekutu dengan Inggris melawan khalifah Osmani selama Perang Dunia I.
Pemisahan antara agama dan negara dalam sebuah konstitusi pemerintahan juga ditentang oleh seorang ahli hukum Islam dari Mesir, Ali Abdurrazik. Ia menulis risalah berpengaruh yang menentang gagasan kekhalifahan Islam. Dia berpendapat bahwa (1) tak ada bukti dalam Al-Qur'an maupun Hadis tentang perlunya otoritas politik Islam (khalifah); (2) tindakan politik Nabi dipandangnya sebagai kebutuhan duniawi, bukan misi religius utamanya; (3) Nabi tidak meninggalkan penerus politik maupun sistem politik; dan (4) sejarah kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah penuh dengan pemberontakan dan penindasan, serta menunjukkan sifat korup politik.
Hal serupa juga, sekitar satu abad kemudian, seorang Mesir yang lain, adik bungsu Hasan al-Banna, Gamal al-Banna menyerukan dalil yang sama, yakni menentang sistem kekhalifahan. Ia berpendapat bahwa kekuasaan negara secara inheren dan tidak dapat dihindari merusak agama apa pun, termasuk Islam. Baginya, Islam adalah Agama dan Umat, bukan Agama dan negara (al-Islam Din wa Ummah, wa Laysa Dinan wa Daulah). Ia berargumen melalui sekumpulan ayat-ayat Al-Qur'an bahwa (1) Nabi merupakan seorang utusan, bukan penguasa; (2) masalah keimanan merupakan hak prerogatif Tuhan; (3) keimanan adalah pilihan pribadi manusia; (4) tidak ada hukuman duniawi atas orang murtad; dan (5) Islam mengutamakan umat, bukan negara. Gamal berpendapat bahwa otoritas Nabi seharusnya tidak dijadikan model untuk zaman sekarang karena pemerintahannya sangat berbeda dibanding negara modern, termasuk dalam hal pelembagaan kekerasan dan kapasitas lainnya.
Namun pengaruh Seyyid Bey dalam menggelorakan pemikirannya tidak sekuat Hasan al-Banna, Maududi, dan Khomeini. Karena terlalu konservatif kepada Mustafa Kemal Ataturk, Seyyid Bey dan Ali Abdurrazik pun disingkirkan. Begitu pula dengan Gamal al-Banna tidak mampu menandingi pengaruh kakaknya, Hasan al-Banna.
Ahmet T Kuru menyebut, setidaknya ada dua alasan mengapa para pemikir Islam yang menggelorakan pemisahan agama dan negara tidak banyak mendapat tempat. Pertama, karena posis mereka ada di pertengahan jalan antara Islamis dan sekuleris tak memberi dukungan sedikit pun dari kedua kelompok yang terpolarisasi itu. Kedua, gagasan persekutuan Islam-negara, atau lebih spesifiknya persekutuan ulama-negara, sangat kuat di Mesir dan Turki, dan banyak masyarakat Muslim lainnya sehingga siapa pun yang berani mengkritik gagasan tersebut kemungkinan besar akan dipinggirkan, bahkan juga dipersekusi.
Bersambung.
Judul Buku: Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim.
Penyunting: Andya Primanda
Penerbit: PT Gramedia Jakarta
Cetakan: (1) Desember 2020 (2) Januari 2021 (3) Juni 2021 (4) Januari 2022 (5) September 2022 (6) November 2023
Tebal: 486 halaman
ISBN: 978-602-481-517-2
Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut
Terpopuler
1
Pelunasan Haji Khusus 2025 Memasuki Hari Keempat, Kuota Terisi Hampir 50%, Masih Dibuka hingga 7 Februari
2
LAZISNU Depok Resmi Jadi Percontohan dalam Program Koin Digital NU
3
3 Peristiwa Penting di Bulan Syaban, Bulan Pengampunan dan Rekapitulasi Amal
4
IPNU-IPPNU Kabupaten Tasikmalaya Gelar Diklat Aswaja, Perkuat Pemahaman Keaswajaan Pelajar NU
5
Menjaga Warisan Gus Dur: Alisa Wahid dan Tantangan Toleransi di Indonesia
6
Hasil Bahtsul Masail Kubro Putri se-Jabar di Pesantren Sunanulhuda 2025 terkait Hukum Sungkem dan Mushofahah kepada Guru, Download di Sini
Terkini
Lihat Semua