• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 29 Juni 2024

Kota Bandung

Peluang dan Tantangan PP 25/2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba dari Sejumlah Akademisi dan Praktisi Hukum

Peluang dan Tantangan PP 25/2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba dari Sejumlah Akademisi dan Praktisi Hukum
foto pembukaan diskusi Publik BEM dan PMII Fakultas Hukum Uninus terkait PP 25/2024 di Gedung Pascasarjana Uninus, Selasa (25/6/2024). (Foto: NU Online Jabar/Jundi)
foto pembukaan diskusi Publik BEM dan PMII Fakultas Hukum Uninus terkait PP 25/2024 di Gedung Pascasarjana Uninus, Selasa (25/6/2024). (Foto: NU Online Jabar/Jundi)

Kota Bandung, NU Online Jabar
Salah seorang dosen fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara (Uninus) Saji Sonjaya mengatakan, kebijakan yang tertuang dalam Pasal 83A PP No 25 tahun 2024 dengan adanya prioritas bagi Badan Usaha milik Ormas Keagaman untuk mengelola tambang batubaru exs PKP2B tentu ada pro dan kontra serta tentu ada positif negatifnya. 


"Kalau dilihat, tentu tujuan Pemerintah baik agar ormas keagamaan bisa lebih mudah untuk berperan didalam usaha pertambangan. Usaha tambang tidak hanya berputar di perusahaan itu itu saja, sehingga ormas keagamaan bisa mempunyai kekuatan yang lebih kuat untuk pemberdayaan dan mensejahterakan masyarakat," jelasnya saat menjadi pembicara pada diskusi publik yang digelar oleh BEM Fakultas dan PMII Rayon Hukum Uninus di Gedung Pascasarjana Uninus, Selasa (25/6/2024). 


Bagi ormas keagamaan, sambung pria yang juga menjabat sebagai ketua Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum (LPBH) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Bandung tersebut, ini peluang dan tantangan.


"Peluang untuk ikut berperan dalam usaha tambang, dan tantangan agar ormas Islam bisa menjadi contoh yang baik dan benar serta profesional dalam usaha pertambangan dari mulai penyelidikan, ekplorasi, inprastruktur sampai proses penambangan dan reklmasi bekas tambang," paparnya.


Saji juga menjelaskan, bahwa Industri pertambangan mineral dan batu bara (Minerba), tidak lepas dari aspek kepatuhan terhadap berbagai regulasi, dari regulasi yang ada. Mengenai hal tersebut, ia mengelompokkannya menjadi:


Pertama, regulasi operasional diantaranya terdapat regulasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dari Kementerian Ketenagakerjaan RI (Kemnaker) mengingat aktivitas pertambangan memiliki risiko tinggi;  


Kedua, regulasi teknis dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI (KESDM), 


Ketiga, regulasi pendukung misalnya regulasi yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (KLHK) tentang pemenuhan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan persetujuan penggunaan kawasan, berkaitan dengan pengelolaan kawasan pertambangan di kawasan hutan;


Keempat, regulasi tambahan: Ketika perusahaan pertambangan minerba memiliki aset-aset tertentu untuk memfasilitasi aktivitas logistik, mobilisasi, hingga mendukung kesehatan sumber daya manusia. Misalnya, aset infrastruktur berupa pelabuhan dan rumah sakit.


Hal senada juga disampaikan oleh pembicara kedua, yakni Vino Febryanto. Ia menilai, kerangka regulasi pertambangan minerba tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


"Entitas yang bergerak di bidang ekstraktif memiliki risiko bawaan (inherent risk) dengan level yang cukup tinggi. Cara untuk mengelola risiko tersebut agar tidak berdampak buruk terhadap Perusahaan adalah dengan menerapkan Good Corporate Governance (GCG). Tentu, Penerapan GCG dapat maksimal apabila perusahaan menerapkan 5 (lima) prinsip GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kewajaran dan kesejahteraan," tuturnya.


Vino juga menambahkan bahwa Ikhtisar atas kinerja dan penerapan tata Kelola Perusahaan selama suatu periode tertentu tercermin ke dalam suatu proses Pelaporan Korporat yang menghasilkan Laporan Keuangan.


"Bisnis ekstraktif memiliki dampak yang signifikan terhadap keseimbangan ekologis dan perubahan iklim maka Perusahaan yang bergerak di bidang bisnis ekstraktif terutama yang berstatus Perusahaan terbuka wajib untuk melaporkan aktivitas bisnis dan penanggulangan dampak melalui pelaporan berkelanjutan (sustainability report) yang menjadi unsur komplementer dalam pelaporan keuangan Perusahaan. Selain itu, perusahaan yang bergerak di bidang bisnis ektraktif wajib memproyeksikan penerapan Pajak Karbon meskipun hingga 2024 ruang lingkup Pajak Karbon di Indonesia masih terbatas pada PLTU Batubara.
 

Ia juga menyarankan agar sejumlah Badan Hukum yang dibentuk PBNU untuk mengelola IUP Tambang perlu mematuhi prinsip GCG agar terhindar dari konflik kepentingan.


"PBNU selaku beneficiary owner atas Badan Hukum pengelola IUP Tambang perlu memastikan bahwa pelaporan korporat baik dari aspek keuangan maupun operasional dilakukan secara berkala dan diukur untuk menentukan kewajaran pelaporan korporat badan hukum pengelola IUP Tambang tersebut. Meskipun Badan Hukum yang dibentuk PBNU belum menjadi perushaaan publik tidak ada salahnya bagi PBNU untuk mendorong badan hukum yang mengelola IUP Tambang untuk menerbitkan laporan sustainability report secara berkala," katanya.


Selain itu, ia juga menyarankan agar PBNU perlu mengkaji aspek Going Concern industri pertambangan apabila ekstensifikasi pajak karbon dilakukan pasca tahun 2024. 


Editor:

Kota Bandung Terbaru