Memahami Praktik Poligami Nabi Muhammad yang Kerap Disalahartikan
Selasa, 12 November 2024 | 10:00 WIB
Bandung, NU Online Jabar
Praktik berpoligami berarti mempunyai istri lebih dari satu. Hal ini sering disalah dipahami oleh kebanyakan orang Islam sebagai sunnah yang apabila diikuti mendapat pahala dan keutamaan. Argumentasi dan dalil yang mereka gunakan adalah praktik poligami yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW dan menjadikannya dalil kesunnahan berpoligami.
Padahal praktik poligami yang dilakukan oleh nabi kebanyakan merupakan perintah dari Allah SWT dan ditujukan bagi kemaslahatan.
Ada juga yang menjadikan Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 3 sebagai dalil kesunnahan poligami.
Baca Juga
Poligami Tanda Ketidaksempurnaan
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ
Artinya: “Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim."
Ada banyak kalangan yang berpoligami berdasarkan dua argumentasi tersebut dan berdalih bahwa poligami adalah adalah suatu kesunahan yang patut diikuti. Padahal jika ditinjau dari sejarahnya poligami yang dilakukan oleh nabi bukanlah berasal dari keinginan beliau, tetapi semata-mata karena perintah Allah SWT, bukan dengan tujuan mengikuti hawa nafsu tetapi demi kemaslahatan umum.
Mengutip tulisan Alwi Jamalulel Ubab di laman NU Online, berikut beberapa argumentasi yang membuktikan pendapat ini ialah
Pertama, Nabi Muhammad saw melakukan praktik monogami dengan hanya bersama Siti Khadijah selama kurang lebih 25 tahun. Baru setelahnya, selama kurang lebih 13 tahun, Nabi Muhammad berpoligami. Dalam artian, monogami yang dilakukan Nabi Muhammad saw lebih lama dibanding poligaminya.
Ibnu Katsir menjelaskan:
وَكَوْنِهِ لَمْ يَتَزَوَّجْ عَلَيْهَا حَتَّى مَاتَتْ إِكْرَامًا لها
Artinya: “Nabi Muhammad tidak menikah dengan perempuan lain hingga Siti Khadijah wafat untuk memuliakannya”. (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, [Darul Fikr, tt], juz III, hal 129).
Kedua, Nabi Muhammad saw berpoligami setelah memasuki usia senja yaitu umur 50 tahun. Kemudian semua perempuan yang dinikahi Nabi saw selain Aisyah merupakan janda. Hal tersebut menunjukkan bahwa poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad bukanlah berlandaskan syahwat. Sebab jika tujuannya syahwat, maka seharusnya dilakukan pada saat usia muda dan yang dinikahi pun perawan. (Muhammad Ali As-Shabuni, Syubuhat wa Abathil haula Taaddudi Zawjati Rasul, hal 10).
4 Hikmah Poligami Nabi Muhammad
Di lain sisi, terdapat beberapa hikmah atas poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Syekh Muhammad Ali As-Shabuni dalam kitabnya menjelaskan ada 4 hikmah poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw:
Pertama, hikmah pengajaran.
Yaitu istri-istri Nabi Muhammad saw yang menjadi perantara untuk mengajar dan menyebarkan Islam kepada masyarakat perempuan. Sebab terkadang, banyak dari kalangan kaum perempuan saat itu malu untuk bertanya secara langsung kepada Nabi Muhammad saw terkait permasalahan syariat. Terlebih yang berhubungan dengan hukum haid, nifas, dan hal kewanitaan lainnya.
Istri Nabi, dalam hal ini berperan sebagai 'jembatan' yang menjembatani tersampaikannya penjelasan hukum-hukum terkait kewanitaan kepada khalayak. Sebagaimana dilakukan oleh banyak wanita Anshar saat itu mendatangi Siti Aisyah untuk bertanya terkait persoalan agama bagi perempuan.
Kedua, hikmah pensyariatan.
