• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 12 Mei 2024

Keislaman

Menyingkap Rahasia Rasm Al-Qur’an Utsmani: Penafsiran Muhammad Syamlul (Bagian 1)

Menyingkap Rahasia Rasm Al-Qur’an Utsmani: Penafsiran Muhammad Syamlul (Bagian 1)
Gambar Mushaf Utsmani. (Foto: BBC.com)
Gambar Mushaf Utsmani. (Foto: BBC.com)

Ragam penulisan (rasm) Al-Qur’an merupakan salah satu kemukjizatan (i’jaz) Al-Qur’an. Kita ketahui bahwa penulisan dalam Al-Qur’an selama ini mengalami pola penulisan yang berbeda-beda. Perbedaan inilah dalam pandangan Muhammad Syamlul, salah satu mufasir Al-Qur’an justru memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang tafsir Al-Qur’an. 


Syamlul merupakan mufassir yang concern dalam bidang rasm Al-Qur’an, beberapa penafsirannya ia tuangkan dalam karyanya yang berjudul I’jaz Rasm Al-Qur’an wa I’jaz Al-Tilawah (Kemukjizatan penulisan Al-Qur’an dan kemukjizatan bacaan). Karya yang satu ini memberikan perhatian besar di bidang tafsir kontemporer, karenanya di sini kita akan sedikit memberikan gambaran umum dalam bidang ilmu rasm Al-Qur’an.


Rasm secara etimologi berasal dari kata rasama-yarsamu-rasman, yang memiliki arti menggambar atau melukis. Sinonim dari kata ini adalah as-zabur, as-satr, ar-raqm dan al-khat. Secara terminologi, Manna Al-Qathan mengatakan bahwa rasm merupakan penulisan mushaf dalam mushafnya utsmani yang berasal dari sahabat Utsman bin ‘Affan.


Syamlul sendiri menjelaskan bahwa maksud rasm Al-Qur’an adalah penulisan ayat-ayat Al-Qur’an ditinjau dari bentuk huruf berupa kata yang ada di dalam Al-Qur’an dan jumlah hurufnya. Jadi, rasm yang dimaksud bukan penulisan Al-Qur’an dengan kaidah khat naskhi, kufi, atau lainnya.


Lebih jelasnya, Akhsin Sakho memberikan pengertian bahwa ilmu rasm Al-Qur’an merupakan bagian dari studi ulumul Qur’an yang berisi tentang cara penulisan dalam Al-Qur’an, kaidah-kaidah dalam penulisan, dari kaidah ini seseorang dapat mengetahui penulisan Al-Qur’an yang benar sesuai mushaf ustmani.


Meneropong perkembangan penulisan Al-Qur’an sejak era Abu Bakar, banyak sekali penulisan (rasm) Al-Qur’an yang bervariatif, hal ini disebabkan dialek kaum pada masa Nabi Muhammad Saw. sudah nampak beragam dalam cara bacanya, maka tidak heran para sahabat menulisnya sesuai apa yang dikonfirmasi Nabi.


Fenomena inilah yang mendorong khalifah Utsman bin Affan dan sahabat lainnya bermaksud melakukan standarisasi (penyeragaman) penulisan Al-Qur’an yang mampu menampung semua ragam bacaan Al-Qur’an.


Setelah mushaf Al-Qur’an ditulis ulang (dari mushaf yang disimpan Hafshah, istri Nabi) oleh tim penyalin, terdiri atas Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Al-Harits. Khalifah Utsman segera memberikan ultimatum kepada para pemimpin negeri untuk membakar seluruh mushaf sebelumnya yang bertujuan agar tidak terjadi fitnah ke depannya. Mushaf yang ditulis ulang itu sampai sekarang dikenal dengan mushaf rasm utsmani.


Hukum Penulisan (Rasm) Al-Qur’an


Para ulama berbeda pendapat tentang penulisan (rasm) Al-Qur’an apakah bersifat tauqifi (ketetapan langsung dari Allah dan Rasul-Nya) atau hanya ijtihadi (upaya para sahabat Nabi saja). 


Pendapat pertama, mayoritas ulama mengatakan bahwa rasm Al-Qur’an adalah tauqifi. Maka, bila mengikuti pendapat ini hukum rasm utsmani dalam penulisan Al-Qur’an adalah wajib.


Pendapat ini didukung oleh Imam Al-Suyuthi dengan dalil firman Allah dalam surat Al-‘Alaq ayat 4-5 (الَّذِىۡ عَلَّمَ بِالۡقَلَمِ.عَلَّمَ الۡاِنۡسَانَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ) dan Al-Qalam ayat 1 (نٓ‌ ۚ وَالۡقَلَمِ وَمَا يَسۡطُرُوۡنَ), bahwa setiap huruf-huruf Al-Qur’an itu sudah ada sejak Allah ajarkan kepada Nabi Adam As.


