• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 16 Mei 2024

Nasional

Abah Nuh: Harus Sanggup Hidup, Bukan Berani Mati

Abah Nuh: Harus Sanggup Hidup, Bukan Berani Mati
Rais Syuriyah PWNU Jawa Barat KH M Nuh Addawami (Foto: NU Online Jabar/Iip)
Rais Syuriyah PWNU Jawa Barat KH M Nuh Addawami (Foto: NU Online Jabar/Iip)

Garut, NU Online Jabar
Orang yang sanggup hidup, berikhtiar, dan bertawakal kepada Allah, akan berhasil melewati berbagai kesulitan. Orang yang beriman itu bukan yang berani mati, tapi orang yang tidak takut mati. Orang yang sanggup hidup akan berusaha, tetapi tidak tergantung kepada usahanya tersebut. Ia tetap bergantung pada rahmat Allah agar mendapatkan kemudahan.
Demikian disampaikan oleh Rais Syuriyah PWNU Jawa Barat KH M Nuh Addawami, saat ditemui NU Online Jabar di kediamannya (22/12). Kiai Nuh mengingatkan bahwa dalam menghadapi cobaan Covid-19 ini, merupakan waktu yang tepat untuk meningkatkan keimanan. 

“Orang beriman itu adalah yang sanggup hidup dan tidak takut mati. Tapi, bukan berani mati. Orang yang berani mati itu berarti tidak beriman,” ujarnya.

Abah Nuh mengutip ayat Al-Quran yang menyatakan, “Janganlah kamu mengharap-harap kematian.”.

Saat mendapatkan kesulitan, orang yang beriman akan tetap berani hidup, sebab ia mempercayai ketentuan Allah. 

“Sesungguhnya bersama kesulitan itu akan ada kemudahan,” lanjut Abah Nuh mengutip ayat dalam surat Al-Insyirah.

Untuk mencapai kemudahan itu, jelasnya, tetap harus dengan usaha yang disertai tawakal kepada Allah. 

“Bukan tawakal kepada usaha, tetapi kepada Allah. Tawakal itu bukan berarti tidak berusaha, tapi tidak tergantung pada usaha tersebut,” tegasnya.

Pengasuh Pesantren Nurul Huda Cibojong Cisurupan Garut itu juga memaparkan bahwa musibah yang panjang ini terkait dengan pintu-pintu rejeki. Menurutnya, pintu rejeki itu ada dua, yang diberikan langsung (tajrid) dan yang diberikan atas sebuah usaha (asbab). Siti Maryam menjadi contoh yang baik dalam penggambaran dua macam rejeki tersebut. Ketika ia masih dalam pengawasan Nabi Zakariya, berbagai makanan dan buah-buahan selalu terhidang tanpa ia berusaha. Tetapi setelah ia melahirkan dan merasa lapar, ia diperintahkan Allah mendekati pohon kurma untuk sekedar mendapatkan buah kurma segar.

“Kebanyakan dari kita berada dalam maqam asbab ini. Rejeki tidak datang tanpa usaha, sekalipun usahanya itu hanya dengan keluar dari rumah,” lanjutnya. 

Terkait perkembangan ekonomi Indonesia, Abah Nuh sepenuhnya mempercayakan kepada para ahli yang telah dipilih oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan ini. Dalam pandangannya, ilmu pengetahuan sudah semakin berkembang dan informasi kian terbuka. Hal itu akan membuat banyak kemudahan. Kejadian-kejadian di masa lalu yang menimbulkan keguncangan ekonomi sampai muncul penyakit busung lapar, menurutnya, insyaallah tidak akan terjadi lagi.

“Justru ke depan ini yang saya khawatirkan adalah orang bertengkar karena rebutan limpahan rejeki,” ujarnya.

Menurutnya, pada kondisi inilah warga nahdliyin dituntut untuk semakin tekun beribadah seraya bertawakal. 

“Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah yang akan mencukupinya,” paparnya mengutip ayat dalam surat At-Thalaq.

Abah Nuh berpesan agar warga NU mampu mengatasi berbagai kecemasan dan jangan sampai menjadi korban dari kecemasan. Apalagi kecemasan yang timbul dari angan-angan sendiri. 

“Warga NU harus bisa mengatsi kecemasan, jangan kalah sebelum bermain,” ingatnya. 

Kecemasan itu akan menjadi beban dalam jiwa yang menimbulkan penyakit. Cara untuk mengatasinya adalah dengan menjauhi persoalan yang mendatangkan kecemasan tersebut. Ia mencontohkan, informasi yang tidak jelas tentang berbagai hal di media sosial, sebaiknya segera dijauhi.

Salah satu cara untuk mencapai ketentraman hati, menurut Abah Nuh, adalah dengan menjauhi keinginan atas hal-hal yang tidak akan tercapai. Kemudian tidak menjadikan rasa sugema atau kepuasan, sebagai tujuan. 

“Dunia ini bukan tempat untuk berpuas diri, melainkan untuk mengendalikan nafsu dalam upaya mencapai kepuasan itu,” tuturnya.

Orang yang ingin puas dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya, ingatnya, ia akan jadi orang hasud. Kalau sudah hasud, maka terbukalah pintu-pintu kekacauan. Orang yang hasud itu akan menerima siksaan, selagi ia masih hidup di dunia. Melihat orang lain sukses, ia akan merasa tersiksa. 

“Maka jadikanlah dunia ini sebagai tumbal ketidakpuasan, agar kelak mendapatkan kepuasan di akhirat,” pungkasnya.

Editor: Iip Yahya


Editor:

Nasional Terbaru