Yaitu di antaranya ialah pembatalan praktik hukum tabanni (anak angkat) yang dihukumi sebagaimana anak kandung pada saat itu, baik dari segi hukum maupun waris. Untuk membatalkannya, Nabi Muhammad saw diperintahkan oleh Allah untuk menikahi Zainab binti Jahs yang merupakan mantan istri dari anak angkatnya, Zaid bin Haritsah
Hingga pada titik di mana Allah sampai memberi peringatan kepada Nabi Muhammad saw yang sempat khawatir mendapat stigma negatif dari masyarakat karena menikahi mantan istri anak angkatnya dengan turunnya Qs Al-Ahzab: 30. Ayat tersebut berisi peringatan bahwa Nabi Muhammad tidak perlu takut akan anggapan masyarakat. Sebab pada hakikatnya tujuan dari pernikahan tersebut ialah membatalkan kebiasaan buruk jahiliyah yang masih melekat di tengah masyarakat, yaitu menganggap hukum anak angkat sama seperti halnya anak kandung.
Dengan demikian pernikahan Nabi Muhammad saw ini merupakan perintah dari Allah dan bukan karena syahwat dan hawa nafsu belaka.
Ketiga, hikmah komunal-masyarakat.
Hikmah selanjutnya yang dapat diambil dari poligami Nabi Muhammad saw ialah hikmah kemasyarakatan. Hal tersebut tampak dengan Nabi Muhammad saw yang menikahi putri dari Abu Bakar As-Shiddiq (Aisyah) dan putri dari Umar bin Khattab (Hafshah).
Dengan menikahi keduanya, Nabi Muhammad saw secara tidak langsung menghubungkan banyak kabilah Quraisy dengan ikatan yang kuat. Hikmah yang dapat ditemukan pula pada Nabi Muhammad yang menikahkan 2 putrinya dengan Utsman bin Affan.
Keempat, Hikmah perpolitikan.
Nabi Muhammad saw menikahi sebagian istrinya di antaranya ialah untuk menggaet dan meluluhkan hati kabilah agar mau memeluk Islam. Hal tersebut terjadi pada beberapa pernikahan Nabi Muhammad saw, di antaranya dengan Juwairiyah binti Harits yang merupakan putri dari pimpinan kabilah Bani Musthaliq.
Juwairiyah menjadi tawanan perang ketika pasukan Muslim mengalahkan mereka. Nabi Muhammad saw menawarkan untuk menebusnya dan menikahinya. Hingga kemudian Juwairiyah menerimanya, dan menjadikan semua tawanan yang lain dibebaskan oleh kaum Muslim saat itu dan kabilah Bani Musthaliq masuk Islam.
Ada juga pernikahan Nabi saw dengan sayyidah Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, pimpinan Bani Quraidzah yang menjadi tawanan perang setelah suaminya terbunuh pada perang Khaibar. Nabi Muhammad saw memberi dua pilihan kepadanya yaitu ia dimerdekakan, masuk Islam dan dinikahi Nabi saw atau dibebaskan untuk kembali kepada keluarganya. Sayyidah Shafiyyah kemudian memilih untuk dimerdekakan dan dinikahi Nabi Muhammad saw. (As-Shabuni, hal 13)
Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw bukanlah karena urusan nafsu syahwat, melainkan atas dasar kemaslahatan dan perintah Allah.
Terpopuler
1
Gus Yahya Respons Wacana Pendanaan MBG Melalui Zakat: Perlu Kajian Lebih Lanjut Karena Kategori Penerima Zakat Sudah Ditentukan
2
Profil Alex Pastoor dan Dany Landzaat, Dua Asisten Pelatih yang Dampingi Kluivert di Timnas Indonesia
3
Khutbah Jumat Terbaru: Bulan Rajab, Momentum untuk Tingkatkan Kualitas Spiritual Diri
4
Refleksi Harlah ke-102 NU: Membangun Sinergitas Harokah dalam Ber-NU
5
Pentingnya Menggerakkan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama di Kota Bogor Menjelang Harlah ke-102
6
MoU Haji 2025 Ditandatangani, Indonesia Akan Berangkatkan 221 Ribu Jamaah
Terkini
Lihat Semua