• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Ngalogat

Aneh, di Cibojong Mesjidnya Tidak Pakai Toa

Aneh, di Cibojong Mesjidnya Tidak Pakai Toa
Salah satu kegiatan santri di dalam mesjid Pesantren Nurulhuda Cibojong Garut (Foto: dok. Pesantren Cibojong)
Salah satu kegiatan santri di dalam mesjid Pesantren Nurulhuda Cibojong Garut (Foto: dok. Pesantren Cibojong)

Awal-awal menjadi bagian keluarga di Garut tahun 2006, aku merasakan sesuatu yang janggal. Tidak lazim. Ini tidak seperti NU yang kuketahui semenjak masa kecil hingga sebelum nikah dan punya keluarga baru. Padahal pesantren keluarga baruku, Pesantren Nurulhuda Cibojong Garut ini adalah penganut NU tulen. NU yang sudah teruji dari zaman ke zaman. Mulai dari zaman diuber-uber oleh DI/TII, represi Orba, hingga pasca-reformasi, keluarga baru ini tetap istiqomah dan setia ber-NU. Tidak peduli siapapun pemimpinnya.


Pada hari pertama, keanehan itu langsung bisa kurasakan. Yakni, tidak ada pengeras suara yang hingar bingar. Untuk adzan lima waktu, hanya menggunakan speaker dalam dan toa kecil yang tidak akan terdengar bila berbeda RT.

 

Selebihnya, untuk pengajian, ngaji kitab, diba'an, majelis dzikir dan lain-lain, cukup hanya menggunakan speaker dalam saja.

 

Lalu kutanyakan ke Abah (KH. M. Nuh Addawami, red) mengenai hal ini. Cukup panjang jawabannya, disertai berbagai argumentansi. Mulai dari fikih hingga ketenteraman sosial lainnya. Ini cukup menarik. Bukan saja 100% di sekeliling kami adalah muslim, 100% adalah warga NU.

 

Lalu kenapa beliau juga menyandarkan pada argumentansi ketentraman sosial? Sederhana saja, setiap individu, kebutuhan dan keluasan waktunya tidak sama, termasuk untuk mencurahkan segenap waktunya untuk ritual-ritual keagamaan yang kucontohkan di atas.

 

Soal adzan tanpa speaker luar yang bisa menembus seantero kampung, Abah berargumen bahwa menjawab adzan ini hukumya wajib. Tidak terbayangkan bila warga yang jauh dari pesantren, harus menjawab adzan untuk kesekian kali, termasuk dari pesantren kami. Padahal sebelumnya mungkin sudah menjawab adzan dari mesjid atau musholla yang terdekat dari rumahnya.

 

Apakah ini kearifan lokal? Tidak juga. Ini jelas kok argumentansi fikihnya. Jadi memang sebaiknya harus ada aturannya. Kenapa negara yang mengatur? Ya karena masyarakat belum bisa mengatur dirinya sendiri. Bukankah itu fungsi negara? 


Irham Ali Saifuddin, aktivis NU tinggal di Garut.


Editor:

Ngalogat Terbaru