Artinya, dalam penulisan Al-Qur’an harus sesuai dengan apa yang telah dituliskan sebelumnya, yakni menggunakan huruf-huruf Hijaiyyah. Sebagai contoh, penulisan wawu pada ayat اُوْلُوْ الْاَلْبَابِ, وَاُوْلَاتِ, الرِّبَوا, dan lainnya. Jika seseorang tidak mengikuti ketentuan tersebut, maka menurut Imam Ahmad bin Hanbal hukumnya haram membedakan tulisan mushaf utsmani pada lafal yang terdapat Ya, Wawu, Alif, atau selainnya.


Pendapat kedua, sebagian ulama mengatakan bahwa penulisan Al-Qur’an bukan tauqifi, tetapi hanyalah ijtihad para sahabat. Kelompok inilah, seperti Al-Qadhi Abu Bakar membolehkan penulisan (rasm) Al-Qur’an tidak harus utsmani, yakni bisa berupa rasm imla’i (penulisan menurut kelaziman pengucapan), seperti الصَّلَاة، الزَّكَاة (dalam rasm imla’i), berbeda dengan الصَّلوٰاة، الزَّكوٰاة (dalam rasm utsmani).


Pendapat ketiga, mengatakan bahwa penulisan rasm imla’i dibenarkan khusus bagi orang awam. Bagi para ulama atau seseorang yang memahami rasm utsmani tetap wajib menjaga keaslian rasm tersebut. Pendapat ini diperkuat oleh Al-Zarqani yang mengutip pendapat ‘Izzuddin bin Abdussalam bahwa rasm imla’i diperlukan untuk menghindari umat dari kesalahan membaca Al-Qur’an, sedang rasm utsmani diperlukan untuk memelihara keaslian mushaf Al-Qur’an.


Penafsiran Muhammad Syamlul


Melihat keniscayaan ragam penulisan Al-Qur’an, Syamlul justru lebih cenderung mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa rasm Al-Qur’an adalah tauqifi. Beliau melakukan renungan terhadap perbedaan tulisan dalam rasm utsmani bukan semata ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Melainkan perbedaan yang ditemukan itu, pasti memiliki tujuan yang mulia dimana di dalamnya terdapat rahasia-rahasia yang Allah istimewakan dalam kitab-Nya.


Syamlul berkeyakinan bahwa perbedaan rasm utsmani dengan imlai’i akan tampak berbeda bila diteliti hikmah di dalamnya, sebagaimana pendapat Al-Razi yang mengatakan bahwa setiap huruf, kalimat, dan harakat dalam Al-Qur’an memiliki makna tersendiri. Menurut Syamlul, makna-makna tersebut dapat digali oleh seseorang melalui ijtihad (observasi) dan tadabur (kontemplasi) terhadap makna dan rahasia ayat-ayat Al-Qur’an.


Syamlul memberikan gambaran konkritnya, ia mempertanyakan kenapa lafal بِسْمِ (tanpa alif) dinisbatkan kepada lafal الله, sementara penulisan umumnya بِاسْمِ dinisbatkan kepada رَبّكَ? Kenapa lafal  الصَّلوٰاة، الزَّكوٰاة ditulis demikian? Kenapa pada lafal نِعْمَتَ، رَحْمَتَ ditulis demikian (bukan نِعْمَةَ، رَحْمَةَ)?


Perbedaan lafal-lafal tersebut yang menurut Syamlul perlu untuk ditadaburi, mungkinkah terdapat rahasia agung dibalik perbedaan itu. Syamlul menjelaskan bahwa kalimat-kalimat yang memiliki tambahan huruf (seperti الصَّلوٰاة) biasanya menunjukkan tambahnya makna. Bisa jadi makna tersebut berupa kelambanan, kelalaian, kontemplasi, atau pemisahan bagian. Bila kalimat-kalimat itu berkurang (seperti قٰلَ tanpa alif) bisa jadi maknanya adalah kecepatan peristiwa, kontraksi atau tekanan makna, atau hubungan yang erat pada suatu bagian. Wallahu A’lam


Irfan Fauzi, penulis merupakan pegiat kajian di bidang Al-Qur’an dan Hadis, Santri Pondok Pesantren Al-Munawwir dan Mahasiswa Magister IAT UIN Sunan Kalijaga.


Referensi:

Muhammad Syamlul, I’jaz Rasm Al-Qur’an wa I’jaz Al-Tilawah (Kairo: Dar Al-Salam, 2006).

Muhammad Abd Al-Adzim Al-Zarqani, Manahil Al-’Irfan fi Ulum Al-Qur’an (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1995).

Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2008).

Muhammad bin Abdullah Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an (Kairo: Dar Al-Turats, t.t).


Keislaman Terbaru